Ketika Rumah Bukan Tempat Tinggal

Putri Zulikha
Chapter #21

Kue Ulang Tahun

Setiap tuan rumah menyalakan lampu satu per satu untuk mengusir gelap yang mulai menghampiri rumah-rumah mereka. Kelabu sedang duduk di depan meja belajar. Tangan kanannya yang memegang pensil menopang dagu, sementara jari tangan kirinya menjentik-jentik ke meja.

“Kok nggak ketemu sih isinya, hmmm.”

Kelabu beranjak dari duduknya membawa pensil dan buku lksnya. Dia berjalan menuju kamar kakaknya.

“Kak, nomor tujuh gimana caranya, kok aku nggak nemu isinya?” Kelabu menyodorkan buku lksnya ke Gibran yang sedang bermain laptop seperti biasanya. Pemuda itu hanya melihatnya sekilas, lalu berujar ke adiknya.

“Isiin kendi dulu baru nanti aku ajarin.” Gibran memberikan syarat keadiknya sambil kembali menatap layar laptopnya.

“Belum juga dilihat.” Protes Kelabu.

“Udah.”

“Beneran ya tapi, awas aja nanti bohongin Ela.” Ela meninggalkan kakaknya untuk melakukan perintah Gibran.

“Hmmm.”

Kelabu pun sibuk mengisi air ke kendi dari ember air berisis air matang. Dia menyaringnya dan mengisinya menggunakan corong. Selesai melaksanakan tugasnya, anak perempuan itu kembali ke kamar kakaknya untuk menagih janji sang kakak.

“Udah Ela isi kendinya. Apa isinya nomor tujuh?”

“Aku udah lupa caranya. Nggak bisa.” Dengan wajah tanpa dosa dan tetap asyik memainkan permainan di laptopnya, Gibran menjawab adiknya.

“Enak aja, udah nyuruh-nyuruh nggak jadi diajarin. Bener kan kata Ela tadi, pasti kakak bohong. Huh nyebelin. Awas aja nanti dibalas sama Allah. Dosa besar.” Kelabu mengambil kembali lks dan pensilnya, lalu bersungut-sungut kembali ke kamarnya.

‘Orang gede selalu seenaknya sendiri. Ngebodohin anak kecil terus.’ Kelabu menggerutu dalam hati. Dia pun menutup bukunya. Memberesi tempat pensilnya. Dimasukkannya keduanya ke dalam tas dan juga mengecek jadwal pelajaran besok. Memastikan tidak ada buku yang ketinggalan.

***

Di waktu yang sama rumah Lila sedang kedatangan tamu seorang wanita setengah baya dengan bedak tebal dan lipstik merah merona. Rambutnya digerai, terlihat rambut berintik bekas rebonding yang sudah kembali. Tamu itu tidak masuk ke dalam rumah. Dia hanya berdiri di depan pintu. Baru hendak mengucapkan salam. Namun, tidak jadi.

Papanya Lila yang baru pulang kerja sedikit kaget kedatangan tamu itu. “Ada perlu apa emangnya?”

“Memangnya nggak boleh ketemu anakku sendiri?”

“Boleh, boleh banget malahan. Bukannya sudah dari zaman dulu aku nyuruh kamu datang ke sini karena anakmu kangen?”

“Ya sudah, mana anaknya?”

“Panggil saja sendiri.” Pak Bondan masuk ke dalam rumah dengan menuntun sepedanya, memarkirkannya ke ruang tamu.

“Lila... La, ini mama.”

“Assalamualaikum dulu kalau ke rumah orang.” Pak Bondan meninggalkan wanita yang tak lain adalah mantan istrinya.

Bu Sumiati hanya menarik kedua bibirnya ke belakang. Dia menunggu putri pertamanya keluar.

“Dicariin mamamu, La.” Lila yang sedang belajar buyar konsentrasinya. Mendengar pemberitahuan papanya membuatnya langsung meninggalkan buku dan pensilnya di meja belajar. Anak itu langsung berlari keluar.

“Mama...” Lila mendekap mamanya. Wanita itu membalas dekapan anaknya. Namun, mamanya bersikap seolah biasa saja. Tidak ada haru dan kerinduan yang terpancar dari matanya. “Mama selama ini kok nggak pernah nengokin Lila? Kan lila kangen sama mama. Pas Lila sakit juga mama nggak ke sini.”

“Mama sibuk. Kan mama ngurus dedek bayi, adikmu.”

“Mana adiknya Lila?” Lila melepaskan pelukan ke mamanya.

“Nggak diajak. Mama ke sini naik motor sendirian. Ini kue buat kamu. Selamat ulang tahun yang ke sepuluh anak mama. Jadi anak yang nurut sama mama papa. Semoga makin pintar, membanggakan mama sama papa ya.” Bu Sumiati memberikan kue dari kotak yang dibawanya sedari tadi, sedangkan tangan kirinya mengelus kepala anak kecil itu.

“Makasih mama.” Lagi-lagi Lila memeluk mamanya. Mamanya pun kembali merangkul anaknya yang sudah begitu lama tidak ditemuinya.

“Ayo, Ma, kita masuk. Tiup lilinnya bareng-bareng sama mama papa.” Lila menarik tangan mamanya masuk ke rumah. Namun, Bu Sumiati menolak ajakan anaknya.

“Mama harus pulang. Nanti dedek bayinya nangis karena ditinggal mama lama-lama.”

Lihat selengkapnya