Kami tiba di sebuah kampung tepat sebelum matahari sempurna tenggelam. Zora berterima kasih pada sang kusir sebelum memasuki desa tersebut.
“Sebenarnya apa yang kita lakukan di tempat seperti ini?” Aku memutuskan untuk bertanya. Seingatku Zora sempat membicarakan soal telaga.
“Kamu akan tahu begitu tiba di tempat itu.” Zora hanya menjawab singkat.
Ada satu hal yang janggal dari tempat ini. Tidak ada siapapun di desa ini. rumah-rumah terbengkalai. Satu dua bahkan nyaris runtuh. Barang-barang dan berbagai peralatan terbengkalai begitu saja. Kertas-kertas berserakan. Hening. Semua penduduk seakan menghilang.
Kami terus menelusuri seluk beluk desa. Melewati gang sempit. Menaiki undakan tangga. Aku hanya mengekor di belakang Zora seperti anak ayam yang tengah mengikuti induknya. Langit semakin gelap. Matahari mulai bersembunyi. Digantikan malam dengan gugusan bintang berwarna kebiruan. Kali ini ada tambahan warna kuning.
“Zora, apakah menurutmu Timere akan muncul malam ini?” Aku bertanya lirih. Memecah kesunyian.
“Tentu saja tidak. Karena kamu sudah berhasil melawan mereka. Timere itu sebenarnya lebih penakut dari kita, Senja. Sekali mereka dikalahkan, mereka semua tidak akan pernah berani mendekat. Mereka akan mengincar mangsa lain yang lebih lemah.”
Aku menelan ludah. “Apakah semua jiwa sepertiku berhasil selamat dari para Timere?”
Zora terhenti dan berbalik. Dia menyentil keningku. Aku mengaduh kesakitan.
“Jangan membicarakan sesuatu yang tidak menyenangkan.” Zora hanya tersenyum. Senyuman yang terkesan menyebalkan. Lantas kembali berjalan.
Aku bersungut-sungut di dalam hati. Terkadang tingkahnya menyebalkan. Dia seakan berlagak tidak peduli jika aku menanyakan soal sesuatu yang mengerikan atau semacamnya. Aku mengusap keningku. Kembali mengekornya dari belakang.
Kami tiba di puncak desa dan menemukan hamparan telaga yang dikelilingi oleh pepohonan rindang. Di seberang telaga terdapat dua tebing yang terbentuk bak gerbang. Telaga itu begitu luas. Permukaannya bak cermin yang memantulkan pemandangan angkasa. Terdapat sebuah dermaga di sisi telaga. Hanya saja tidak ada perahu yang tertambat di sekitar dermaga.
“Senja, serahkan ranselmu.”
“Eh, untuk apa?” Aku bertanya sembari menyerahkan ranselku.
“Tasku anti air dan kita harus berenang untuk menyeberang ke celah di antara dua tebing itu.” Ujar Zora sembari menunjuk ke arah tebing.
“Eh, yang benar saja? Aku hanya punya seragamku yang kotor untuk berganti pakaian. Dan juga di pandanganku telaga itu berwarna abu-abu gelap. Bahkan nyaris berwarna hitam. Itu tampak mengerikan. Tidak bisakah kita mencari jalan lain?” Aku bergidik ngeri.
“Kita tidak punya pilihan lain. Tujuan kita ada di depan mata.” Zora mencoba meyakinkanku.
Aku hanya mengabaikan kalimatnya.
“Bukankah kamu ingin pulang, Senja? Ini adalah salah satu ujian yang harus kamu lalui. Biar aku beri penjelasan. Hidup itu tidak pernah semulus yang kita bayangkan. Seperti aliran air. Terkadang ada saja batu yang menghalang. Atau kamu bisa saja tidak menemukan celah untuk melanjutkan perjalananmu. Tapi, air bisa menemukan celah walau sekecil apapun. Mencari jalan keluar atas masalah-masalah mereka. Lantas kembali mengalir hingga tiba di lautan luas yang menjadi tujuan akhir mereka.”
Aku memejamkan mataku. Untuk beberapa saat aku tidak bisa menerima kalimat Zora.
“Tapi telaga itu benar-benar terlihat menyeramkan bagiku. Ini bukan soal takut atau semacamnya. Tapi ini soal apa yang aku lihat.”
“Kalau begitu jangan melihat dari sisi matamu. Tapi lihatlah dari sisi hatimu, Senja. Coba kamu ingat-ingat seperti apa warna telaga. Bagaimana rasanya. Dan seperti apa wujudnya.”
Aku menggigit bibir. Aku memang pernah beberapa kali ke telaga saat masih kecil bersama Res. Hanya saja aku tidak ingin membiarkan kenangan itu mengalir. Setiap kali mengingat sebuah tempat ataupun kejadian yang mengingatkanku dengan wajah Res, itu membuatku sakit. Aku berusaha melupakannya. Tidak ingin mengenangnya. Masa lalu, semua itu. Ingin aku lupakan.
“Aku tidak ingat, Zora. Berapa kalipun aku mencoba mengingatnya aku tidak bisa.” Aku berujar lirih.
“Baiklah, tapi tidak ada salahnya jika kita mencoba.” Zora berseru optimis.
Tepat ketika Zora mengucapkan kalimat itu, dia berlari kencang ke arah dermaga sebelum sempat aku hentikan. Zora melompat ke dalam telaga tanpa ragu sedikitpun. Membuat percikan air dimana-mana. Aku berlari ke tepi telaga.
“Zora!” Aku berteriak memanggil namanya.
Zora hanya tertawa. “Kamu harus mencobanya, Senja. Air di telaga ini benar-benar segar.”
“Apa kamu sudah gila, hah? Mana ada orang yang berenang di malam hari.”
“Kamu akan tahu rasanya jika sudah berada di dalamnya.” Zora mengulurkan tangannya yang basah ke arahku.
Aku menggigit bibir. Memandang sejenak warna telaga yang berwarna kelabu. Aku berusaha mengumpulkan keberanian. Perlahan aku mulai menurunkan kedua kakiku. Menyeburkan diri ke dalam telaga. Tapi aku langsung panik begitu tidak mendapati kakiku menginjak dasar telaga. Aku berada di dalam air dan semua pandanganku hanya ada warna hitam. Aku bergerak panik dan lupa untuk menuju ke permukaan. Untungnya Zora dengan cepat menarikku ke permukaan.
Aku menarik nafas. Dadaku berdegup kencang.
“Senja, tenangkan dirimu!” Seru Zora.
Aku menggelengkan kepalaku. Tiba-tiba saja semua kenanganku bersama Res terbesit. Aku kembali panik. Air di sekitar kami berubah menjadi ombak. Ombak itu semakin besar dan menghancurkan dermaga. Kami berdua tersapu ke sana kemari. Aku berteriak kencang. Mulutku berkali-kali kemasukan air. Zora masih memegangiku dan berusaha menenangkanku.
“Senja, jangan kamu tahan perasaan itu!”