Seusai kami menghabiskan semua makanan yang terhidang, kami lekas melanjutkan perjalanan. Namun karena ini sudah malam, Zora harus mencari kereta yang mau keluar kota di malam hari dan menunju arah barat. Hal itu sedikit sulit. Kami harus bertanya pada setiap kusir yang kami temui.
Pada akhirnya, kami memutuskan untuk berkeliling kota sembari menanyakan beberapa kusir yang sedang menganggur. Hanya saja, seluruh orang di kota ini seakan sibuk dengan kepentingan masing-masing. Aku jadi merasa semakin bersalah pada Zora.
“Zora, aku tarik kata-kataku kembali. Bagaimana jika kita berkeliling santai saja. Aku juga sedikit penasaran dengan kota ini. Jarang-jarang bisa melihat kota seindah ini di duniaku.” Aku memberi saran.
Zora tersenyum. “Tentu saja. Aku akan mengajakmu ke berbagai tempat terkenal di kota ini.”
Zora mengajakku ke sebuah pasar malam yang menjual berbagai pernak-pernik. Area itu tampak seperti pusat perbelanjaan. Gaun-gaun digantung di stand sisi jalan. Para pedagang berseru menjajakan dagangan mereka. Orang-orang berkerumunan di salah satu stand yang dianggap menarik. Hingga pandanganku tertuju pada sebuah gantungan kecil yang terbuat dari kayu dengan bentuk seperti beruang. Beruang itu tampak memegang sebuah batu yang berkilauan. Hanya saja aku tidak tahu apa warna batu itu. Di mataku, batu itu berwarna abu-abu tua.
“Kamu mau gantungan kunci itu?” Zora berceletuk.
Aku nyaris menepuk jidatku. Seharusnya aku tidak terlalu memperhatikan gantungan kunci itu.
“Aku, aku hanya penasaran apa warna dari gantungan kunci tersebut. Karena itu aku...”
Zora tidak menunggu persetujuanku dan bergegas membeli gantungan kunci tersebut. Aku ingin menghentikannya, namun dia sudah lebih dulu membeli benda tersebut dan menyerahkannya padaku.
“Nanti kamu juga akan tahu apa warnanya.”
Aku menelan ludah. Menatap gantungan kunci tersebut. Kemudian menyimpannya ke dalam saku bajuku.