Ketika Rumah Bukan Tempat Tinggal

Putri Zulikha
Chapter #8

Fisika

Hari telah berganti. Sang mentari dengan riang menyinari bumi. Kelabu telah selesai mandi. Dia bersiap di depan cermin sambil menyisir rambutnya, sedangkan Gibran terlihat menyapu ruang tengah dengan pergerakan sekenanya, layaknya seorang laki-laki yang menyapu pada biasanya. Remaja itu masih mengenakan kaos, tapi sudah memakai celana sekolah.

“Ela buruan, sudah ditungguin sama Biru di luar!” Bu Maryati meneriaki anaknya dari halaman rumah.

“Iya, Bun. Bentar lagi selesai.” Kelabu mempercepat geraknya. Kini, rambutnya telah terkuncir satu. Dia menyambar tasnya, lalu mengenakan kaos kaki dan berlari kecil menuju garasi.

“Eh, eh, eh, debunya malah diinjak. Santai, El baru juga jam...” Gibran menghentikan gerakan menyapu. Dia menoleh ke dinding, melihat jam. “Ha sudah jam tujuh kurang seperempat?!”

“Cepetan, Kak, telat lagi. Bunda repot lagi.” Kelabu duduk di ruang tamu yang bersinggungan langsung dengan garasi. Lantai dalam rumah lebih tinggi dari lantai garasi. Anak perempuan itu mengenakan sepatunya, sementara kakaknya dengan cepat menyelesaikan tugasnya dan langsung berlari ke kamarnya untuk memakai seragam sekolah.

Kelabu menaiki sepedanya dari dalam garasi yang telah terbuka. Bundanya setiap pagi menyapu garasi sebelum menyapu halaman rumah sehingga garasi sudah terbuka dari pagi. Anak perempuan itu mengarahkan sepedanya ke arah bundanya yang sedang menyapu halaman dengan sapu lidi.

“Assalamualaikum, Bun. Ela berangkat dulu ya.” Kelabu turun dari sepedanya, menyalimi bundanya. Lalu, kembali menaiki sepedanya.

“Waalaikumsalam, hati-hati.” Bu Maryati mengeruk sampah daun mangga yang telah disapunya. “Bran cepetan berangkat, sudah siang!”

Yang dipanggil itu bergegas memakai sepatu, lalu lari ke bundanya untuk pamitan. “Berangkat ya, Bun. Assalamualaikum.” Remaja laki-laki yang tampan itu berlari ke garasi dan segera menyalakan motornya.

“Iya, hati-hati.”

Bu Maryati membukakan gerbang agar bisa langsung dilewati oleh Gibran. “Hati-hati, jangan ngebut! Makanya kalau dibangunin bunda itu langsung bangun. Punya anak kok bangunnya susah semua.”

Gibran mulai hilang dari pandangan mata Bu Maryati karena telah membelok ke kanan. Ibu dari tiga anak itu kembali menutup gerbangnya.

***

Sesampainya di sekolahan, Biru dan Kelabu segera bergegas ke kelas karena sebentar lagi bel sekolah dibunyikan tukang kebun. Mereka berlari hingga tidak sengaja menabrak anak kelas lima.

“Woi, bisa jalan yang bener nggak?!” Mata anak laki-laki berkulit hitam seperti Biru itu melotot ke arah mereka berdua.

“Maaf, Kak, tadi kami buru-buru. Permisi ya.” Biru menyahut dengan sopan.

Namun, saat mereka akan kembali melanjutkan langkahnya, tangan anak itu mencengkeram pundak Kelabu. Biru pun tidak jadi melangkah melihat sahabatnya dicengkeram. Kelabu kembali berhadapan dengan kakak kelasnya itu.

“Apaan sih, Kak, kan kami sudah meminta maaf.” Kelabu menatap anak itu dengan tajam dan berani karena dia merasa benar.

“Enak aja minta maaf doang.”

Kelabu menyingkirkan tangan yang mencengkeram pundaknya dengan kasar.

“Anak kecil berani ya sama aku?”

“Kenapa harus takut sama anak jelek kayak kamu!” Kelabu mendekat ke anak itu, menantang.

Melihat kelakuan sahabatnya, Biru menjadi takut jika anak itu akan mengapa-ngapakan Kelabu. “Udah, El. Minta maaf aja lagi. Yuk kita kelas. Bentar lagi masuk nih.” Biru yang terlihat khawatir membisiki Kelabu.

“Nggak mau! Tadi emang kita yang salah dan kita sudah minta maaf. Sekarang, dia yang salah karena sudah gangguin kita.”

“Nyolot ya nih anak kecil.” Kakak kelas itu mendorong Kelabu.

Anak perempuan itu terdorong ke belakang hampir mengenai Biru. Lalu, dia balas mendorong kakak kelasnya itu.

“Nantangin ya!” Anak itu mau kembali menyerang, tapi tiba-tiba terdengar bunyi bel dan ada guru yang baru saja tiba di sekolah melihat pertengkaran mereka sehingga anak itu mengurungkan niatnya.

“Awas kamu ya!” Anak itu meninggalkan Biru dan Kelabu.

“Nggak takut!” Kelabu masih melawan.

“Kalian ngapain di sana? Ayo masuk ke kelas!” Bu Artini menegur dua sejoli itu.

“Iya, Bu.” Biru menjawab dan mengajak sahabatnya bergegas ke kelas.

Sesampainya di kelas Lila bingung melihat kedua sahabatnya yang baru masuk kelas. “Kalian ke mana saja baru masuk?”

Kelabu tidak menjawab. Anak kecil yang rambutnya agak kusut itu terus berjalan ke bangkunya tanpa melihat ke arah Lila sedikit pun. Dia masih emosi.

“Nanti pas istirahat aku jelasin, La.” Biru melewati Lila dan memberikan senyuman tipis kepada sahabatnya yang satu itu.

Lihat selengkapnya