Mataku mengerjab. Aku tidak lagi berada di sebuah ruangan kayu dengan perapian. Melainkan di sebuah gua dengan stalaktit yang menggantung. Sesekali terdengar suara air yang menetes pelan dan menggema memenuhi gua. Aku terduduk dan menatap ke sekitarku. suhu di dalam gua terasa hangat lantaran terdapat api unggun yang bergemeletuk pelan. Hingga aku menatap tubuh Zora yang menggigil kedinginan di dekat dinding gua yang kasar. Dia tidak mengenakan syal ataupun jubah. Aku baru menyadari satu hal, selama aku pingsan Zora memberikanku jubah miliknya.
“Zora!” Aku berseru. Suaraku menggema di seluruh gua.
Zora terbangun dan terkejut mendapati diriku yang sudah sadar. Wajahnya tampak pucat pasih. Bibirnya kering dan nyaris berwarna kebiruan. Aku tahu, walau ada api unggun, tidak sepenuhnya membuat tubuhnya merasa hangat. Aku bergegas menghampirinya. Zora hanya tersenyum tipis. Senyuman yang terkesan menyedihkan.
“Kenapa, kenapa kamu memberikanku jubahmu?” Aku bergegas melepaskan jubah miliknya dan mengembalikannya.
Zora tertawa renyah. “Sudah tugasku untuk melindungimu.”
Aku menggigit bibir. Aku tidak lagi bisa menahan emosiku. Aku menjitak kepalanya. Aku sudah tidak peduli dengan perbedaan umur ataupun status kedudukannya. Zora mengaduh pelan dan memegangi kepalanya.
“Kamu ini! Tidak bisakah kamu peduli pada dirimu sendiri! Kamu tidak tahu, kalau kamu mati sama saja aku tidak bisa pulang!” Aku menumpahkan segala emosiku.
Gua hening sejenak. Suaraku menggema dan memantul di sepanjang gua. Zora mengerjabkan matanya. Wajah terlihat polos.
“Wah, kamu ternyata bisa marah juga, ya...” Zora malah tersenyum meledek.
Wajahku merah padam. Aku baru sadar sudah membentaknya. Aku menutup mulutku dengan kedua tanganku.
“Tapi, Senja. Tanpa sadar kamu sudah mendapatkan pelajaran baru. Perhatian seseorang itu sangat hangat. Bahkan bisa mengalahkan dinginnya salju.” Zora berujar santai sembari menunjuk ke arah api.
Aku menoleh. Api itu tidak lagi sepenuhya berwarna kuning dan kelabu. Terdapat warna merah. Hanya saja ada sedikit warna abu-abu. Aku tahu satu warna yang tidak lengkap dari api tersebut. Jingga.
“Hahaha, jika saja sekarang ada cermin, aku akan menunjukkan wajahmu yang juga berwarna merah.” Zora tertawa pelan.
Aku menelan ludah. Mungkin wajahku sudah lebih merah dari kepiting rebus. Bukan karena marah, melainkan menahan malu yang luar biasa.
***
Seusai sarapan dan memulihkan tubuh, kami kembali melanjutkan perjalanan. Abyad meringkik pelan begitu aku menungganginya. Dia terlihat baik-baik saja. Begitu juga dengan kuda milik Zora yang dia beri nama Noir. Kami tidak singgah terlebih dahulu ke pemukiman terdekat. Melesat langsung ke arah barat. Zora selalu mengingatkanku jika waktuku untuk kembali tidak banyak.
Setengah hari berlalu dengan cepat. Kami semakin menuruni gunung salju. Udara terasa semakin hangat. Pemandangan tidak lagi didominasi oleh warna putih. Rerumputan kembali terlihat. Pepohonan rindang memenuhi hutan. Kami terus melaju ke arah barat. Setiap beberapa jam, kami beristirahat sejenak, memberi makan kuda kami. Lantas kembali melanjutkan perjalanan.
Malamnya, kami memutuskan untuk beristirahat di sebuah bangunan terbengkalai. Bangunan itu dinaungi pohon beringin dengan akar gantung yang menjulur ke bawah. Langit dipenuhi bintang-bintang. Bulan purnama menggantung elok di angkasa. Jangkrik bernyanyi riang. Burung hantu ikut serta meramaikan suasana. Semua ini, nuansa ini terasa begitu mententramkan. Hingga Zora menunjukkanku sebuah pemandangan yang tidak kalah spektakuler.
Dari kejauhan, tepatnya ke arah gunung salju. Ratusan cahaya merah berterbangan dari satu titik yang kemungkinan adalah sebuah pemukiman penduduk. Zora bilang, cahaya-cahaya itu berasal dari lampion yang mereka terbangkan setiap beberapa bulan sekali. Sejatinya Zora ingin mengajakku ke tempat tersebut, namun waktu tidak memadai. Membawaku pulang lebih penting dari semua pemandangan tersebut.
Esoknya kami kembali melanjutkan perjalanan. Sekitar dua jam berkutat dengan hutan, kami kembali berada di padang rumput yang luas. Hanya saja padang rumput ini dikelilingi oleh ngarai dan lembah. Selama perjalanan Zora menjelaskan berbagai hal padaku. Seperti bagaimana ngarai-ngarai dan lembah itu terbentuk. Aku hanya mengangguk takjub. Seperti tengah mendengarkan penjelasan guru geologi.
Kami tiba di sebuah jurang yang begitu dalam. Saking dalamnya, di bawah sampai tertutupi kabut tebal. Aku bergidik ngeri menatap jurang tersebut. Terdapat sebuah jembatan gantung kayu yang membentang di antara dua jurang. Zora mendekati jembatan itu sembari memegangi dagunya.
“Kita harus menyeberang.”
Aku menatap ke arah jembatan kayu tersebut. Angin menggerakkan jembatan dan membuatnya bergoyang ke kanan dan ke kiri. Jembatan itu sangat panjang dan terlihat rapuh. Sesekali beberapa kayunya mengeluarkan suara berderik. Aku bergidik ngeri dan menganggap melewati jembatan itu adalah ide buruk.
“Nah, Senja. Kita harus berpisah sejenak dengan kuda kita.”
“Eh, kenapa? Aku masih sangat sayang dengan Abyad.” Aku memeluk kudaku.
Zora mulai turun dari kuda miliknya dan mengelus pelan kepala kuda tersebut. “Kita tidak bisa melintasi jembatan ini bersamaan dengan kuda milik kita. Itu terlalu berbahaya. jadi, aku akan menyuruh kedua kuda kita untuk mencari jalan memutar yang lebih aman.”
“Kalau begitu, kenapa kita juga tidak mencari jalan lain saja jika melintasi jembatan itu merupakan hal yang berbahaya.” Aku memberi saran. Sejujurnya aku memang tidak mau melintasi jembatan mengerikan tersebut.
“Tidak, di seberang jembatan ini ada sebuah lembah yang disebut sebagai Lembah Mimpi. Di tempat itulah kamu akan mempelajari satu hal baru dan menemukan warna selanjutnya. Dan melintasi jembatan itu jauh lebih cepat dibandingkan menunggangi kuda kita dan mencari jalan berputar. Akan memakan waktu berhari-hari jika kita memilih untuk mencari jalan berputar.”
“Kalau begitu, aku akan berpisah dengan kudaku dalam waktu yang lama. Bagaimana jika kuda kita lapar di tengah jalan atau tersesat. Atau mereka dimangsa hewan buas. Atau jika ada pemburu ataupun orang yang mengambil mereka berdua.” Aku berusaha mencari alasan lain.
Zora mendekatiku dan menjulurkan tangannya ke arahku. “Jawabanku tetap sama, Senja.”
Aku menghela nafas panjang. Baiklah, hanya Zora yang lebih paham dariku. Aku bisa melihat keyakinan di matanya. Walau sampai sekarang aku tidak tahu apa warna bola mata Zora. Tapi aku bisa menyaksikan sesuatu yang sangat dalam dari tatapan matanya.
Aku bergegas turun dari kudaku. Mengusap lembut kepala Abyad. Kuda itu meringkik pelan seakan mengucapkan kalimat perpisahan. Yeah, aku tahu hari seperti ini akan tiba. Perpisahan yang sangat berat.
Zora bersiul panjang dengan suara yang melengking. Kedua kuda itu meringkik dan meninggalkan kami berdua. Aku melambaikan tanganku dan menatap nanar ke arah mereka berdua yang semakin menjauh.
“Kamu sudah siap, Senja?” Zora meyakinkanku.
Aku membenarkan tudung jubahku. “Aku memang selalu siap untuk pulang.”
Kami mulai mendekati jembatan gantung tersebut. Angin terasa kencang menerpa wajahku. Jubahku sempat bergoyang liar karena terpaan angin tersebut. Jantungku berdegup kencang. Keringat dingin mengucur deras dari keningku. Siapa pula yang tidak takut berada di ketinggian seperti ini.
Kami mulai melintasi jembatan tersebut. Zora memimpin di depan. Dia berjalan dengan sangat hati-hati. Walau demikian wajahnya terlihat santai. Aku berpegangan pada tali jembatan dengan erat. Takut jika tiba-tiba jembatan gantung ini bergoyang kencang.
Kami masih melangkah dengan hati-hati. Aku bisa menyaksikan dasar jurang yang tertutupi oleh kabut tebal. Bertanya-tanya berapa kira-kira kedalaman jurang tersebut. Pikiranku kacau dan dipenuhi prasangka buruk. Argh! Rasanya aku ingin sekali mengeluarkan semua prasangka tersebut dari dalam kepalaku.
“Senja, aku sarankan kamu jangan melihat ke bawah. Pikiran negatif akan menguasaimu jika kamu terus menerus memandang ke bawah. Sebaliknya, jika kamu memandang ke depan, kamu akan dipenuhi dengan pikiran positif.” Ujar Zora dengan santainya. Dia bahkan tidak berpegangan pada tali jembatan.
Aku menoleh ke arahnya. “Aku tidak sepertimu yang selalu bersikap santai dan menggampangkan segala hal. Aku juga tidak sepertimu yang telah terlatih untuk berada di situasi seperti ini.”
“Aku tidak memintamu untuk bersikap sepertiku.” Zora berbalik dan berjalan mundur. “Aku hanya ingin kamu senantiasa berpikir positif.”
Aku mengusap wajahku. Ucapannya sama sekali tidak membuatku merasa lebih baik. hingga pandanganku tertarik pada senapan dengan moncong berbentuk seperti terompet tersebut. Aku sempat lupa menanyakan hal itu setelah berbagai kejadian menimpa kami.
“Zora, ngomong-ngomong benda apa yang kamu bawa itu?”Aku menunjuk senapan tersebut.
“Wah, selama perjalanan ini baru pertama kali kamu menanyakan benda ini. Jangan-jangan kamu sudah lupa diri dan mulai terbuai dengan keseruan dan tantangan yang kita lalui.” Zora tersenyum nyengir.
“Berhentilah bercanda.” Aku mengembungkan wajahku.