Langit tak lagi menyilaukan. Mentari pun tak lagi garang. Anak-anak sudah bubar dari tempat mengaji. Kelabu menaiki sepedanya dengan ngebut, balapan dengan teman-teman lainnya. Dia berada di posisi paling depan. Dengan bangga Kelabu menyombongkan diri ke teman-temannya yang masih di belakang. “Hahaha, aku menang!!! Huuu masak kalah sama anak cewek sih, hahaha....”
Kelabu menoleh ke belakang, menghiraukan pandangannya ke depan hingga terjadi, brukkkk.... “Hahaha....” Kelabu tertawa, apalagi teman-temannya yang justru begitu bahagia melihatnya terjerembab di pagar tanaman depan rumah orang.
“Songong sih, huuuu! Hahaha....” Teman-temannya tidak membantunya. Mereka terus mengayuh sepedanya untuk pulang ke rumah masing-masing.
Kelabu tidak marah dan tidak nangis karenanya. Dia masih tertawa sembari bangkit, mengusap-usap celananya yang terkena debu. Kelabu pun memberdirikan sepedanya dan membenahi setang sepeda yang menceng karena jatuh. “Hahaha, bisa-bisanya....” Anak itu justru menertawakan kekonyolannya.
Sesampainya di rumah bunda memergoki celananya yang ditempeli tanah di bagian dengkul. “Kok kotor? Habis ngapain, El? Ngaji kok pulang-pulang malah kotor gitu.”
“Tadi jatuh, Bun, hehehe... tapi sepedanya nggak apa-apa kok.”
“Ya bukan masalah sepedanya. Kamu ini ada-ada saja. Baru juga sembuh lukanya, sudah nyari-nyari lagi saja. Yaudah ganti baju sana. Jangan langsung dimasukkan mesin cuci. Nanti bunda mau kucek dulu itu yang kotor.”
“Iya, bunda.”
Kelabu memasuki kamarnya, berganti baju. Setelah celananya dibuka, dia baru menyadari ternyata lutut kirinya licet dan sedikit berdarah. Sekarang, dia baru merasakan perih. Namun, dia tidak bilang ke bundanya. Takutnya, dia justru dimarahi karena tidak hati-hati saat naik sepeda. “Kayaknya ada obat merah deh di bufet depan, tapi kalau ketahuan bunda gimana? Tenang, aman pasti.” Kelabu berbicara sendiri seperti orang gila.
“Hayoh ngapainnnn.” Gibran mengusili adiknya. Bufet itu ada di tengah-tengah kamar mereka, membatasi ruang tengah yang digunakan untuk menonton televisi dengan ruang tamu. Gibran bisa melihat orang di sana ketika pintu kamarnya tidak ditutup karena dia sedang menyetrika baju di sebelah pintu.
“Eh! Kakak ngagetin aja. Hihhh!” Kelabu segera mengambil obat merah itu agar tidak ketahuan oleh kakaknya.
“El beliin kakak es teh dong di warung mbak yun. Haus nih nyetrikain seragam kamu dari tadi.”
“Nggak mau ah. Lagi males.” Kelabu menuju ke kamarnya. Sebenarnya, dia bukannya malas, tapi mau mengobati lukanya. Lagi pula, agak perih dengkulnya jika dipakai berjalan.
“Eh dasar nggak tahu terima kasih ya. Nggak tak setrikain bajumu, awas aja!” Gibran terbawa emosi. Dia sudah sangat capek menyetrika. Punggungnya pegal dan tenggorokannya sedari tadi tidak diisi air. Ditambah lagi menyetrika membuatnya terasa gerah. Wajar jika dia sakit hati mendengar jawaban adiknya.
“Bodo amat.” Kelabu berlagak tidak peduli. Dia tetap masuk ke kamarnya.
“Emangnya nggak malu apa cewek kok bajunya lecek?! Nanti diejekin sama teman-temanmu tahu rasa.”
“Ngapain malu. Biarin aja mau dibilang apa coba.” Jarak yang tidak jauh membuat mereka tetap bisa mengobrol meski di kamarnya masing-masing karena kedua pintu kamar terbuka.
“Dasar bocah nggak waras!”
Pertengkaran adik-kakak itu selalu membuat rumah tidak sepi. Meskipun jarak umur mereka jauh, tak pernah sehari pun rumah sepi tanpa pertengkaran mereka, entah ulah Gibran yang menjahili adiknya atau beradu mulut sungguhan. Namun, pertengkaran itu akan berlangsung singkat. Besoknya juga sudah akur lagi. Malahan, kadang cuma dalam hitungan jam, bahkan menit kalau tidak berantem sungguhan yang membawa hati.
Obat merah pun diteteskan ke lukanya sampai rata. “A, a, ah, perih. Fuh, fuh, fuh.” Kelabu meniupinya agr segera kering dan tidak terasa perih.
Baru selesai mengobati kakinya, bunda meneriakinya. “El, beliin bunda kopi di warungnya mbak Yun!”
“Hihhhh....” Kelabu yang suasananya masih buruk karena pertengkarannya dengan Gibran terlihat kesal. Dia mendesis pelan.
“Ela!!!”