Kelabu dan Biru berpisah menuju tempat duduk masing-masing. Napas Kelabu tidak beraturan. Dia meraih botol air minumnya, meneguknya beberapa kali sambil memejamkan mata. Lalu, Kelabu meletakkan botol minumnya ke atas meja dan membuka matanya. Tiba-tiba dia dikagetkan dengan kehadiran Biru yang telah duduk di bangkunya Jingga, menjejerinya.
“Ngapain kamu di sini? Balik sana! Bentar lagi bu guru masuk loh.” Kelabu mengangkat dagunya untuk mengusir sahabatnya.
“Nggak mau. Orang aku mau duduk di sini sampai pulang. Wlekk....”
Kelabu melihat kursi yang diduduki Biru. Benar saja, ada tas anak itu di sana. “Nggak usah bercanda deh. Tuh bu guru sudah datang. Cepetan balik! Keburu pelajaran dimulai kapok kamu ya.”
Biru tidak berkutik. Dia malah mengeluarkan buku pelajaran dan mengambil pensil dari tempat pensilnya Kelabu. Bu guru sudah masuk ke dalam kelas dan Kelabu masih heran dengan ulah sahabatnya yang satu itu. Dia masih menatap Biru.
“Yaudah terserah kamu aja deh, Bi.” Kelabu meneguk air sekali lagi dan mengembalikan botol minumnya ke kantong tasnya samping kiri. Lalu, dia mengeluarkan buku pelajaran pada jam ini.
Pelajaran ilmu pengetahuan sosial pun dimulai. Bu guru menerangkan cara membaca denah dan peta. Kelabu mendengarkan dengan saksama sambil menurunkan emosi pada dirinya. Namun, karena fokus mendengarkan, anak perempuan itu justru malah mengantuk. Dia pun berusaha membuka matanya. Tenggorokannya pun kering sehingga anak itu hendak kembali minum. Dengan pelan dan hati-hati, ketika guru tidak melihat ke arahnya, dia mengambil botol air minumnya dan jongkong di samping meja untuk meneguk air. Lalu, dengan sigap, dia kembali duduk di tempat semula dengan tangan kirinya yang lihai memasukkan botol minum tanpa melihatnya. Kelabu pura-pura mendengarkan gurunya.
Kini, kondisi batinnya sudah membaik. Dia tidak lagi kesal. Pikirannya fokus mendengarkan gurunya menerangkan. Lagi-lagi kantuk menyerangnya. Biru yang melihat temannya mulai menuju alam mimpi pun mengusilinya. Apalagi dia tahu betul kalau Kelabu suka kagetan. Anak laki-laki itu menyenggol tangan yang digunakan Kelabu untuk menopang dagunya. Kelabu yang tertidur pun terlonjak kaget.
“Eh!” Anak perempuan itu berujar lumayan keras karena kelas sedang hening. Kedua matanya pun terbuka, diikuti semua mata memandang ke arahnya. Dia yang masih setengah sadar pun bingung.
“Kelabu mau jawab? Apa jawabannya?”
Kelabu hanya diam. Dia tidak tahu sama sekali apa jawabannya. Boro-boro jawaban, pertanyaannya saja dia tidak tahu-menahu karena dia tetidur. Anak gadis itu menendang kaki Biru sebagai isyarat meminta bantuan karena dirinyalah yang menyebabkan Kelabu mendapatkan situasi seperti ini.
Biru yang tidak tega dengan sahabatnya pun membisikinya dengan pura-pura menutup mulutnya dengan menyandarkan tubuhnya ke meja. Seolah-olah tangannya menopan dagunya, tapi telapak tangannya menutupi gerak bibirnya. “Batas... em, provinsi.”
Kelabu yang melirik ke arah Biru pun menjawab sesuai dengan bisikan sahabatnya itu. “Batas prov-”
“Eh, daerah.” Biru tidak yakin dengan apa yang dibisikkannya.
“Batas daerah, Bu.”
“Hahahaha....” Kelas riuh menertawakan jawaban Kelabu.
“Benar anak-anak?”
“Salah....” Jawab sebagian besar murid yang lain.
Kelabu pun merasa sangat malu. Dia mencubit lengan Biru dengan keras karena sangat kesal pada sahabatnya itu.
“Hayo, padahal baru saja dijelaskan lho. Mana ada batas daerah? Dari tadi ibu jelasinnya batas provinsi sama batas negara. Batas provinsi itu tandanya plus lalu minus yang berjajar. Kalau cuma tanda plus atau jumlah aja yang berjajar itu tanda batas?”
“Negara....” Murid-murid yang lain menjawab serentak.
“Baik, anak-anak. Sudah dulu pelajaran untuk hari ini karena jarum jam sudah menunjukkan waktu pulang. Halaman 49 buat PR ya.”
“Baik, Bu....”
“Awas ya, Bi, kamu! Pulang sendiri aja, aku nggak mau boncengin!”
“Aku nggak mau jahilin kamu. Aku mi-”
“Biru, ayo dipimpin berdoa!”
Biru pun tidak jadi melanjutkan kalimatnya. Dia mematuhi perintah gurunya.
“Tempat duduk siap grak! Berdoa mulai!” Hening. Semua murid menundukkan kepala meski ada beberapa anak yang matanya melirik ke sana ke mari. “Berdoa selesai. Beri hormat kepada Bu Guru.”
“Selamat siang, Bu!”
“Selamat siang anak-anak.”
Para murid pun mulai bubar. Kelabu yang biasanya menunggu pulang paling akhir agar tidak berdesakan, kini memilih untuk pulang awal meski harus berdesakan dengan teman-temannya. Biru pun mengejar sahabatnya itu. Sebenarnya, dia lebih takut Kelabu marah sama dia daripada harus pulang jalan kaki sendirian.
“Ela, tunggu!” Biru menyamai langkah anak perempuan itu.
“Aku nggak mau temenan sama kamu. Kamu nakal!”