“Hei, jelaskan padaku apa maksudmu.” Aku berusaha menyusul Zora yang berada beberapa langkah di depanku.
“Kamu akan tahu begitu hari esok datang.” Zora hanya menjawab santai.
Aku mengembungkan wajahku. Ini membuatku semakin penasaran. “Jangan mengucapkan kalimat hari esok akan datang. Itu kalimat yang sangat ambigu dan menggantung. Kamu sudah membuatku mati penasaran.” Aku nyaris terjatuh lantaran kakiku kesulitan untuk berjalan. Aku memutuskan untuk berhenti. Tidak lagi mengikuti langkahnya.
Zora yang tahu aku kesal lantas berbalik. Kami saling tatap dalam jarak satu meter. Zora lantas menghampiriku dan mengulurkan tangannya. Dia berniat untuk membantuku berjalan. Aku menolak tawarannya. Aku tidak akan bergerak sesentipun sebelum Zora menjawab semua pertanyaanku.
Namun bukannya menjawab Zora hanya tersenyum lembut sembari menjentikkan jemarinya ke jidatku. Hal itu membuatku terkejut.
“Senja, aku akan memberikanmu pilihan. Pilihan pertama, kamu akan mengikutiku dan mengetahui jawabannya di esok hari. Pilihan kedua kamu akan tetap berdiam di sini tanpa tahu jawabannya sementara aku akan meninggalkanmu sendirian di tengah gelap gulita.” Zora mengacungkan kedua jarinya lantas menggoyangkan keduanya bersamaan. “Aku harap kamu tidak memilih pilihan yang kedua. Kamu pasti tidak akan suka. Di tengah gelap begini bisa saja ada makhluk yang lebih mengerikan dari pada Timere. Ah, dan pastinya kamu juga tidak ingin kejadian seperti tadi terulang untuk kedua kalinya, kan?” Zora mengangkat kedua alisnya.
Aku mengusap wajahku. Baiklah, lagipula aku memang sangat lelah dan tubuhku terasa sakit. Mungkin soal penjelasan bisa menunggu tapi tidak untuk tubuhku. Aku menerima uluran tangan Zora.
Kami berjalan sekitar lima belas menit lamanya dan tiba di sebuah ngarai . Di tengah ngarai terdapat kampung dengan cahaya yang berkilauan. Cahaya-cahaya itu berasal dari lampion yang tergantung di rumah penduduk. Zora membawaku ke salah satu rumah kayu yang terletak di pinggir kampung. Rumah itu memiliki arsitektur sederhana bergaya kuno dengan beberapa lampion yang tergantung. Halamannya luas dengan berbagai macam tanaman yang berjajar rapi. Satu dua tanaman berwarna biru ikut menghiasi taman tersebut. Untuk saat ini aku hanya bisa melihat warna biru. Sisanya hanyalah warna abu-abu.
Di depan rumah tersebut terdapat papan bertuliskan rumah singgah. Tampaknya rumah itu semacam hotel atau guest house. Zora membawaku masuk ke dalam rumah tersebut. Dua orang perempuan menyambut kedatangan kami. Mereka terlihat terkejut menatap kondisiku yang kotor dan terluka. Salah satu dari mereka segera membawaku ke dalam kamar.
“Nona, kami akan segera mencarikan tabib. Ada baiknya anda beristirahat dulu di kamar ini. Jika anda membutuhkan pakaian, anda bisa mengambilnya di lemari yang telah tersedia. Jika mau anda boleh membawa beberapa pakaian.” Ujarnya dengan suara lembut.
Aku mengangguk pelan sebagai jawaban.
Perempuan itu lantas meninggalkanku sendirian di kamar.
Aku merebahkan diriku di atas kasur yang empuk. Sekujur tubuhku masih terasa sakit. Sejatinya aku benar-benar tersiksa ketika Zora membantuku berjalan. Setiap kali aku melangkah, aku selalu mengernyitkan dahi dan menahan sakit. Begitu aku merebahkan diri di atas kasur, segala rasa lelah dan bingung seakan menghilang. Aku baru sadar jika aku masih mengenakan seragam dan penampilanku sudah macam orang terlantar di pinggir jalan. Rambutku kusut dan seragamku dipenuhi debu dan beberapa sobekan di lengan bajuku. Mungkin ada baiknya jika aku membersihkan diriku terlebih dahulu.
Aku mendekati lemari yang berada tepat di samping ranjang. Di dalam lemari tersebut tersedia berbagai pakaian. Astaga! pakaian di lemari itu macam pakaian di zaman kuno Belanda. Berbagai gaun dan model tergantung rapi. Aku tidak tahu warna setiap baju yang tergantung. Hanya ada satu baju yang terlihat sangat sederhana dengan warna biru gelap polos di bagian bawahnya. Sementara bagian atas di pandanganku hanya berwarna putih. Aku tidak punya pilihan, pakaian itu adalah pakaian yang sederhana menurutku.
Seusai mandi dan berganti pakaian, aku merebahkan diriku di atas kasur. Rasanya benar-benar segar. Luka di sekujur tubuhku sudah aku bersihkan dengan baik. Aku menyempatkan diri untuk memeriksa isi tasku. Setidaknya barang-barangku dalam keadaan aman. Tapi aku segera panik begitu mengetahui ponselku tidak ada di dalam tasku. Aku baru ingat jika ponselku terjatuh saat kejar-kejaran dengan Makhluk bernama Timere tadi. Aku mengacak kasar rambutku. Sekarang aku benar-benar tidak punya kesempatan untuk menghubungi siapapun.
Aku memutuskan untuk tidur. Mungkin Zora akan membantuku besok. Dia juga pasti akan menjelaskan semuanya padaku. Aku sungguh tidak tahu darimana dia berasal. Dan alasannya mengatakan jika dia adalah mentor yang diutus untuk membantuku pulih. Saat ini aku akan mempercayainya.
***
Aku mengerjabkan mataku. Cahaya matahari sudah menerobos masuk di sela-sela jendela yang menampakkan pemandangan ngarai yang menakjubkan. Aku meringis. Kakiku masih terasa sakit. Aku duduk dan menyibak poniku yang menutupi pandangan. Di sampingku terdapat dua roti dan secangkir teh yang terhidang di atas meja kayu. Aku tersenyum tipis. Saat ini aku memang sedang lapar. Kejadian kemarin malam benar-benar membuat seluruh tenagaku terkuras.
Jam tanganku menunjukkan pukul enam pagi. Aku memutuskan untuk melahap habis makanan yang terhidang. Walau roti ini terasa hambar aku begitu menikmatinya. Seusai makananku tandas, aku menyeruput teh hangat yang terasa manis sembari menatap ke arah luar jendela. Sepertinya aku memang berada sangat jauh dari rumah. Tempat ini benar-benar asing. Rasanya bagai terlempar ke zaman dulu.
TOK! TOK! TOK!
Seseorang mengetuk pintu. Aku segera meletakkan cangkirku dan bergegas membuka pintu kamar. Seorang kakek-kakek berusia sekitar enam puluh tahun telah berdiri di daun pintu. Dia memakai jas dengan beberapa tali yang saling menyilang. Di juga memakai topi dengan tinggi sekitar lima belas senti. Tangan kanannya membawa koper berwarna hitam.
“Halo, Nona. Selamat pagi. Aku Laakari. Aku seorang tabib yang diutus oleh Tuan Ozora. Aku kemari untuk memeriksa keadaanmu, Nona.” Laakari tersenyum lembut sembari mengangkat topinya. Menampakkan rambutnya yang berwarna putih
Aku mengangguk pelan. Mempersilahkannya untuk memeriksaku.
Laakari tampak lihai. Dia mengeluarkan berbagai macam peralatan dan obat-obatan yang tidak aku mengerti. Dia mengganti perban di kakiku dengan perban yang diolesi obat. Dia juga memberiku berbagai resep untuk mempercepat penyembuhanku.
“Nona, berasal dari mana?” Laakari bertanya. Memecah lengang.
Aku mengusap poniku. Aku sendiri bahkan tidak tahu kenapa bisa nyasar di tempat seperti ini. tempat yang seakan berbeda dunia dengan tempatku.
“Aku tidak bisa menjelaskannya. Tapi aku tiba-tiba nyasar di tempat kalian.” Aku menelan ludah. Hanya itu jawaban yang bisa kuberikan padanya.
Laakari tertawa renyah. Membuat kerutan di sekitar pipinya terlipat.