Ketika Senja Tak Lagi Berwarna

Intan Rahmadani
Chapter #2

Ketika Takut Berhenti Mengejar

Aku terdiam sejenak. Di hadapanku kini terjajar hamparan hutan lebat. Langit sempurna gelap dan menampakkan gugusan bintang dan bulan dengan bentuk bulat sempurna. Aku menatap ke arah belakang untuk memastikan aku berada di jalan pulang. Namun yang kudapati hanyalah jalan setapak yang dipenuhi dengan tanaman liar. Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa berada di tengah hutan lebat seperti ini? Bukannya tadi aku hendak pulang ke rumah dan jalanku terhenti lantaran sebuah kereta tengah melintas.

Aku segera membuka ponselku dan mencoba menelpon Ibu. Sayangnya ponselku tidak dapat menghubungi siapapun. Tanganku mulai bergetar. Apakah aku tidak sadar tengah mengambil jalan yang salah lantaran aku terlalu sibuk menangis. Aku terus mencoba untuk menghubungi siapapun yang tertera di ponselku. Nihil. Tidak ada satupun yang bisa aku hubungi.

Angin malam berhembus pelan. Membuat bulu kudukku berdiri. Tanganku mulai bergetar. tempat ini terlalu gelap. Rel kereta api masih berada di hadapanku. Hanya saja rel itu terlihat sudah tua dan berkarat. Bahkan nyaris tertimbun oleh tumpukan daun kering yang rapuh. Aku memutuskan untuk mengikuti jalur kereta api tersebut. Aku menggunakan ponselku sebagai penerangan. 

Suara jangkrik terdengar riuh. Lolongan serigala bahkan ikut serta meramaikan hutan yang mencekam. Tubuhku bergetar hebat dan keringat tak henti-hentinya mengucur deras dari keningku. Sejujurnya aku sangat ketakutan, tapi aku tidak punya pilihan selain melangkah dan menemukan jalan keluar. Hingga aku mendengar sebuah suara dari sisi hutan yang dipenuhi semak belukar. Aku terhenti. Memastikan apa yang baru saja aku dengar.

Lama kelamaan, aku bisa mendengar derap kaki mendekat. Aku segera mendekati asal suara. Mungkin saja itu seseorang yang tengah melintas atau berpatroli.

“Hei! Tolong aku! Aku tersesat di sini!” Suaraku menggema.

Suara derap itu semakin dekat. Dan betapa terkejut diriku mendapati sepasang mata yang tengah mengintai di sela-sela semak. Aku mundur beberapa langkah. Kepalaku mendongak. Astaga! Itu bukanlah seseorang. Melainkan sebuah makhluk dengan bulu kasar berwarna hitam pekat. Giginya penuh dengan taring yang tajam bak silet. Kukunya melengkung tajam bagai bilah pisau yang berjajar rapi. Makhluk itu terlihat seperti seekor beruang dengan tinggi nyaris dua meter. Aku menelan ludah. Masih tidak percaya pada apa yang kulihat. Aku segera berlari.

Makhluk itu meraung keras. Suaranya membelah langit malam. Burung-burung yang tengah tertidur bahkan dibuat terbangun dengan aumannya yang membahana. Makhluk itu lantas mengejarku. Aku bisa mendengar dengan jelas deru nafasnya yang terdengar kasar. Aku memutuskan untuk berlari ke arah hutan. Berharap makhluk itu akan sulit mengejarku. Tapi aku salah. Makhluk itu bisa bergerak dengan lincah walau di tempat sempit sekalipun.

Aku terus menerus menyibak kasar apapun yang menghalangi jalanku. Beberapa ranting tajam menggores kulitku. Tapi aku tidak peduli. Rasa takut lebih aku pedulikan dari pada rasa sakit di kulitku. Aku mengatupkan rahang. Sebenarnya apa yang telah terjadi?

Aku tersandung sebuah ranting dan berguling di dataran terjal. Ponselku terlepas dan kepalaku terbentur ke salah satu batu. Tubuhku tersangkut di salah satu dahan yang saling menyilang. Pandanganku kabur sejenak. Namun aku segera sadar begitu makhluk itu kembali meraung dan mencoba menerkamku. Aku berusaha melepaskan diri dari dahan yang mengunciku. Berhasil. Aku terjerembab dan kembali berlari sekencang mungkin.

Aku semakin kesulitan. Dengan beberapa lebam di tubuh serta luka goresan membuat langkahku semakin lambat. Makhluk itu masih mengejar. Suara buasnya terdengar sangat mengerikan. Aku tiba di ujung hutan. Cahaya purnama menyiram dataran luas dengan ilalang yang melambai pelan. Aku tidak peduli dengan semua pemandangan itu. Prioritasku saat ini adalah menyelamatkan diri dari makhluk buas tersebut. 

Aku mulai lelah. Nafasku sudah tidak karuan. Rasa sakit dan lebam semakin bertambah parah. Aku sudah tidak sanggup. Tubuhku terkulai. Wujud makhluk itu sempurna terlihat jelas dengan sinar rembulan. Matanya berkilat galak dengan air liur yang menetes dari sela-sela giginya. Aku mencari benda apapun yang bisa kugunakan untuk melindungi diri. Sayangnya hanya rumput yang berada di sekitarku.

Aku memejamkan mata. Aku hanya bisa pasrah sembari berteriak. Makhluk itu meraung dan mengangkat cakarnya yang tajam. Bersiap membunuhku kapanpun. Di detik-detik terakhir kuku tajamnya hampir menyentuhku, ketika aku berbisik pelan sembari memanjatkan do’a, suara derap kaki terdengar mendekat dengan cepat. Begitu cakar tajam dari makhluk itu berada sepuluh senti dariku, sebuah dentuman terdengar keras.

Aku membuka mataku dan mendapati sesosok misterius tengah berhadapan dengan makhluk tersebut. Dia dengan santainya mendekati makhluk itu. Seketika, begitu tangannya menyentuh lembut makhluk hitam yang tengah meraung marah, makhluk tersebut meledak dan pecah menjadi potongan-potongan cahaya bak ribuan kunang-kunang. Aku menatap takjub. Ribuan cahaya itu berpilin-pilin dan mengambang di sekitarku. Aku tidak tahu warnanya. Aku tidak tahu seperti apa warna-warna cahaya itu. Aku ingin tahu. Aku ingin semua warna-warna itu kembali.

Sosok misterius itu berbalik. Dia adalah seorang remaja laki-laki yang tampak dua tahun lebih tua dariku. Dia menatap ke arahku. Wajahnya tampak cerah disinari cahaya bulan. Matanya terlihat berkilau dengan tatapan yang begitu sendu. Laki-laki itu memiliki rambut hitam legam dengan poni yang terbelah tepat di samping kanan. Dia bergegas menghampiriku dan memeriksa beberapa lukaku.

“Kamu baik-baik saja?” Tanyanya dengan nada lembut.

Aku tidak tahu harus berkata apa. Saat ini aku benar-benar kebingungan. Aku sangat berharap jika ini semua hanyalah mimpi. Tapi semua ini begitu nyata. Sangat nyata.

“Dengar, saat ini bukanlah waktunya bagimu untuk menangis. Makhluk yang tadi kamu saksikan merupakan makhluk yang disebut sebagai Timere. Timere selalu memangsa jiwa yang tersesat dan berlari dari kenyataan. Timere bisa mendengar kesedihan seseorang dari jarak bermil-mil jauhnya. Hanya ada satu cara untuk menghadapi makhluk bernama Timere itu, kamu harus melawannya. Kamu mengerti?” 

Aku menggeleng tegas. Apa-apaan maksud dari penjelasan yang tidak masuk akal itu? Semua penjelasan itu hanya membuatku semakin bingung. Tak kuhiraukan peringatan pria tersebut. Aku malah menangis kencang.

“SSSTTT! Hei, tenanglah!” Pria itu terlihat panik sembari menepuk pelan bahuku.

Seketika, malam terasa hening. Angin malam bertiup kencang. Jangkrik membisu. Seakan semuanya tengah bersembunyi dari sesuatu. Tiba-tiba tanah disekitarku bergetar. Beberapa saat kemudian auman demi auman terdengar bersaut-sautan. Suara-suara itu terdengar memekakkan. Aku bahkan harus menutup kedua telingaku.

“Gawat.” Desis pria tersebut.

Tak lama kemudian puluhan makhluk yang disebut sebagai Timere itu berdatangan. Aku berteriak kencang. Pria itu terus menerus menenangkanku.

“Hei, hei, kumohon kendalikan dirimu. Jika begini terus kita berdua akan berada dalam bahaya. Untuk sekarang tarik nafasmu pelan...”

“BAGAIMANA BISA AKU TENANG DALAM KONDISI SEPERTI INI!!!” Aku berteriak sekuat mungkin. Berusaha mengalahkan segala kebisingan yang terjadi. Bukannya semakin tenang, semua ini malah membuatku semakin takut. Lihatlah! Saat ini dari berbagai arah mata angin makhluk itu tengah berlari mendekat.

“Aku juga pernah ketakutan sepertimu. Tapi, jika kamu membiarkan rasa takut menguasaimu, kamu tidak akan pernah bisa bernafas lega. Kamu hanya akan menjalani hari dengan penuh gelisah dan khawatir. Bukankah setiap manusia tidak menyukai perasaan itu? Jadi, jangan pernah membiarkan rasa takut itu mengendalikanmu. Kamu harus mencobanya. Mencoba untuk melawan. Bukan mencoba untuk mengalah.”

Lihat selengkapnya