Ketika Rumah Bukan Tempat Tinggal

Putri Zulikha
Chapter #16

Sinetron Azab


Sepulang sekolah, Kelabu bermain ke rumahnya Jingga karena Lila masih belum bisa diajak bermain. Demamnya sudah turun, tapi belum fit seperti biasanya. Mereka bermain guru-guruan. Terlihat Kelabu berperan menjadi guru, sementara Jingga menjadi muridnya. Kelabu sedang asyik menerangkan soal matematika ke Jingga dengan menuliskannya di kaca almari besar yang berada di ruang tengah Jingga.

“Delapan dikurangin sembilan kan nggak bisa. Nah kita minta satu dari angka di depannya. Empat dikurangi satu tinggal berapa?” Kelabu bertanya selayaknya guru yang menerangkan ke muridnya.

Jingga yang sedang duduk lesehan di depan almari itu terlihat melipat jarinya dan bibirnya bergerak-gerak. Dia sedang menghitung. Kelabu menunggu Jingga menjawab dengan sabar.

“Tiga.” Pandangan mata Jingga beralih ke Kelabu, sedangkan gadis manis berkepang dua itu menuliskan jawaban Jingga ke kaca menggunakan kapur berwarna putih.

“Kita coret angka empat, terus ditulis di atasnya angka tiga. Angka satu yang tadi diminta ditaruh di depannya angka delapan, jadinya delapan belas. Nah delapan belas dikurangi sembilan berapa?”

“Em....” Jingga kembali berpikir. Jarinya mengetuk-ketuk pelipisnya. Lalu mulutnya kembali komat-manit dan tangannya dilipat-lipatnya.

“Delapan belas di mulut, sembilan dijari. Terus dihitung mundur.” Kelabu memberikan arahan ke temannya. Meskipun seumuran dia benar-benar sangat membimbing.

“Mainnya udahan dulu yuk. Jingga makan siang dulu.” Mamanya Jingga menghampiri mereka berdua. Wanita setengah baya itu tidak merah karena kacanya dicoret-coret karena kedua anak itu akan membersihkannya seusai bermain. Lagi pula, permainan mereka juga bermanfaat. Tanpa disadari, Kelabu membuat Jingga belajar. Padahal, Jingga susah sekali jika diminta belajar oleh kedua orang tuanya. Makanya, mamanya sangat senang jika Kelabu mau main ke rumah untuk bermain guru-guruan.

“Alah, kan lagi main, nanti aja ah.” Jingga terlihat agak cemberut mendengar perintah mamanya.

“Eh, nggak boleh gitu. Nanti habis makan boleh main lagi, ya Ela ya? Ela juga mau makan kan?”

“Ehehe, iya tante.” Kelabu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Anak itu lantas menghapus tulisan di kaca dengan kain yang sudah tak terpakai.

“Ela mau makan di sini? Tapi lauknya cuma sambal terong.” Bu Darwati menawari.

“Terserah, tante.”

“Lho jangan terserah. Mau atau nggak? Kalau mau sekalian makan bareng sama Jingga biar tante siapin.”

“Iya, boleh tante.”

“Ya sudah ayo! Sudah bersih itu kacanya. Ayo, Ngga.”

Mereka bertiga pun berjalan ke dapur. Jingga dan Kelabu duduk di meja makan, menunggu makanannya disiapkan oleh Bu Darwati. Kedua anak itu pun makan dengan lahap sambil bercengkerama. Bu Darwati ikut duduk di sana mendengarkan cerita anaknya.

“Tadi di sekolah ada pemilihan murid untuk diikutkan lomba senam, Ma. Terus, aku terpilih deh. Nanti kita beli kaset senamnya ya, Ma, biar Jingga bisa latihan di rumah.”

“Wah, keren sekali. Iya nanti bilang sama papa kalau sudah pulang.”

“Yey, asyik...” Jingga tampak begitu girang. Kedua tangannya di angkat ke atas, sementara Kelabu tak acuh. Anak itu tetap fokus pada makanannya.

“Ela juga ikut?”

“Hem?” Kelabu agak kaget mendengar pertanyaan Bu Darwati. “Enggak tante, hehehe....”

“Kan cuma dipilih empat anak, Ma.” Jingga terlihat menyombongkan diri.

Kelabu hanya tersenyum getir. Sebenarnya dia tidak begitu peduli dirinya tidak termasuk anak yang dipilih, tapi dari kebanggaan diri yang ditunjukkan oleh Jingga, dia merasa rendah diri.

“Piringnya dicuci di mana tante?” Kelabu menyudahi pembahasan senam. Dia berdiri, hendak memberesi piring kotornya.

“Di situ. Airnya dari ember ya.” Bu Darwati menunjuk ember di sekotak ruang semacam kolam ikan dengan tembok yang tidak terlalu tinggi yang ada saluran pembuangannya di sudut dapur.

“Iya, tante.” Kelabu mencuci piringnya, diikuti oleh Jingga.

“Assalamualaikum.” Terdengar suara dari depan.

“Waalaikumsalam.” Bu Darwati keluar melihat siapa yang datang. “Oalah Biru.”

“Iya tante. Ela ada di sini nggak tante?”

Kelabu dan Jingga pun turut keluar menghampiri Bu Darwati.

“Kenapa, Bi?” Ela sendiri yang langsung menjawab.

“Ayo jadi dijual nggak?”

Lihat selengkapnya