Pagi telah tiba. Libur kembali membenamkan diri untuk hibernasi. Hari Senin seolah permulaan hari dan menjadi hari terberat untuk sebagian orang yang mendambakan hari libur. Biru dan Kelabu selesai memarkirkan sepeda. Ketika hendak berjalan ke kelas, Jingga juga telah sampai di gerbang sekolah. Jingga sedikit kaget karena melihat muka Kelabu yang dihiasi beberapa besetan, luka.
“E-Ela...”
Yang dipanggil tidak jadi melangkah. Anak manis dengan luka yang sudah mulai terlihat kering itu menatap teman yang memanggilnya.
“Em, e, em, maaf ya kemarin aku-.”
“Iya udah nggak pa pa. Ayo kita ke kelas bareng.” Kelabu tersenyum ke Jingga. Wajah Jingga yang menampakkan ketakutan pun berubah menjadi tersenyum.
Kepala Biru mendekat ke sahabatnya. “Kemarin kenapa, El?” Biru membisiki Kelabu.
Kelabu pura-pura tidak mendengar pertanyaan Biru. Akhirnya, Biru pun kembali berjalan biasa, tapi dengan penasaran di benaknya.
“Eh nanti ulangan matematika minggu lalu dibagiin kan?” Kelabu mengalihkan pembicaraan.
“Iya, mungkin.” Biru menjawab dingin. Dia agak kesal karena Kelabu tidak menanggapi pertanyaannya tadi.
Beralih dari SD. Di sekolah menengah kejuruan, terlihat Gibran memasuki sekolahan sebelum pak satpam mengunci gerbang.
“Pagi, Pak.” Gibran menyapa pak satpam yang baru keluar dari pos jaga. Dia memberhentikan sepeda motornya.
Pak satpam yang hendak mengunci gerbang sekolah itu sedikit heran. “Tumben kamu nggak telat.”
“Hehehe iya dong, Pak, biar nggak dimarahin sama guru.”
“Begitu dong, kalau sekolah itu yang bener. Berangkat pagi, semangat-.”
“Ehm maaf nih, Pak, bukannya mau motong pembicaraan bapak, tapi takut telat masuk kelas. Mari, Pak.” Siswa laki-laki yang selalu menjadi peringkat satu di sekolah itu menuntut motornya ke garasi karena ada batas mesin harus dimatikan ketika berangkat sekolah.
“Iya, mari, mari.”
Gibran pun berjalan ke kelasnya setelah memarkirkan sepeda motornya. Sesampainya di ruang kelas dia menuju ke tempat duduknya, lalu menoleh ke Aisyah dan tersenyum kepada pujaan hatinya itu. Senyuman itu dibalas dengan sangat manis seolah menjadi ucapan selamat pagi di antara mereka berdua.
“Senyam-senyum aja, Bran. Udah ngerjain tugas belum? Jangan-jangan ketinggalan lagi. Aish, Bran, Bran.” Nino, teman sebangku Gibran, mengusik kemesraan dua sejoli itu. “Woi....”
“Iya-iya, udah aku kerjain kok, tapi lima soal doang. Paling juga yang ditanya, siapa yang belum ngerjain. Kan aku udah ngerjain meski nggak selesai.”
“Kalau tiba-tiba disuruh maju gimana?”
“Maju ya tinggal maju aja kerjain di depan.”
“Iya deh suka-suka kamu aja. Sini aku mau lihat. Paling nggak aku yakin benar lima karena menyontek kamu sih.”
Gibran mengeluarkan bukunya dan memberikannya pada Nino. Untuk urusan tugas, Gibran akan membebaskan tugasnya ditiru siapa saja dengan catatan mereka harus paham. Namun, saat ulangan dia tidak mau memberi contekan karena itu dosa.
***
Setelah papan tulis penuh dengan pekerjaan matematika. Ibu guru membagikan kertas ulangan yang telah dinilai. “Lila, Tio, tolong bagikan ke teman-teman.”
Lila dan Tio yang sibuk mencatat pun berdiri, mengambil tumpukan kertas di meja gurunya dan membagikannya ke teman-temannya sesuai dengan nama yang tertera di masing-masing kertas. Sementara kedua anak itu keliling kelas untuk membagikan hasil ulangan, terlihat Biru sedang asyik menggambar karena dia paling tidak suka pelajaran matematika yang menurutnya susah setengah mati, sementara siswa kebanyakan mencatat jawaban yang diterangkan oleh bu guru di papan tulis, termasuk Jingga.
“Ela, nih, punyamu dapat 100.” Tio memberi tahu Kelabu yang membenamkan wajahnya di meja dengan kedua tangan sebagai bantalnya.
Tidak ada jawaban dari anak perempuan itu. Justru Jingga yang menoleh dan mengambil kertas ulangan teman sebangkunya itu. “Kok bisa kamu dapat 100, El.”