Aku terbangun dari mimpi panjang yang menenggelamkanku. Matahari mulai memperlihatkan wajah ayunya. Udara pagi berhembus syahdu ke segala celah ruang. Suara ayam berkokok merdu bersahut-sahutan. Hari telah di mulai kembali.
Aku anak sulung dari tiga bersaudara. Pagiku disibukkan dengan sejumlah kegiatan. Mengurus Riki, adikku yang masih duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar dan Faza yang masih berumur dua tahun. Di rumah kecil sederhana aku tinggal bersama Ibu, kedua adikku dan Nenek dari Ayahku.
“Riki, sudah, ya. Sampai gerbang sekolah sini saja, Mbak mau langsung pergi ke sekolah, kamu harus belajar yang rajin. Perhatikan guru yang sedang mengajar, oke?” pesanku sambil mengacungkan jempol kepadanya.
Nasihat yang kusuguhkan pada Riki, mudah-mudahan mengetuk semangat untuknya. Dia kuantar sampai gerbang sekolah. Detik demi detik terlewati. Matahari mulai menyengatkan panasnya. Waktu menunjuk pukul sebelas siang.
“Irma, kamu kenapa? Kok, bengong! Ndak di makan sotonya?”
“Eehm…iya, aku ndak apa-apa!” lamunanku pecah saat mendengar pertanyaan itu.
“Teng… teng…” Bunyi bel tanda masuk telah tiba. Pelajaran segera dimulai kembali, makananku yang masih utuh tersaji di depanku segera kumakan. Aku tahu pelajaran ini adalah pelajaran yang harus ontime.
“Irma, aku duluan, ya,” kata Fika seraya berlalu.
“Oke.”
Dengan gegas aku makan sotoku. Tidak sampai habis. Beberapa sendok telah aku telan dengan hambar. Usai membayar aku segera berlari kecil. Sementara Bu Dina sudah menyerobot masuk kelas. Guru matematika ini telah populer mendapat gelar sebagai guru killer.
“Assalamu’alaikum. Maaf Bu, terlambat masuk kelas.”
“Wa’alaikum salam, Ibu sudah tahu. Silakan keluar dari ruangan kelas ini, Ibu tidak mengizinkan kamu mengikuti pelajaran Ibu!” tegasnya.
Murud-murid yang lain agaknya sudah terbiasa melihat momen seperti ini. Tidak ada toleran sama sekali bagi siswa yang telat meskipun satu menit. Akhirnya, mau tidak mau aku menerima nasibku. Aku duduk di teras depan ruang kelasku. Spontan mataku terpusat pada seseorang di kejauhan sana. Aku menilai gerak-geriknya aneh – seperti maling yang siap beraksi di tengah malam. Dia banyak menoleh ke kanan dan ke kiri. Kuperhatikan baik-baik. Ah, rupanya dia temanku lain kelas yang mencoba bolos dengan memanjat pintu gerbang belakang sekolah. Aku segera beranjak dari tempat dudukku untuk melaporkan hal ini kepada guru Bimbingan Konseling atau yang akrab di sebut guru BK.
“Nasa…!” sentak Bu Sinta dari kejauhan.
“Aduh… ketahuan!” bisik hatinya. Tentu, hal ini akan menjadi sesuatu yang mengejutkan bagi Nasa. Pandangan Nasa langsung tertuju padaku yang berdiri di samping Bu Sinta. Nasa langsung cepat menyimpulkan bahwa aku yang mengadukan kepada Bu Sinta atas niatnya yang mencoba bolos.
“Nasa, kali ini tidak ada kesempatan untuk kamu meloloskan diri!”
“Tapi Bu, tadi aku cuma mau keluar untuk beli obat pusing.”
“Kamu pusing?”
“I-ya Bu, di UKS obat pusingnya habis Bu, hm… dan saya mau beli ke apotek…” ngelesnya.
“Benar apa yang kamu katakan?”
Untuk membuktikan ucapan Nasa, Bu Sinta langsung mengecek ke UKS apakah benar yang diucapkan Nasa. Sementara Nasa menunggu sidang dari Bu Sinta dengan was-was. Setengah hatinya sudah pasrah.
“Irma, awas kamu!!” matanya mendelik ke arahku yang berada di luar ruang BK. Tapi dia masih bisa melihatku dari balik kaca jendela. Nasa mengancam. Aku tidak takut selama aku masih di posisi yang benar. Tak berselang lama Bu Sinta datang melanjutkan sidang Nasa.
“Nasa, maaf! kali ini Ibu tidak akan membiarkan kamu lolos dari kesalahanmu. Buktinya, obat pusingnya masih ada lima tablet!” sambil menyodorkan obatnya ke Nasa.
“Emm.., mungkin tadi saya kurang teliti nyarinya Bu, hm…maaf, Bu,” kembali ngeles.
“Sudah…! Jangan berinspirasi mencari alasan lagi, ini bukan tugas Bahasa Indonesia. Dan ndak perlu kamu mengembangkan cerita kamu. Sekarang Ibu ada hadiah untukmu, tunggu sebentar,”
Nasa pun menunggu dengan perasaan tak karuan. Bu Sinta selalu punya kejutan bagi siswa-siswa yang bandel.
Setelah beberapa menit kemudian Bu Sinta datang dengan membawa selembar kertas.
“Ini hadiahnya, dan silakan kamu kembali ke kelasmu,” kata Bu Sinta dengan santainya.
Surat panggilan yang ditujukan kepada orang tuanya dianggap sebagai hadiah oleh Bu Sinta. Sudah sebelas kali Nasa membolos sekolah. Dan untuk kesekian kalinya Nasa mmendapat surat cinta dari Bu Sinta. Bisa dibilang Nasa sebagai siswa ternakal. Sering melanggar tata tertib sekolah dan tak jarang pula teman-temannya melihat aksi malak di tempat biasa ia nongkrong bersama geng-nya. Tak heran jika gelar ‘predator’ telah disandangnya.