Ketika Rumah Bukan Tempat Tinggal

Putri Zulikha
Chapter #15

Demam

Hingga malam tiba panas Lila masih belum juga turun. Ayahnya mengompres dahinya dengan air dingin. Malam ini dia sedih karena tidak bisa belajar. Dia hanya tidur, bangun sejenak menatap langit-langit kamar, dan kembali memejamkan mata karena matanya terasa panas.

“Kamu mau makan apa biar papa beliin?”

Lila tidak menjawab. Dia hanya menggelengkan kepala pelan.

“Papa beliin bakso ya?” Lila tidak bereaksi apa pun. “Ya sudah papa tinggal bentar buat beli bakso ya. Penyakit itu harus dilawan dengan makan.”

“Asalamualaikum...” Terdengar suara yang tidak asing dari dua bocah.

“Waalaikumsalam, masuk Ru, El!” Pak Bondan beranjak dari kasur anaknya. “Papa pergi dulu ya, mumpung ada teman-teman kamu.”

Kedua anak itu pun memasuki rumah dan langsung menuju kamar Lila.

“Tolong jagain Lila dulu ya. Om mau keluar sebentar.”

“Siap, Om.” Kelabu mengarahkan tangannya ke pelipis, memberi hormat kepada Pak Bondan.

Pak Bondan pun pergi. Kini di kamar yang berukuran 2,5 X 3 itu ada tiga orang anak kecil.

“Kamu dikompres pakai air es, La?” Kelabu heran melihat baskom yang berisi air dan potongan es batu di meja dekat kasur Lila. “Kok aku biasanya kalau demam dikompres bunda pakai air anget.”

Lila hanya mengedipkan mata perlahan, lambat sekali, pertanda dia tidak begitu mengerti.

“Kan badannya panas, kalau dikompres pakai air dingin nanti jadi ikut dingin deh.” Celetuk Biru yang berdiri di samping Kelabu.

“Iya sih, tapi bunda pasti ngompresnya pakai air anget kalau aku demam atau pusing. Pas kita sakit juga mandinya nggak pakai air dingin kan? Pasti disuruh mandi air anget.”

“Iya juga ya. Terus yang benar yang mana dong? Ngomong-ngomong itu apa sih yang kamu bawa dari tadi?” Biru menunjuk barang yang dibawa Kelabu sejak dari rumah.

“Oh iya. Aku kan bawa plester penurun demam hehe. Aku malah lupa. Sekarang, kalau aku sakit bunda lebih sering makaiin aku plester ini biar nggak ribet.”

“Ya udah kalau gitu Lila pakaiin itu aja.”

“Iya, sabar dong. Ini juga baru mau buka bungkusnya.”

Kelabu mengambil plester dari dalam kertas pembungkus. Lalu, dia mengambil kain yang ditempelkan di dahi Lila. Diletakkannya kain itu ke dalam baskom. Baru dia membuka plastik penutup sisi plester yang akan ditempelkannya ke dahi sahabatnya.

“Aku lebih suka pakai ini daripada dikompres. Jadi, bunda nyetok deh di taruh dalam kulkas. Tapi baunya nggak enak, wlek...” Kelabu mencium telapak tangannya yang bekas memegang plester. Lalu dia menciumkannya ke hidung Biru.

“Ehm, bau.” Biru segera menutup hidungnya.

“Hahahaha....” Kelabu tertawa puas, sementara tersenyum melihat tingkah kedua sahabatnya. “Nggak enak kan?”

“Nggak bau-bau banget sih tapi. Nggak kecium juga kalau nggak kamu tempelin ke hidung aku.”

“Kok kalian bisa bereng ke sininya?” Lila bertanya dengan lemah.

“Iya, tadi sore Biru ke rumah aku. Terus aku bilangin deh kalau kamu sakit. Yaudah kita janjian habis magrib nengokin kamu bareng-bareng.”

Senyum Lila merekah meski terlihat lemah.

“Besok kamu nggak berangkat sekolah dong, La?” Biru bertanya.

“Belum tahu. Kalau udah sembuh ya berangkat aja, tapi nggak ikutan olahraga.”

“Wah curang kamu, La. Mentang-mentang nggak suka olahraga terus nggak ikut pelajaran olahraga. Padahal kan besok kita kasti kata pak guru. Enak tahu, La.”

“Ya nggak curang dong, El. Namanya juga sakit. Kalau dipakai lari-lari, panas-panasan pasti tambah sakit jadinya.” Biru memberikan pengertian pada Kelabu.

Lihat selengkapnya