Hari ini Kelabu dan teman-temannya dipulangkan lebih awal. Pelajaran diakhiri oleh bu guru setelah Tio dan Lila kembali ke tempat duduknya, pertanda semua nilai telah berada di tangan pemiliknya.
“Baik anak-anak, karena ibu dari bapak kepala sekolah meninggal dunia, kita cukupkan pelajaran hari ini. Belajar dilanjutkan di rumah masing-masing, boleh juga belajar kelompok. Pak guru dan bu guru mau takziah. Ayo ketua kelas dipimpin.”
Biru menutup buku gambarnya. “Tempat duduk, siap grak!” Semua murid meletakkan kedua tangannya di atas meja, melipatnya dengan rapi. “Berdoa, mulai!” Semua murid menundukkan kepala. “Berdoa selesai, beri hormat pada bu guru!”
Semua anak mengangkat wajahnya. “Selamat pagi, Bu.”
“Selamat pagi, anak-anak.”
Anak-anak berhamburan, bersalaman kepada gurunya dan pulang. Kali ini Kelabu sengaja ikut berdesak-desakan dengan teman-temannya agar ibu guru tidak menyadari luka di wajahnya. Lila yang memiliki tempat duduk strategis sudah ke luar kelas duluan.
“Lila tunggu!” Kelabu berlari kecil lalu menyamai langkah sahabatnya menuju parkiran sepeda.
“Wih tumben keluarnya nggak paling akhir.”
“Hehe....” Kelabu hanya meringis dan menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal.
“Kamu nanti berangkat ke TPQ nggak?”
“Em aku nanti kayaknya masih nggak berangkat ngaji deh. Nunggu sampai luka diwajahku samar agak samar. Paling besok juga yang kering ini udah terkelupas.”
“Iya, udah nggak merah-merah dan bengkak kayak kemarin kok. Udah nggak sakit kan?”
“Nggak, cuma agak gatal. Kata bunda itu tandanya mau sembuh.”
Sesampainya di parkiran, dia menunggu Biru sejenak. “Kok Biru lama sih keluarnya.”
“Dikiranya kamu pulang kayak biasanya mungkin. Jadinya dia nungguin sampai nggak antre salaman sama guru deh.”
Tiba-tiba yang dibicarakan sampai di parkiran. “Tumben banget kamu, El, bi-”
“Udah ayo naik.”
Biru pun menaiki boncengan sepeda biru milik Kelabu. Namun, ketika mereka sampai di depan sekolah, ada Jingga yang masih menunggu kedatangan mamanya.
“Jingga ayo bareng aku aja. Pasti mamamu nggak tahu kalau kita pulang pagi.”
“Em iya sih, tapi...” Jingga tampak ragu.
“Udah bonceng Lila aja, Ngga. Daripada nanti kamu nungguin lama banget, sendirian lagi di sini. Kayaknya ini juga mau hujan. Mendungnya gelap tuh.” Kelabu menimpali sambil mendongak langit.
Jingga ikutan melihat langit. Melihat langit yang tampak begitu murung, dia memutuskan untuk ikut saja bersama mereka. “Iya deh.”
Mereka berempat akhirnya pulang dengan suka ria menaiki sepeda melewati jalanan persawahan di kiri jalan. Baru setengah perjalanan, tiba-tiba gerimis mulai berdatangan. Kian lama bulir kian membesar dan menusuk kulit. Kepalang tanggung mereka mengencangkan kayuhan sepeda karena tidak jauh lagi mereka akan sampai di rumah. Kelabu sampai di depan rumah, dia mengerem sepedanya. Biru turun dan segera berlari ke rumahnya, sedangkan Kelabu membuka gerbang dan segera masuk ke garasi.
Di tempat lain, Lila mengantarkan Jingga sampai ke depan rumahnya.
“Makasih ya, La.”
“Iya, sama-sama.” Lila memutar balik sepedanya. Gerimis telah bertambah menjadi hujan. Dia mengayuh sepedanya sekuat tenaga.
Jingga berlari masuk ke rumahnya. “Jingga pulang, Ma.”
“Lho anak mama kok sudah pulang jam segini. Tadi pulang sama siapa?” Bu Darwati keluar dari ruang belakang, baru selesai mengurus jemuran.
“Dibonceng sama Lila, Ma.”
“Waduh kok sampai basah begitu. Kan mama sudah siapin payung lipat di tasmu.” Bu Darwati memegang rambut Jingga yang sedikit basah karena hujan terhalangi oleh Lila sehingga tidak begitu mengenai dia.
“Tadi udah mau sampai rumah eh malah hujan. Terus kan Jingga bonceng jadi susah mau ambil payung di tas.”