Ketika Rumah Bukan Tempat Tinggal

Putri Zulikha
Chapter #25

Merantau

Sore ini, Tio bersama ibunya dan Kelabu bersama bunda sudah berada di rumah Jingga. Anak-anak berkumpul di ruang tengah yang sudah ditempeli papan tulis di temboknya, sementara ibu-ibu di dapur mempersiapkan cemilan untuk guru les anak-anaknya.

“Kenapa sih, Yo, kamu pengen banget dapat ranking satu?” Kelabu menatap Tio dengan penuh tanya.

“Kata ibuku, kalau aku juara kelas, bapakku akan pulang.” Tio menjawab sambil mencoret-coret di bukunya, entah menuliskan apa.

“Tapi kan jumlah nilai kamu sama Lila cuma beda dikit banget, Yo.” Jingga nimbrung.

“Tetap aja kan aku nggak dapat ranking satu.”

“Emang ayahmu ke mana sih?”

Tio diam. Dia hanya menatap Kelabu dengan bimbang. Untung saja guru les mereka tiba. “Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Anak-anak menjawab, sementara para ibu juga menyambut kedatangan pak guru untuk membahas biaya dan jadwal les ke depannya.

“Nanti kita les apa sih?” Melihat kehadiran pak guru membuat Kelabu lupa pada pertanyaannya ke Tio yang belum mendapatkan jawaban.

“Semua mata pelajaran, kecuali bahasa Inggris.” Jingga turut mengamati calon guru lesnya.

“Ohhh, kenapa?”

“Apanya?”

“Ya kenapa kecuali bahasa Inggris?”

“Kata mama sih pak gurunya nggak terlalu menguasai bahasa Inggris, takut salah.”

“Kan bahasa Inggrisnya anak kelas empat masih gampang.”

“Gampang tapi kok setiap ulangan bahasa Inggris nilaimu jelek?” Tio nyeletuk.

“Iya kan karena aku masih kecil. Kalau buat orang gede kan gampang.” Kelabu menjawab dengan entengnya.

***

Sepulang dari les, Kelabu makan malam bersama bundanya di meja makan. Sambil makan, dia menceritakan hari pertama les. “Bun masak tadi pak guru ngira Ela ranking satu di kelas.”

Bunda sedang melahap nasi sehingga tidak memberikan komentar. Gibran yang baru selesai mengambil wudu menimpali sambil berlalu. “Halah itu biar kamu seneng aja makanya pak guru bilang gitu.”

“Ih nggak ya, orang tadi belajar matematika terus aku ngerjainnya cepet dan betul semua.”

“Kamu mau salat apa, Bran?”

“Salat magrib, Bun.” Gibran masuk ke kamarnya, menggelar sajadah.

“Sudah setengah tujuh kok baru salat magrib.” Bu Maryati geleng-geleng karena kelakuan anak keduanya.

Lihat selengkapnya