Aku mengernyitkan dahiku. Mataku mengerjab. Tubuhku tidak lagi terasa dingin. Digantikan rasa hangat yang sangat nyaman. Aku mendapati diriku berada di atas ranjang dengan perapian di sisi ruangan. Seluruh rumah dilapisi dengan kayu. Aku berusaha menoleh ke arah samping, namun leherku terasa kaku.
Beberapa menit kemudian, aku mendengar seseorang tengah berbincang. Pintu kamar terbuka dan seorang kakek-kakek dengan janggut tebal menjulur sampai ke dada memasuki ruangan. Tubunnya terlihat gempal dan berisi. Dia mengenakan topi rajut dengan jaket kulit berlapis-lapis. Kakek itu terkejut mendapati diriku yang sudah sadar.
“Kau baik-baik saja?” Kakek itu bertanya dengan lembut.
Aku meringis. Tubuhku terasa kaku. Tulangku seperti membeku. “Dimana ini?” Aku bertanya dengan suara serak.
“Kau dibawa temanmu kemari saat badai salju tengah berkecamuk.”
“Zora, dimana dia?”
“Maksudmu laki-laki yang membawamu kemari?”
Aku mengangguk.
Kakek itu menghela nafas sejenak. “Dia baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir.”
Walau demikian aku bisa melihat arti lain dari wajahnya.
“Kau harus beristirahat. Tubuhmu harus memulihkan diri setelah mengalami kedinginan hebat. Saat dibawa kemari, kau berada dalam keadaan kritis. Kami memakai peralatan seadanya untuk menolongmu. Syukurlah, kau berhasil selamat”
Aku menatap ke arah langit-langit ruangan. Apakah perjalanan untuk kembali harus sesulit ini? Bertarung dengan bahaya dan nyawa menjadi taruhannya. Jika saja, jika saja aku selalu pulang ke rumah tepat waktu, mungkin saja semua ini tidak akan pernah terjadi. Mungkin saja saat ini aku sudah berada di rumah dan melewati hari-hari bersama kedua orang tuaku dengan bahagia. Kenapa aku menyia-nyiakan waktuku dengan merenung dalam kesedihan? Semua pertanyaan ini, semua perasaan ini, sungguh menyakitkan.
Tak lama kemudian aku kembali terisak. Sudah tak terhitung berapa kali aku menangis. Berapa kali air mata tumpah dari ujung mataku. Kenapa aku tidak pernah bisa menahan semua rasa sedih ini? Argh, bukankah aku sudah lelah untuk menangis? Lantas, mengapa, mengapa aku masih saja menangis? Jika Res masih hidup, dia pasti akan meledekku dan menganggapku sebagai anak kecil yang cengeng.
“Apakah kamu jiwa yang tersesat, Nak?” Kakek tua itu bertanya lirih. Wajahnya tampak prihatin menatapku.
Aku mengangguk lirih. Urung untuk berbicara. Terutama aku tidak mengenali pria tua tersebut.
“Kalau begitu ini adalah tugasku sebagai seorang pendongeng.”
Aku mengusap air mataku. Apakah ini ujianku selanjutnya?
“Kamu tahu, dongeng ataupun cerita fiksi bisa membuat seseorang merasa lebih tenang. Alasan mengapa setiap orang tua menceritakan dongeng sebelum tidur kepada anak-anak mereka adalah sebagai penenang dan rasa hangat. Ah, sudah berapa kali aku menyaksikan para jiwa yang menangis sepertimu. Beberapa memiliki masalah dengan keluarga mereka. Jarang meluangkan waktu, perceraian, atau bahkan membenci anak mereka sendri. Tapi dari tatapan matamu aku bisa tahu, kau bukan bagian dari masalah itu. Kau hanya perlu menemukan seseorang untuk bercerita. Seseorang yang bisa kau sebut sebagai teman.”
Aku mengatupkan rahang. Perkataan itu bagai telak menghantam hatiku. Seakan ada batu besar yang sedang memukul tubuhku.
“Baiklah, izinkan pria tua dengan nama Salomo ini menceritakan sebuah kisah kepadamu. Kisah di balik hangatnya malam di musim dingin. Kisah tentang betapa kita tidak bisa membohongi diri kita sendiri.”
Salomo mendekat ke arah perapian. Dia mengeduk bara api agar tidak padam menggunakan tongkat. Lantas duduk di sofa dekat ranjang. Aku tidak tahu, sebenarnya apa perlu aku mendengarkan sebuah dongeng dengan orang yang baru saja aku kenal. Tapi, aku hanya bisa pasrah. Mungkin dengan mendengarkan ceritanya, aku bisa menghilangkan rasa sedihku terjebak di dunia lain.
Tiba-tiba saja, seluruh ruangan dipenuhi kabut tipis. Aku menoleh ke sana-kemari. Apa yang telah terjadi? Pandanganku memudar sejenak, lantas digantikan suasana bersalju yang terasa tenang. Hei! Aku tidak lagi berada di ruangan kayu. Aku tengah berdiri di tengah hutan pinus dengan salju yang menggantung. Semua pemandangan didominasi oleh warna putih.
Salomo muncul di sampingku sembari terkekeh. “Tentu saja ini bukan sebuah dongeng biasa. Ini adalah dongeng yang bisa kau saksikan dengan mata kepalamu sendiri. Perhatikanlah dan dengarkanlah, maka kau akan mengerti, Nak.”
Seorang anak kecil laki-laki dengan rambut pirang dan mata biru tengah memancing di tepi sungai yang tampak membeku di bagian tengahnya. Walau demikian sisi sungai tidak membeku sepenuhnya. Dia ditemani oleh temannya yang berambut hitam. Nama anak berambut pirang itu adalah Henry. Dia merupakan putra dari seorang wanita jelata di desa terpencil. Henry tidak pernah tahu siapa ayahnya. Dia menjadi satu-satunya anak dengan rambut berwarna pirang di desanya. Dia menganggap dirinya adalah sebuah kesalahan.