Ketika Rumah Bukan Tempat Tinggal

Putri Zulikha
Chapter #20

Nggak Sudi

Mentari mulai kembali turun dari atas kepala. Anak-anak SMA sudah waktunya pulang. Semua anak yang hendak main ke rumah Gibran berkumpul di parkiran. Mereka mengendarai motor beriringan. Gibran memboncengkan Aisyah, sementara sepeda motornya Aisyah dikendarai oleh teman lain yang tidak membawa motor. Tibalah tujuh anak SMK di halaman rumah Bu Maryati. Mendengar derum motor yang kian berisik mengisi halaman rumahnya, Bu Maryati pun keluar untuk melihatnya.

“Ada apa sih kok ramai banget.”

“Assalamualaikum.” Gibran mengawali masuk dan diikuti teman-temannya.

“Waalaikumsalam. Eh teman-temannya Mas Gibran. Ayo masuk, masuk!”

Mereke semua menyalami Bu Maryati sebelum duduk di ruang tamu. “Iya, tante.”

“Sana kamu bikin es teh, Bran! Teman-temanmu pasti haus. Eh Nino kok lama nggak main ke sini. Selalu cowok sendiri ya, No.” Bu Maryati menyapa Nino yang telah beberapa kali main ke rumah, entah meminta tolong Gibran untuk mengerjakan tugas ataupun sekadar bermain.

“Hehehe, kan kelas isinya cewek semua, tante.”

“Iya. Ayo kamu ikut ke belakang, bantuin tante nyiapin cemilan. Itu dimakan dulu jajan seadanya yang sudah ada di meja ya.”

“Makasih tante. Malah jadi ngerepotin.” Aisyah menimpali.

Nino menaruh tasnya. “Ah nggak repot. Di sini tuh biasa ya kan, Nte? Kenalan dulu dong Syah sama calon mertua, hahaha....”

Aisyah memelototi Nino sambil tersenyum, menoleh ke arah Bu Maryati dengan senyuman kikuk.

“Udah nggak repot kok. Ayo, No!” Bu Maryati

“Siap, tante. Eh kalian jangan pada berisik ya, soalnya jam segini waktunya ayahnya Gibran tidur.” Nino yang sudah hapal betul keluarganya Gibran mewanti-wanti teman-temannya.

“Siap....” Mereka menjawab serentak.

“Heh baru juga dibilangin. Stttt....” Nino meninggalkan teman-temannya, mengikuti Bu Maryati ke dapur.

“Mamanya Gibran baik banget ya, ramah lagi.” Ucap salah seorang teman berambut keriting.

“Iya, nggak kayak mamaku. Beruntung banget kamu, Syah, bakalan dapat mertua yang ramah.” Salah seorang teman berambut pendek menanggapi.

“Hahaha, aamiin. Btw Gibran kalau manggil itu nggak mamah, tapi Bunda.”

“Tahu banget ya, Syah.” Si kaca mata turut andil sambil memainkan ponselnya.

“Namanya juga pacarnya. Kalau kamu yang paling tahu kan repot jadinya, hahaha....” Teman yang berkerudung dan sebangku dengan Aisyah menyahut.

“Es datang....” Nino membawa seceret es teh dan setumpuk gelas plastik warna-warni berjumlah tujuh.

Satu persatu dari mereka menuang es. Nino ikut duduk dengan mereka, di sebelah Aisyah yang duduk di pinggir. Tidak berselang lama Gibran pun datang dengan dua piring gorengan hangat. Dia pun turut duduk di sebelah Aisyah, tapi di luar lingkaran karena sudah penuh. Sebenarnya ada sofa, tapi mereka memilih duduk di lantai daripada harus berdesak-desakan. Sofa malah menjadi tempat tas mereka.

“Ini esmu udah aku tuangin.” Aisyah menyodorkan segelas es teh ke Gibran.

“Ehem, kesedak nih aku nih, hahaha....” Nino mengusili Gibran dan Aisyah.

“Nggak usah eham-ehem, cari sana biar ada yang nuangin es.” Gibran menimpali. Teman-temannya mulai mengambil gorengan.

“Aduh, duh, panas....” Nino mengambil gorengan yang masih panas.

“Sukurinnn.” Aisyah membalas dendam.

“Eh, eh, eh, jaga image, Syah, di rumah calon mertua.” Nino masih saja menggoda. Dia menaik-turunkan alisnya.

“Assalamualaikum.” Seorang anak perempuan berlari memasuki rumahnya karena malu ada banyak teman kakaknya.

“Waalaikumsalam.”

“Eh kok lari. Ela, ya?” Aisyah memastikan ke Gibran.

“Iya. Palingan baru pulang main tuh. Bentar lagi kan harus berangkat mengaji.”

“Lucu banget adikmu, Bran. Manis.” Anisa, satu-satunya yang berjilbab, memuji Kelabu.

“Lucu dari mananya, ngeselin terus yang ada.”

“Masak sih??” Aisyah mengejek Gibran dengan menarik bibirnya maju. Dia tahu betul sebenarnya Gibran sangat menyayangi Kelabu.

“Eh, kalian mau aku beliin pentol unyil nggak?” Gibran mengalihkan pembicaraan.

Aisyah hanya tersenyum menatap pacarnya karena terlihat salah tingkah. Teman-teman yang lain agak ragu untuk menjawab. Sebenarnya mereka mau-mau saja, tapi tidak enak sama Gibran karena sudah dikasih banyak hidangan.

“Nggak usah ini aja udah kenyang kok. Lagian bentar lagi juga mau pada pulang kan.”

“Ih bukannya kamu mau nginep sini ya, Syah?” Nino terus meledek.

Aisyah melotot. “Ngawur.”

Lihat selengkapnya