"Astaga!! Kopi apa ini?! Kamu becus nggak sih jadi istri? Bikin kopi saja rasanya seperti ini! Ini nih kalau punya istri bahkan lulus SMA saja tidak." kecam Abrar, sedangkan Zia hanya diam menahan perih perkataan suaminya, sembari mencuci piring.
Baru saja 6 bulan umur pernikahan mereka, Abrar pria yang ia percaya untuk menjadi imam dalam hidupnya, kini mulai memperlihatkan watak aslinya. Abrar seringkali berkata kasar, tak peduli bagaimana perasaan Zia saat ini.
"Mas makan dulu," Zia bahkan masih memperlihatkan senyum manisnya ketika menghidangkan sepiring nasi goreng buatannya.
"Pantas saja kamu gemuk! Makan terus di pikiranmu itu! Aku nggak doyan lihat masakanmu itu, bikin nggak nafsu makan kalau sambil liat kamu! Gemuk, nggak bisa merawat diri!" Lagi-lagi Abrar tak pernah bosan melancarkan hinaan demi hinaan kepada Zia. Dia bahkan tak peduli kalau kini mata Zia telah berkaca-kaca.
"Astaghfirullah mas, bisa nggak sih kamu nggak ngomong kaya gitu? Aku sedang usaha mas buat diet, semuanya berproses..." sahut Zia dengan linangan air mata.
"Halah!! Alasanmu banyak sekali, proses dan bla bla bla...Dari awal kamu bahkan nggak terlihat sedang diet, badanmu sama saja! Memang pada dasarnya kamu ini pemalas! Sudahlah, cape aku ngomong sama kamu."
Abrar segera meraih kunci motornya, ia bekerja sebagai sales di perusahaan motor yang cukup terkenal di kota Banjarmasin. Gajinya cukup besar, namun menurut Abrar, istrinya tidak berhak atas gajinya itu. Terlebih Zia juga bekerja menjadi admin di sebuah toko sembako. Gaji Zia cukup untuk memenuhi keperluan rumah sementara Abrar lalai dengan nafkah untuknya.
Zia masih bersabar, menurutnya selama Abrar tidak melakukan KDRT, main judi, narkoba, mabuk-mabukan ataupun berselingkuh, selama itu ia akan bersabar. Masih ada harapan agar suaminya itu mau berubah. Lagipula jika Zia harus berpisah, itu sangat tidak mungkin. Demi menikah dengan Abrar, ia bahkan melawan kedua orangtuanya.
Saat ini Zia hanya bisa meratap seorang diri, tidak ada tempat untuk bercerita bahkan untuk meluapkan isi hatinya.
"Jangan mengeluh, kan pilihanmu sendiri!! Bukan pilihan orangtua, kalau orangtua yang memilihkan justru untuk kebaikanmu, orangtua selalu ingin yang terbaik untuk anaknya!! Jadi kamu rasakan saja sudah pilihanmu itu!!" kata Bianca kakaknya Zia jika mendengar Zia mengeluh. Semenjak saat itulah Zia memutuskan untuk menahan semua lara di dadanya. Meski merasa bukan seorang wanita sholehah, Zia hanya bisa pasrah dan melampiaskan semua kepada Allah.
Kerapkali ia hanya bisa bercerita di atas sajadah, hanya kepada Allah kini tempat Zia mencurahkan segala gundah di hatinya.
"Ya Allah, Yang Mengetahui isi hatiku, ampuni aku dengan segala khilafku... Lembutkanlah hati suami hamba Ya Allah... buat ia menyayangiku, mengasihiku serta jagalah rumah tangga hamba Ya Allah..." tangis Zia pecah dalam sujudnya, seringkali ia berdoa agar Abrar mau berubah, seperti pertama kali mereka saling mengenal.
Pertama kali kenal, Zia merasa Abrar adalah lelaki yang baik, sangat penuh kelembutan dan kasih sayang. Membuatnya terlena akan bujuk rayuan. Zia tak pernah menyangka kalau Abrar akan berubah menjadi sosok yang sangat kasar, seringkali menghina dan merendahkannya.