Ketika Rumah Bukan Tempat Tinggal

Putri Zulikha
Chapter #26

Rahasia Tio

Hari demi hari telah berlalu dengan berbagai luapan emosi yang menyertai mereka, renyahnya tawa, isakan tangis, menggelegarnya amukan, ya seperti hari-hari biasa yang mereka lewati dengan berbagai peristiwa. Kelabu dan teman-temannya telah melampaui kegiatan pembelajaran hingga kelas 6.

Pengumuman kelulusan pun tiba. Para orang tua wali murid kelas 6 telah duduk rapi di depan panggung sebelah kiri. Di barisan paling depan sudah ada ibunya Tio, ibunya Kelabu, dan Bapaknya Lila yang sudah dipersiapkan tempat duduknya oleh pihak sekolah. Sementara anak-anak berada di barisan kanan, bapak ibu guru duduk di kursi samping panggung.

“Seluruh hadirin dimohon untuk duduk sesuai tempat yang telah dipersiapkan karena acara akan segera dimulai.” Seorang anak perempuan bertubuh bongsor yang tak lain adalah siswa kelas 5 mengenakan kebaya khas daerah memberikan komando dari sisi panggung, tepat berada di pojok depan samping tempat duduk guru.

Acara pun dimulai dengan tari gambyong persembahan dari adik kelas. Lalu dilanjutkan sambutan kepala sekolah. Tak berselang lama, pengumuman nilai tertinggi pun dimulai. Tio berhasil menjadi ranking satu seperti harapan ibunya. Sementara Lila dengan kegigihan dan kerajinannya berhasil menjadi ranking dua yang sebenarnya poinnya tipis sekali dengan Kelabu yang menjadi ranking tiga. Tentu hasil tersebut membuat mereka bahagia dengan berbagai caranya. Apalagi, ibunya Tio, raut wajah bangga itu jelas terlihat sekali dari binar wajahnya. Bahkan, di pelupuk matanya itu mengalir buliran air yang tanpa perlu dikomando telah membasahi pipinya. Wali kelas pun menghampiri ibunya Tio untuk memberikan selamat dan memeluk ibu Tio karena tahu betul cerita perjuangannya.

“Untuk nama-nama yang telah dipanggil silakan maju ke depan didampingi oleh orang tua siswa.” Monik, pembawa acara, menyapukan pandangannya ke arah ketiga orang tua tersebut, lalu segera mengalihkan tatapannya ke kepala sekolah. “Kepada Bapak Kepala Sekolah dimohon ke atas panggung untuk memberikan penghargaan.”

Mereka pun berfoto dan bersalaman satu persatu dengan kepala sekolah sembari menerima penghargaan.

“Beri tepuk tangan yang meriah untuk teman-teman kita yang telah meraih penghargaan!”

“Prok prok prok.....” Seusai foto mereka pun kembali ke tempat duduk masing-masing.

“Baik, selamat atas prestasi yang telah diraih oleh ananda Tio, Lila, dan Kelabu. Lanjutkan perjuanganmu di jenjang selanjutnya dengan lebih gemilang.” Pembawa acara menatap ketika siswa itu dengan senyuman. “Acara selanjutnya adalah kesan dan pesan dari kelas 6 yang akan diwakili oleh Kelabu. Kepada ananda Kelabu kami persilakan.”

Meskipun hanya menjadi ranking tiga, tapi entah mengapa justru Kelabu yang ditunjuk oleh guru untuk mewakili teman-teman kelas 6 memberikan sambutan. Mungkin saja si anak mungil dan aktif itu dirasa lebih cocok untuk mewakili teman-temannya karena dari ketiga peraih penghargaan, hanya Kelabu yang akrab dan banyak bermain dengan semua teman.

Kelabu kembali naik ke atas panggung dengan membawa secarik kertas yang telah dilipatnya menjadi dua, sekadar berjaga-jaga kalau ada yang dia lupa. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Tenggorokannya mulai terasa kering mencekat. Detak jantungnya kian mencepat.

“Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.” Gadis kecil berkepang rambut satu itu mengawali kalimat pertamanya dengan pandangan ke depan dan suara yang tertahan. Satu per satu kalimat telah dilayangkannya dengan sesekali dia melirik kertas di tangannya yang terlihat bergetar. “Jika ada salah kata saya mohon maaf, Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.” Dia menutupnya dengan senyuman merekah. Terlihat bahwa dia begitu lega telah berhasil menyelesaikan pidatonya. Tak sia-sia dia berlatih bersama wali kelasnya selama satu minggu untuk menghapal teks pidato dengan nada yang sesuai.

***

Sepulang dari acara perpisahan, Kelabu segera berganti baju. Gadis kecil yang hendak beranjak ke Sekolah Menengah Pertama itu mematut diri di depan cermin yang tergantung di dinding. Dua penjepit rambut berbulu warna putih itu dilepaskannya sejenak dari kepalanya. Anak-anak rambut dirapikannya dengan jari-jari mungilnya, setelah merasa rapi baru dipakaikan kembali penjepit tadi. Kepangan rambutnya dibiarkan tetap begitu saja.

Kelabu segera melangkahkan kaki keluar kamar. Tiba-tiba langkahnya dihentikan oleh suara ibunya. “Mau ke mana, El?”

“Mau ke rumah Lila, Bun.” Kelabu menimpali pertanyaan bundanya sembari menghampiri Bu Maryati yang sedang duduk di depan televisi karena sesuatu mengusik pikirannya. “Eh, Bun. Berarti ayahnya Tio bentar lagi pulang dong?”

“Hmm??” Tanya Bu Maryati bingung dengan pertanyaan anak bungsunya yang tanpa aba-aba sebelumnya. Alisnya terangkat satu.

“Kan katanya kalau Tio berhasil dapat ranking satu ayahnya mau pulang. Waktu itu sepulang dari les kan aku pernah nanya ke, Bunda.”

“Ohhh itu.”

“Oh itu gimana maksudnya, Bun? Jadi, Ayahnya Tio mau pulang apa nggak, Bun?”

“Yaaah bisa jadi pulang, bisa jadi juga enggak.” Bu Maryati menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Harusnya sih pulang ya, Bun.” Kelabu menetap atap rumahnya membayangkan. “Wahhh, pasti Tio bakalan seneng banget ya, Bun, kalau ayahnya pulang.”

“Kayaknya ayahnya nggak pulang, El.” Bu Maryati menjawab dengan tak bersemangat.

Kelabu terperanjat dari imajinasinya. “Lhoh kok gitu???”

Lihat selengkapnya