Walaupun dalam keadaan hujan namun hal itu tak menyurutkan niat ayah yang berada di tanah rantau untuk jemaah ke masjid. Namun tiba-tiba saja pandangan matanya kabur dan gelap saat ia mengambil wudu.
Ayah melihat bangku panjang di dekat tempatnya. Hasratnya ingin menyandarkan tubuh di bangku itu. Bibirnya terlihat komat kamit dipenuhi kalimat zikir. Setelah duduk mengistirahatkan dirinya sejenak, ayah berdiri kembali dan berwudu. Segera melaksanakan salat. Pak Syarif sudah memulai memimpin para jemaahnya. Dengan menahan rasa pusing, tiga rakaat telah berhasil dilaluinya. Para jemaah bersalam-salaman satu sama lain.
“Bapak?” kata pedagang bakso dengan kaget. Sedikit semu memerah malu di sudut wajahnya terlihat.
“Ya, kita bertemu lagi,” kata Ayah tenang sembari menerima salaman darinya.
Tanpa sengaja, Ayah dan pedagang bakso – yang pernah ditabraknya – berada dalam satu saf terakhir. Sambil berjabat tangan mereka tersenyum. Mereka agak terlihat canggung karena kejadian lalu. Sementara itu para jemaah yang lain satu per satu pulang. Demikian pula disusul oleh pedagang bakso dan ayah. Begitu pedagang bakso sampai gerbang masjid, ayah memanggilnya. Ayah hanya ingin menjelaskan bahwa dirinya ingin minta maaf dan berjanji akan mengganti kerugian atas kejadian lalu.
“Ndak usah di ganti, Pak.”
“Tapi saya yang salah waktu itu, saya yang nabrak.”
“Waktu itu hanya emosiku saja, Pak. Jadi, saya yang harus minta maaf karena saya sudah marah-marah pada Bapak. Padahal tidak sepantasnya saya berkata kasar seperti itu,” tiba-tiba pedagang bakso berubah pikiran.
Silaturrahim yang terjalin di antara keduanya mulai membaik. Masjid menjadi saksi tempat menyatukan keakraban di antara keduanya.
Setiap magrib tiba, ayah dan pedagang bakso sering bertemu di masjid. Setelah usai melakukan salat mereka saling berbincang-bincang dalam perjalanan pulang. Setelah sebulan mengenal Bambang, ayah tahu jika pedagang bakso itu perantau pemula yang baru empat bulan menginjakkan kaki di tanah Kalimantan.
Suatu ketika Bambang mengalami krisis usaha. Merasa tidak punya modal untuk mengembangkan usahanya, ia meminjam uang pada ayah. Ayah merasa kasihan melihat dan mendengar keluh kesah Bambang. Ayah yang akhir-akhir ini mendapat penghasilan yang lumayan, terketuk hatinya untuk meminjamkan uang pada Bambang.
***
Di kala petang menjelang, Ibu pulang dari memulung. Ketika itu aku duduk di teras rumah.
“Ibu, baru pulang? sini Irma pijitin,” kataku.