Ketika Senja Tak Lagi Berwarna

Intan Rahmadani
Chapter #10

Ketika Musuh Terkuat Muncul

Setelah lima belas menit berkeliling, usaha kami membuahkan hasil. Kami akhirnya menemukan kusir yang bersedia memberikan tumpangan. 

Kereta mulai meninggalkan kota yang dipenuhi kerlap-kerlip lampion beserta alunan biola. Kami kembali disuguhi pemandangan savana. Ilalang bergoyang pelan diterpa angin malam. Seakan tengah menari-nari menyambut kedatangan kami. Kunang-kunang terbang rendah dan hinggap di ujung ilalang yang bergoyang pelan. Langit seperti biasa. penuh dengan formasi bintang. Kami berdua memutuskan untuk memandang langit sembari menunjuk berbagai rasi bintang yang terlihat. Udara malam terasa sangat menyenangkan.

Bosan menunjuk rasi bintang, kami memutuskan untuk memandang ke hamparan ilalang dengan kunang-kunang yang berterbangan. Kereta lengang. Aku tidak lagi bertanya soal apapun pada Zora. Dan Zora tidak menceritakan apapun. Mungkin perjalananku mulai tiba di akhir. Hatiku semakin berdebar. Tidak sabar untuk pulang.

“Aku benar-benar tidak menyangka jika aku akan menerima perjalanan ini dan menemukan kembali warna-warnaku yang hilang.” Aku kembali memulai pembicaraan. “Selama aku hidup, aku selalu menganggap bahwa hidupku merupakan sebuah hukuman. Aku selalu menganggap buta warna yang aku alami merupakan sebuah kutukan. Aku tidak pernah berpikir untuk mengingat kembali semua warna tersebut. Aku selalu mencoba melupakannya. Namun semakin aku mencoba melupakan, aku semakin tersiksa. 

“Yeah, aku juga sempat berpikir ingin menjadi seperti sebuah ponsel. Menghapus potongan episode memilukan itu sesukaku. Aku pikir, jika aku bisa melupakan semua itu, aku bisa hidup lebih baik dan bahagia seperti dulu. Tapi sepertinya aku salah dan kamu benar, Zora. Jika tidak ada masa lalu, kita tidak akan pernah menjadi sesuatu yang baru. Maka dari itu, jika aku kembali, aku pasti tidak akan lagi menyia-nyiakan hariku. Menghadapi masa depan dengan penuh percaya diri. Dan aku tidak akan menghabiskan malamku dengan tangisan. Benar seperti itu, kan?” Aku menoleh ke arah Zora.

Aku terdiam. Zora telah terlelap. Dia tertidur dengan posisi terduduk dan tangan menyilang di depan dada. Wajahnya tertunduk. Selama malam hari berlangsung, aku tidak pernah menyaksikannya tertidur seperti itu. Dia tampak sangat lelah dan menanggung banyak beban di tubuh dan hatinya. Aku tersenyum tipis. Setidaknya aku lega, jika Zora bisa tertidur seperti ini. Sebelumnya aku sempat berpikir dia adalah seorang pria tanpa rasa lelah dan rasa sakit. Hei, mana ada manusia yang bisa terlepas dari hal itu?

Aku perlahan melepas jubahku dan memakaikannya pada Zora. Lagi pula jubah itu memang bukan milikku. Aku membenarkan posisi kepala Zora dengan perlahan. Menyandarkannya ke dinding kereta dengan hati-hati. Takut jika aku membangunkannya. Lantas aku mengambil tas berbentuk tabung yang terletak di sebelahnya. Aku berniat mengambil ranselku yang selama ini dia simpan. 

Setelah mendapatkan kembali ranselku, aku memutuskan untuk menghabiskan malam dengan menulis. Menulis semua kisah dan perjalanan ini. Aku juga menyertakan gambar dan ilustrasi di setiap potongan cerita yang aku tulis. Aku tidak peduli jika orang tuaku mengetahui ataupun membaca kisah ini. Toh, paling mereka hanya berpikir aku sedang menulis cerita fiksi.

Aku mulai mengantuk dan menguap panjang. Aku bergegas meletakkan buku dan penaku kembali ke dalam ransel. Hingga aku teringat dengan gantungan kunci yang diberikan Zora padaku. Aku bergegas mengambilnya dari saku bajuku. Aku berharap batu itu sudah berubah warna. Namun aku kecewa begitu mendapati batu itu masih berwarna abu-abu. Atau mungkin batu itu memang berwarna abu-abu? Ah, sudahlah! Aku malas memikirkan warna batu tersebut. Aku meletakkan gantungan kunci itu di ranselku. Menggantungnya di salah satu resleting. Dan mulai terlelap dalam tidur.

***

Cahaya pagi menelisik masuk ke dalam kereta. Menyiram sempurna wajahku. Rasa hangat membuatku terbangun dari mimpiku. Aku mengucek kedua mataku. Aku menatap ke sekelilingku. Zora masih tertidur sedangkan kereta masih berjalan. Kami berada di tengah hutan dengan dedaunan yang lebat. Cahaya matahari menelisik di antara ranting-ranting pohon yang saling bergesekan karena ditiup angin. Aku bergegas membangunkan Zora.

“Ah, Kamu sudah bangun. Sepertinya aku mimpi indah tadi.” Zora merentangkan lengannya.

“Kamu benar-benar terlelap seperti bayi, Zora.” Aku berujar meledeknya.

“Kenapa jubahmu ada di aku?” Zora bertanya begitu mendapati ada jubah yang terpakaikan padanya.

“Itu hanya perasaanmu saja. Semalam kamu sendiri yang mengambil jubah di tas anehmu dan mengenakannya.” Aku membuang muka sembari menahan senyum.

“Benarkah? Kalau begitu dimana jubah yang kamu...”

Kalimat Zora terpotong karena kereta yang tiba-tiba terhenti. Tampaknya kami sudah tiba di tempat tujuan. Kami bergegas turun. Zora tidak lagi membicarakan soal jubah itu dan memberikannya padaku. Dia lebih dulu berterima kasih pada kusir. 

Kami kembali berjalan kaki dan menelusuri seluk beluk hutan yang lebat. Selama perjalanan Zora memberiku sepotong roti.

“Perjalanan ini akan memakan waktu sampai sore. Jadi aku akan bertanya padamu, apakah kamu siap?” Zora bertanya memastikan.

Aku mengangguk tegas sembari membenarkan poniku. Berjalan maju tanpa ada keraguan.

“Sepertinya kamu memang tidak sabar untuk pulang.” Ujar Zora lirih.

 Kami berjalan menelusuri hutan. Sesekali terhenti karena beberapa binatang yang melintas. Tak jarang aku menemukan kupu-kupu ataupun serangga lainnya yang berterbangan di sekitar kami. Beberapa tunggul kayu yang lapuk ditumbuhi berbagai jenis jamur. Lumut-lumut tampak memenuhi tanah dan bebatuan. Kami harus berhati-hati saat melangkah. Udara terasa lembab. Kabut tipis menyelubungi hutan. Setidaknya cahaya matahari masih menerangi jalan kami.

Setengah hari berjalan dengan cepat. 

Kami beristirahat sejenak di tepi sungai yang tenang. Di tepi sungai terdapat sebuah pondok kayu yang tertutupi lumut dan tanaman liar yang merambat. Kami memutuskan untuk bernaung di tempat tersebut. Zora menyerahkan botol minum padaku. Aku meneguk airnya sampai habis. 

“Aku akan pergi ke sungai dan mengambil air. Ingat, tunggulah di sini dan jangan kemana-mana sampai aku kembali.”

Aku mengangkat alisku. “Memangnya aku ini anak kecil.”

“Aku bersungguh-sungguh, Senja.” Zora menegaskan.

Aku mengangguk. Tidak lagi berbicara. Zora mulai beringsut meninggalkanku.

Aku memutuskan untuk menatap sekelilingku. Tidak ada yang menarik dari hutan ini.

“Senja.”

Aku menoleh. Aku seakan mendengar sebuah suara. Suara itu terdengar seperti bisikan. 

“Senja.”

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Aku pasti terlalu lelah hingga suara itu muncul dari dalam pikiranku.

“Senja, ayo kita bermain.”

Aku terdiam. Suara itu terdengar sangat jelas. Tiba-tiba di sekelilingku dipenuhi oleh kabut. Kabut semakin menebal sehingga menutupi pemandangan. Aku berdiri dan mencari Zora. Namun aku terhenti begitu melihat sebuah siluet hitam dari kejauhan. Lebih tepatnya di antara dua pohon yang saling menyilang. Sebuah siluet dengan tinggi se-anak kecil tampak tengah menatapku. Siluet itu lantas menjauh.

“Res?” Entah mengapa hanya itu yang terbesit di kepalaku.

“Senja, ayo kita bermain.” 

Suara itu kembali terdengar. Suara itu terdengar seperti suara Res. Ya, aku ingat suara ini. Tanpa pikir panjang, aku mencoba berjalan ke arah siluet itu menghilang. Siluet itu menghilang tepat di antara dua pohon yang saling menyilang. Aku bergegas menuju pohon tersebut. Kabut semakin tebal dan anehnya aku merasa tidak peduli.

“Senja, kamu janji kita akan selalu bersama, kan?”

Aku menatap ke arah langit-langit hutan. Suara itu menggema di seluruh penjuru hutan. Saling memantul di antara pepohonan. Tiba-tiba kesiur angin menerpaku. Kabut tidak lagi menutupi pandangan. Dedaunan kering berputar di sekitarku. kejadian aneh apa lagi ini?

“Senja, kamu tidak mungkin melupakanku, kan?”

“Res, apa itu kamu?” Aku bertanya dengan suara lantang.

Hening sejenak. Di sekelilingku dipenuhi oleh pepohonan dengan tanah yang dipenuhi daun kering. Aku baru sadar jika aku tidak lagi berada di dekat pondok kayu. Astaga! Apa aku tersesat?

Aku memutuskan berjalan. Mencari kembali pondok kayu di pinggir sungai. Seharusnya aku menuruti perintah Zora untuk tetap berada di pondok kayu. Aku menyesal. Pasti Zora akan kebingungan mencariku. Tidak, aku tidak boleh menyesal. Aku harus berusaha untuk menemukan pondok kayu tersebut. Lagi pula ini memang salahku yang terpancing oleh suara tersebut. Mungkin itu semua hanya imajinasiku saja.

KREK!

Aku berbalik begitu mendegar suara ranting yang di injak. Dari kejauhan, siluet hitam itu kembali muncul. Sosoknya tidak terlihat jelas karena dia berdiri tepat di bawah pohon dengan dedaunan yang lebat. Sosok itu jelas seperti seorang anak kecil. 

Lihat selengkapnya