Ketika Senja Tak Lagi Berwarna

Intan Rahmadani
Chapter #1

Ketika Kelam Menyapa

Angin berhembus melewati sela-sela dedaunan, menggoyang-goyangkan ilalang yang berada di sekitarku. Dedaunan berterbangan bak bulu yang terlepas dari seekor burung. Formasi angsa tampak elok menghiasi angkasa sore. Semburat merah menggurat angkasa bak lukisan. Menciptakan irama alam yang menakjubkan.

Aku tengah berlari di sela-sela ilalang yang tengah berdansa menyambut terbenamnya matahari. Berlari riang, membiarkan angin berhembus melewati rambutku. Melupakan pesan penting yang diberikan Ibu padaku. Soal pulang sebelum malam menjelang.

Di hadapanku, seorang gadis sekaligus teman berhargaku. Tertawa riang, menunjukkan salah satu giginya yang ompong.

“Senja, kamu tidak akan pernah bisa menangkapku!” Dia berseru meledek.

Nafasku tersengal. Keringat mengucur deras dari keningku. Sudah seharian ini kami bermain bersama. Lelah mulai menghampiri. Dan berakhir pada sebuah kecelakaan. Aku tersandung batu. Jatuh berdebam. Merengek.

Res, gadis itu menghampiriku. Menatap prihatin, membantuku untuk berdiri. Aku memanfaatkan kesempatan ini. Dengan cepat menggenggam tangannya. “Kamu tertangkap, Res.” Aku tertawa puas. Res hanya tersenyum lebar. Tidak protes.

“Senja, tidakkah kamu lapar?” Dia bertanya padaku.

Aku mengangguk sebagai jawaban. Setelah aksi kejar-kejaran tadi, perutku meraung meminta makanan.

“Kalau begitu ikuti aku! Aku menemukan tempat yang menakjubkan untuk makan bersama. Dan aku putuskan, tempat itu akan menjadi markas kita." Dia tersenyum nyengir.

Kami berdua menelusuri jalan setapak. Raja siang sudah mulai tenggelam. Menampakkan bintang-bintang yang siap menemani malam.

Kami melintasi perkebunan, menuruni bukit, menelusuri sungai. Sudah menjadi hal wajar bagi anak desa seperti kami melewati tempat-tempat berbahaya.

Sudah sepuluh menit lamanya kami berjalan kaki. Belum kunjung juga kami menuju tempat yang dimaksud Res. Aku ingin sekali bertanya, tapi aku urung. Dia pasti ingin memberi kejutan untukku.

Kami tiba di sebuah perkebunan dengan pepohonan yang menjulang tinggi. Dedaunannya terlihat rimbun, membuat tempat ini sedikit gelap. Entah mengapa aku mulai ketakutan. Bagaimana jika kami tersesat? Namun ini membuatku semakin penasaran.

Res berhenti sejenak menatap salah satu pohon. Dia tertawa renyah. Aku menyaksikan hal apa yang dilihat Res di atas pohon tersebut. Hei! Itu buah kelengkeng. Begitu banyak sampai-sampai terlihat menggiurkan. Sayangnya pohon itu terlalu tinggi untuk kami panjat.

“Res, kamu yakin bisa memanjat pohon tersebut?” Aku bertanya memastikan.

Dia menggeleng. “Tentu saja aku tidak bisa memanjat pohon ini. Tapi aku menemukan pohon lain, Senja. Pohon yang sangat unik. Bahkan tidak ada pohon yang bisa menandingi keunikannya.”

Dia kembali melangkah. Aku hanya mengekor bak anak itik yang tengah mengikuti induknya. Sesekali aku harus menyibak rumput liar yang menghadang. Serangga malam mulai mengganggu perjalanan kami.

Kami tiba di ujung hutan.

Cahaya sore mulai terlihat di antara celah pepohonan. Berjejer bagai lampu sorot. Res mempercepat langkahnya. Sepertinya kami sudah tiba di tempat tujuan. Saat kami berhasil keluar hutan, betapa menakjubkan pemandangan yang kusaksikan.

Kami berada di tepi tebing. Menyaksikan matahari yang tenggelam di balik lembah. Membiarkan cahayanya menyiram tubuh kami. Membiarkan angin sore menerpa wajah kami. Sungguh irama alam yang indah.

Namun, tujuan Res kemari bukanlah menyaksikan sunset. Bukan menikmati sore yang menenangkan. Aku tidak tahu hari itu akan menjadi hari terakhir aku bersamanya. Aku sungguh tidak tahu, jika hari itu adalah hari terakhir aku bisa menatap senyumannya.

Res menunjuk salah satu pohon yang berada di tepi jurang. Pohon tersebut terlihat pendek. Dahannya mengarah ke jurang yang terlihat terjal. Terdapat sekumpulan buah kelengkeng yang tergantung di rantingnya. Seketika aku menggeleng, itu sungguh ide buruk. Aku tidak mau berurusan dengan maut.

“Jangan lakukan hal berbahaya, Res! Sebaiknya kita pulang, malam sudah mulai menjelang. Kita harus kembali ke desa.”

Res menggeleng. Sekali dia memiliki keinginan, dia akan melakukannya. Tidak peduli seberapa bahaya hal tersebut.

Res mulai mendekati pohon itu. Aku terus memaksanya pulang, namun tak satu katapun dia dengarkan. Dia mulai memanjatnya perlahan. Mendekati dedahanan pohon dengan jurang di bawahnya. Ini gawat! Aku harus melakukan sesuatu.

“Res! Hentikan! Aku tidak mau memakan buah itu. Kita bisa cari di tempat lain atau aku tidak akan menganggapmu temanku.” Aku berteriak dengan suara lantang. Berharap membuatnya berubah pikiran.

Lihat selengkapnya