Sesuai janjinya, sebelum asar, tepatnya jam dua siang Biru sudah sampai di depan rumah Kelabu.
“Assalamualaikum, Ela, El.” Biru celingak-celinguk melihat ke dalam rumah.
“Waalaikumsalam.”
“Ela? Kamu kenapa? Kok hidung sama pipimu luka gitu? Kamu habis jatuh ya?” Biru terheran-heran melihat muka sahabatnya yang beset-beset. Dia melihat sekujur tubuh sahabatnya itu. Biru mengangkat tangan Kelabu, mengamatinya. Dilepaskannya yang satu dipegangnya yang kiri. “Kamu habis di-?”
“Iya, biasa.”
“Tapi biasanya nggak pernah separah ini, El. Biasanya cuma bagian kaki kan.”
“Ayah.” Kelabu menjawab pelan dengan muka datar. Dia berjalan ke taman kecil di sudut rumah dengan Biru yang mengintilinya.
“Gimana ceritanya? Kok aku sampai nggak dengar sih pas kamu nangis. Kamu pasti nangis kan?”
“Iyalah orang sakit.”
“Ya gimana nggak sakit orang sampai begitu. Gimana ceritanya?”
Mereka duduk di atas bangku satu-satunya yang diletakkan di atas rumput dan dikelilingi bunga.
“Kamu tahu sendirilah ayahku gimana kerasnya kalau soal ngajar anak. Kakak-kakakku aja sampai nggak ada yang berani sama ayah. Bahkan, baru disebut namanya sama ayah aja yang semula berisik langsung cep diam, sepi.”
“Iya, tahu kok, tapi sebenarnya baik.”
“Iya baik emang. Mau diceritain nggak sih?”
“Ela... kamu nggak apa-apa kan?” Tiba-tiba ada suara yang turut menimbrung pembicaraan mereka dari gerbang rumah. Lila menghampiri mereka. “Ya Allah, El, kok sampai kayak gini sih. Sudah diobati belum?”
“Sudah kok, santai aja. Aku sudah biasa kan.”
“Iya sih, tapi kali ini parah.” Lila mengamati sahabatnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Mengenaskan sekali. “Tadi aku dikasih tahu sama papa. Papa lihat kamu di-“
“Ssttt.... ya begitulah.” Kelabu takut jika suara Lila terdengar oleh telinga ayahnya. “Aku sih emang yang cari gara-gara. Udah mau diajak pergi malah keluyuran, eh dinakalin sama mbak siapa itu samping rumahnya Jingga. Aku kan sedih, terus pas pulang ditanyai ayah aku bilang nggak ikut, malah nangis, dan terjadilah.”
“Em, tapi nanti kamu nanti berangkat ngaji nggak?” Lila penasaran.
“Aku izin dulu deh. Kata bunda boleh nggak berangkat ngaji dulu sampai kering lukanya. Aku malu dilihatin orang-orang soalnya kelihatan banget yang di muka.”
“Iya sih mendingan nggak usah berangkat dulu aja.” Lila menimpali.
“Sekolah berangkat kan, El, besok?” Biru ikut nimbrung.
“Berangkat kok kayaknya. Kan nggak sakit yang sampai nggak kuat bangun. Cuma gini aja sih aku kuat.”
“Ela... makan dulu!” Bunda meneriakinya dari dalam rumah.
“Iya, bun, bentar.”
Bu Maryati menyamperi anaknya. “Ayo Biru sama Lila makan juga, nemenin Ela makan. Ela itu susah sekali disuruh makan kalau nggak ada temannya.”
“Saya sudah makan tante.” Lila menatap Bu Maryati, kemudian beralih ke Kelabu. “Yaudah kalau gitu aku pulang dulu El.” Lalu, kembali lagi ke Bu Maryati. “Tante Lila pulang dulu mau siap-siap berangkat ngaji.”
“Oalah iya silakan.” Bu Maryati memberikan senyum kepada Lila, lalu kembali berujar ke Biru dan anaknya. “Ayo berdua masuk, makan dulu.”
“Bunda, boleh ya barang bekasnya dijual besok-besok aja?”
“Iya, boleh. Yang penting makan dulu. Ayo!” Bu Maryati masuk ke dalam rumah diikuti oleh kedua sahabat itu.
***
Di rumah Jingga, mamanya sedang membantunya mengenakan seragam dan mempersiapkan tas yang akan dibawanya mengaji sambil mengajak anaknya berbincang.
“Ela kasihan ya, Ngga, tadi mama dengar dia dipukulin sama ayahnya di perempatan jalan. Entah karena apa ayahnya sampai segitu marahnya sama dia. Kasihan sekali Ela, padahal dia anak yang baik.”