“TERUS, RES! AKU JUGA KETAKUTAN SEPERTIMU! AKU, AKU PASTI AKAN MENGGAPAI TANGANMU!”
Aku berusaha menggapai tangannya. Jarak kami tinggal beberapa senti lagi. hanya tinggal sedikit lagi.
“Senja!”
Aku tidak peduli dengan asal suara yang samar-samar memanggilku. Terus berusaha menyelamatkan Res.
“Senja!”
Suara semakin terdengar. Aku masih tidak peduli. Saat ini prioritasku adalah menyelamatkan Res.
Tanganku berhasil menggapai Res. Namun kejadian itu terulang lagi. berapa kalipun aku menyelamatkannya, kejadian itu selalu terulang. Dahan tempat dia berpijak retak. Tubuhnya terjun bebas dan menghantam bebatuan. Aku berteriak.
“SENJA!”
Aku membuka mataku dan menarik nafas panjang. Menyaksikan Zora yang duduk di sampingku. Keringat dingin mengucur melalui keningku. Jantungku berdegup kencang dan nafasku tersengal. Pipiku telah basah dengan air mata.
“Kamu bermimpi buruk?”
Aku mengusap air mataku dengan lengan bajuku. Setidaknya aku ingin berbaring sejenak dan menenangkan diriku.
“Zora, beri aku waktu sejenak untuk sendiran.” Aku mendesah pelan.
Kali ini Zora menurut. Dia tidak memberiku nasihat atau kata-kata bijak. Tampaknya dia selalu mengambil keputusan tergantung keadaanku. Dan saat ini dia mengerti betapa aku hanya ingin sendiri.
Zora menepuk pelan bahuku. “Jika kamu sudah merasa lebih baik, temui aku di tepi telaga. Aku akan menunggu sampai kamu benar-benar pulih.” Zora mulai meninggalkanku.
Aku menggigit bibir. Kenapa aku sangat tersiksa begini? Kenapa aku sangat menyedihkan? Aku tahu mimpi itu hanyalah ilusi yang diciptakan oleh alam bawah sadarku. Namun kenapa aku masih merasa hal itu adalah sebuah kenyataan? Kenapa aku masih bersikeras ingin menyelamatkan Res padahal dia sudah tertinggal jauh di masa lalu? Pertanyaan itu, semua kenangan itu, membuatku kembali terisak. Ini tidak seperti kejadian kemarin dimana aku membiarkan ingatan indah bersamanya mengalir dipikiran. Ini bukan soal hal itu. Ini soal penyesalan.
Aku terisak sembari menutup mataku dengan lenganku. Setidaknya aku ingin menangis walau sejenak. Menumpahkan semua rasa bersalah ini. Aku tidak ingin Zora melihatku yang menangisi diriku sendiri. Aku tidak ingin dia melihatku yang begitu menderita.
Setelah puas menangis selama beberapa menit, aku mulai tenang. Air mataku terhenti. Mungkin aku memang harus melakukan sebuah perjalanan agar aku tidak mengingat penyesalan ini. Agar aku tidak terlalu larut dalam kesedihan. Mungkin melakukan sebuah perjalanan adalah cara terbaik lari dari sebuah penyesalan. Yah, aku yakin itu.
Aku mulai merapikan diriku dan menyeka air mata yang tersisa. Lantas berlari menghampiri Zora yang tengah duduk di salah satu batang kayu yang sudah tua sembari memandang ke arah telaga. Aku terhenti sejenak menatap wajahnya yang begitu tenang. Untuk sesaat, aku bisa melihatnya tersenyum tipis. Senyum yang begitu misterius. Senyum yang terkesan...
Zora menoleh ke arahku. “Apa kamu sudah tenang?”
Aku buru-buru membuang muka. “Iya, aku sudah lebih baik sekarang.”
Zora menghampiriku dan menepuk pelan kepalaku. “Kalau begitu kita akan melanjutkan perjalanan ini. Kamu masih sanggup, kan?”
“Tentu saja! Aku harus pulang secepat mungkin. Aku tidak bisa terjebak di dunia ini lebih lama lagi.”
Zora tertawa getir. “Kamu memang seorang murid yang spesial.”
Aku menelan ludah. Entah apakah itu sebuah pujian atau semacam majas ironi.
Kami lebih dulu menyantap sarapan pagi. Ternyata Zora sudah menyiapkan segalanya ketika aku masih terlelap dan bermimpi. Untuk beberapa alasan Zora memang sangat bisa diandalkan. Membuatku selalu merasa tenang ketika berada di sisinya.
Seusai makanan tandas dan membersihkan tenda beserta api unggun, kami kembali melanjutkan perjalanan. Zora tidak mengatakan kemana kita harus pergi. Aku juga tidak banyak bertanya. Selama berjalan kaki Zora lebih sering menjelaskan soal tanaman, hewan, dan beberapa pengetahuannya mengenai alam. Dia juga memberiku tips untuk bertahan hidup di alam liar. Aku hanya mengangguk paham. Memutuskan untuk mendengarkan.
Perjalanan menjadi tidak membosankan dan melelahkan. Zora memang sangat menyenangkan. Dia bahkan melontarkan beberapa candaan dan kuis menarik. Apalagi sekarang dedaunan dan rumput liar tidak lagi berwarna abu-abu, melainkan berwarna hijau segar. Aku bisa merasakan betapa sejuknya hutan ini. Embun-embun yang tergantung di ujung-ujung daun, kicau burung bersenandung, gemerisik pohon yang menenangkan. Semua sensasi ini membuatku lupa jika aku tengah berada di dunia lain. Mungkin?
Setelah satu jam lamanya berjalan, kami akhirnya menemukan pemukiman penduduk di tengah hutan belantara. Tidak seperti desa sebelumnya, desa ini tentu saja berpenghuni. Namun ada sesuatu yang berbeda dari desa ini. Aku bisa menyaksikan banyaknya kuda di setiap rumah penduduk. Begitu kami memasuki gerbang, beberapa orang menunduk hormat. Satu dua bahkan menyapa Zora. Mereka semua tampak ramah sehingga aku tidak punya alasan untuk tidak tersenyum.
Zora mengunjungi salah satu rumah kayu berwarna putih. Setidaknya itu warna yang kulihat. Dia mengetuk pelan pintu rumah.
Terdengar suara gaduh dari dalam rumah. Sesekali terdengar suara piring pecah dan berbagai perabotan yang saling berkelontang. Aku bisa membayangkan apa yang terjadi.
Pintu terbuka beberapa menit kemudian. Seorang wanita berambut panjang dengan rambut sedikit keriting muncul. Wajahnya tampak berusia sekitar tiga puluh tahunan. Dia terlihat terkejut dengan kehadiran Zora.
“Astaga, Zora! Sejak kapan kamu datang?” Wanita itu tersenyum.
“Maaf, kak. Aku datang mendadak. Biar aku perkenalkan seseorang yang sedang bersamaku.” Zora lantas menarik lenganku dan saling mengenalkan kami. “Senja, gadis ini adalah kakakku. Namanya Cava Lier. Kamu bisa memanggilnya Cava.”
Aku mengangguk sembari tersenyum. Kami berdua saling menjabat tangan.
“Oh, maaf sudah membuat kalian berdiri lama di sini. Sebaiknya kalian masuk, aku akan segera menghidangkan beberapa masakan untuk kalian.” Cava Mempersilahkan kami untuk masuk.
“Tidah usah, Kak. Kami sedang buru-buru.” Zora menolak tawarannya.
“Ah, benarkah? Sayang sekali.” Wajah Cava berubah sedih. “Sepertinya kamu hendak mengantarkan gadis ini pulang, kan?”
Zora menatap ke arahku sembari mengangguk. “Tapi aku memiliki satu permintaan, Kak. Bisakah Kakak mengajari Senja cara untuk berkuda?”
Raut wajah Cava kembali senang. “Tentu saja aku mau!”
Aku tidak tahu kenapa aku harus belajar menunggangi kuda. Tapi aku urung menanyakan hal itu. Cava membawa kami ke sebuah pertenakan. Aku bisa melihat banyak sapi dan domba di dalam peternakan tersebut. Peternakan ini sangat luas. Beberapa orang berpakaian kemeja kotak-kotak dan rompi kulit tampak sibuk memberi makan hewan ternak itu. Kami memasuki salah satu area yang merupakan kandang kuda. Terdapat berbagai kuda dengan warna dan tinggi yang berbeda-beda.
Cava berhenti di salah satu kuda yang berwarna putih bersih. “Nah, Syenja...”