Ketika Rumah Bukan Tempat Tinggal

Putri Zulikha
Chapter #10

Uang Saku

Tidak terasa asyar telah berkumandang. Kedua anak yang sibuk melakukan pencarian barang bekas itu memutuskan untuk menyudahi pekerjaannya hari ini. Pukul setengah empat Kelabu harus mengaji di TPQ. Ketika sampai di rumah Kelabu, Bu Maryati sudah menunggu di teras rumah.

“Dari mana aja kalian? Panas-panas malah keluyuran terus! Gimana nggak pada hitam kulit kalian.” Penglihatan Bu Maryati menangkap kantong plastik di tangan kedua anak itu. “Nyari rosok lagi?! Bunda kan kemarin sudah bilangin, Jangan cari rosok lagi! Orang-orang ngiranya bunda nggak ngasih uang jajan ke kamu. Awas ya kalau besok bunda lihat kamu masih nyari barang bekas, bunda nggak akan ngasih kamu uang saku lagi. Dengar, El bunda ngomong apa?”

“Iya, dengar, bunda.” Kelabu membisiki Biru, “Ini baru namanya dimarahin, Bi.”

“Bisik-bisik apa kalian?!”

“Enggak tante.” Biru menjawab. Dia menyenggol lengan Kelabu, protes pada apa yang baru saja Kelabu lakukan seolah bilang, “Kamu sih.”.

“Pokoknya bunda mau besok rosokannya sudah dijual. Nggak ada lagi sampah di tumpuk di rumah bunda. Mengerti?”

“Iya, bunda.”

“Yaudah sana masuk, kamu belum makan siang juga sudah kelayapan. Mandi terus makan baru berangkat ke TPQ!” Bunda meneriaki putrinya yang sedang menaruh hasil pencarian barang bekasnya hari ini bersama Biru.

“Pulang dulu, tante.” Biru pamitan.

“Kamu nggak mau makan dulu, Ru?”

“Enggak tante, tadi sepulang sekolah sudah makan.”

“Ya sudah, kalau di rumah nggak ada lauk atau nasi ke sini aja ya, makan di sini. Tante senang kalau kamu makan di sini, biar Ela ada temannya makan. Kalau nggak ada temannya dia itu susah sekali disuruh makan.”

“Iya tante, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Bu Maryati menyusul anaknya ke dalam rumah.

***

Mentari mulai turun ke barat. Langit mulai teduh, terhampar biru yang begitu luas membentang sejauh mata bisa memandang. Sepasang kekasih terlihat sedang berjalan bersama di sebuah mall yang tidak jauh dari sekolah mereka. Kedua remaja itu masih mengenakan seragam sekolah. Hanya saja yang perempuan memakai jaket berwarna kuning cerah yang dilipat sesiku, sedangkan yang laki-laki melepas semua kancing baju seragamnya sehingga tampak seperti kemeja putih yang dalamnya dikaosi hitam. Mereka berhenti di tempat permainan.

“Mbak mainnya harus pakai kartu atau bisa beli koin ya?” Tanya Aisyah ke mbak-mbak penjaga tempat pengisian saldo permainan sekaligus penukaran hadiah.

“Harus buat kartu, Kak. Minimal pengisian pertama tiga puluh lima ribu nanti sudah dapat kartunya juga.”

“O jadi bayar segitu sudah dapat saldonya segitu juga sama dapat kartunya ya, Mbak?” Aisyah kembali bertanya, sedangkan Gibran menunggu saja di samping pacarnya.

“Iya, Kak. Kalau lima puluh ribu nanti lebih murah. Cukup lima puluh ribu saja dapat saldo lima puluh tiga ribu lima ratus, Kak.”

Aisyah menoleh ke Gibran untuk meminta persetujuan.

“Yaudah yang lima puluh lima ribu aja, Mbak.” Ucap Gibran sebagai jawaban atas pertanyaan pacarnya yang tidak diucapkan dengan kata-kata.

“Baik, atas nama siapa, Kak, kartunya?” Si mbak penjaga mulai meregistrasi kartu.

“Aisyah, Mbak.”

“Bisa saya terima uangnya, Kak?”

Gibran memberikan selembar uang berwarna biru ke si mbak penjaga.

“Silakan, kartu atas nama Aisyah dengan saldo lima puluh tiga ribu lima ratus ya, Kak.”

Lihat selengkapnya