Ketika Senja Tak Lagi Berwarna

Intan Rahmadani
Chapter #8

Ketika Aku Percaya

Setelah satu jam berjalan kaki di tengah padang ilalang yang membentang, kami tidak sengaja menemukan sebuah kereta kuda yang melintas. Zora bergegas lari dan memanggil kereta tersebut. Sang kusir mendengar seruan Zora dan berhenti. Zora sedang melakukan negoisasi terhadap kusir tersebut. Untungnya kusir mengizinkan kami menumpang tanpa harus membayar. Sejauh ini aku tidak pernah melihat Zora mengeluarkan uang. Mungkin dia punya aura tersendiri yang membuat semua orang bisa tersenyum kepadanya dan melakukan permintaannya dengan senang hati.

Aku bernafas lega. Setidaknya kami tidak perlu lagi berjalan kaki. Apalagi setelah kejadian di Lembah Mimpi tadi membuatku sangat lelah dan mengantuk. Hingga aku teringat sesuatu.

“Zora, bicara soal mimpi, aku baru ingat sesuatu. Sewaktu kamu membawaku ke gua saat badai salju, aku merasa bermimpi aneh.”

“Mimpi yang seperti apa?”

Aku memegangi daguku. Anehnya aku tidak terlalu ingat dengan mimpi tersebut. Namun perasaan di dalam hatiku seperti mengingatnya. “Entahlah, saat memimpikan hal itu, aku tidak lagi bersedih. Perasaanku dipenuhi dengan kehangatan.”

Zora tersenyum. “Tidak semua mimpi bisa kita ingat, Senja. Tapi itu mimpi di dalam tidur. Berbeda lagi dengan mimpi yang disamakan dengan angan-angan. Setelah kejadian di Lembah Mimpi tadi, apa kamu sudah memiliki impian?”

Aku memutar bola mataku. Berpikir keras. Entah mengapa dipikiranku saat ini hanyalah kejadian-kejadian selama perjalanan kami. Kurasa aku sudah menemukan jawabannya.

“Aku ingin menjadi seorang penjelajah.” Aku tersenyum sembari menatap ke luar kereta yang kini menampilkan pemandangan padang lavender. “Aku ingin berpetualang dan menemukan hal-hal baru. Seperti perjalanan kita.”

Zora menepuk kepalaku. “Kerja bagus, muridku.”

Aku menepis tangannya dari kepalaku. “Hentikan, aku ini bukan anak kecil.”

“Eh, tidak biasanya kamu seperti ini.” Zora menatapku heran.

“Aku sudah tidak perlu usapan itu.” Aku berujar singkat sembari membuang muka.

“Wah, sepertinya Senja sudah menjadi dewasa.” 

Aku menghiraukan kalimatnya dan menatap ke arah padang lavender yang berwarna ungu. Lantas tersenyum tipis.

***

Malam menjelang. Dan kami telah tiba di sebuah pemukiman yang tampak seperti kota zaman dulu. Beberapa lampion berwarna merah tergantung di pelataran rumah milik warga. Bangunan-banguan terbuat dari batuan dan bata. Zora memutuskan untuk singgah di kota tersebut. Dia tak lupa berterima kasih pada kusir dan mengucapkan salam perpisahan. 

Kami menelusuri jalan setapak yang terbuat dari batuan sungai. Kota tampak ramai. Para warga mengenakan pakaian khas zaman dulu. Alunan lagu dari biola juga meramaikan suasana. Satu dua orang menari di pinggir jalan. Terdapat beberapa cafe dan restoran dengan berbagai menu yang berbeda-beda. Kereta-kereta kuda hilir mudik melintas. Ada yang membawa penumpang sedangkan kereta lainnya membawa barang. 

“Senja, apa kamu lapar?” Zora bertanya sembari berhenti di salah satu restoran.

Aku menelan ludah. Bau makanan tercium sampai keluar. Zora menahan tawa begitu melihat wajahku yang tengah menatap restoran dalam-dalam.

“Kalau kamu mau, bilang saja. Selama ini kamu belum pernah makan enak, kan?”

Lihat selengkapnya