Kami menelusuri hutan yang diterangi cahaya senja. Semua warna itu kembali. Aku tidak lagi melihat semuanya seperti foto jadul milik kakek.
“Senja, apa tangan kananmu baik-baik saja? Aku tadi mencengkramnya dan menariknya dengan kuat. Itu pasti sangat sakit.”
Aku menggelengkan kepalaku. “Justru kamulah yang harus memperhatikan dirimu. Lihatlah! Saat ini kamu terlihat sekarat sampai berjalan saja harus aku bantu.”
Zora tertawa renyah. “Ini mengingatkanku saat kita pertama kali bertemu. Saat itu kamu juga babak belur sepertiku. Bahkan saat berjalanpun harus aku bantu. Sekarang kondisinya berbalik. Iya, kan?”
Aku tersenyum. Dia selalu pandai mencairkan suasana.
Kami menelusuri hutan yang tidak lagi rapat seperti sebelumnya. Jalan kami terbuka lebar. Tidak ada lagi gundukan tanah yang tidak beraturan. Dedaunan kering berjatuhan di sekitar kami. Cahaya sore menelisik di antara ranting-ranting pohon yang saling bergesekan. Burung-burung di sarangnya berkicau merdu. Membuat irama alam semakin meneduhkan.
Kami tiba di tempat tujuan. Sebuah jalan panjang dengan rel kereta api yang membentang. Rel itu persis seperti yang aku saksikan saat pertama kali terdampar di dunia ini. hanya saja, rel itu tampak bersih dan dikelilingi ilalang.
“Ini sudah saatnya untukmu kembali, Senja.” Zora berujar lirih.
Suasana hening sejenak. Menyisakan suara dedaunan yang berjatuhan di sekitar kami. Angin sore mengelus lembut wajahku yang kotor. Aku menatap wajah Zora. Zora balas menatapku dengan senyuman. Dia mulai melepaskan pegangannya padaku.
“Menyeberanglah ke sisi rel kereta tersebut. Kemudian ada sebuah kereta yang akan berlalu. Saat itulah kamu akan kembali ke tempat asalmu.”