“Hati-hati di jalan Nduk. Kamu harus jadi anak pintar dan selalu ingat Allah,” pesan Ayah.
Keadaan rumah terkunci dan sepi ketika kami sudah memulai aktivitas masing-masing. Kali ini aku pergi dengan jalan kaki. Roda sepedaku boros. Ayah memberi pesan yang berarti untukku. Hari ini Ayah terlihat semangat dan matanya berbinar-binar bahagia ketika melihatku. Wajahnya terlihat segar bak embun yang baru saja terjatuh di sepucuk dedaunan. Ayah yang jarang bicara, membuatku segan padanya. Pembawaan yang tenang dan kebijaksanaannya, membuatku nyaman dan tenang pula ketika melihatnya. Jika ada masalah, Ayah selalu berpikir positif dan menyelesaikan dengan wibawanya. Tak gegabah. Itulah Ayah. Yah, Ayah tercintaku. Ayah yang memberiku semangat.
Ibu pun juga demikian. Dia tersenyum simetris dan lembut. Kedua malaikat duniaku memberi semangat. Energiku terpompa bertambah besar. Aku berangkat sekolah dengan energi yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Jam pelajaran akan segera dimulai. Waktunya tugas matematika. Bu Dina menyuruh siswanya untuk mengeluarkan satu lembar kertas. Menginstruksikan untuk menyimpan buku ke dalam tas. Hanya ada satu lembar kertas dan bolpoin yang ada di meja. Tes ini terbilang mendadak. Pasalnya Bu Dina tidak memberi tahu sebelumnya. Untunglah, pagi buta setelah salat subuh, aku menyalin catatan materi yang di terangkan Bu Dina kemarin. Ada sedikit materi yang masih menempel di otakku. Teman-temanku tersentak “Waduh”. Sedangkan aku santai menghadapinya.
Soal tersebut di bagikan. Ada lima soal yang harus di kerjakan dengan waktu satu jam. Soal yang mudah aku kerjakan terlebih dahulu. Penaku lancar menggores angka demi angka. Teman-teman banyak yang usrek tengak-tengok kanan kiri. Tak tenang. Selain killer, Bu Dina juga objektif dalam masalah nilai. Dengan alisnya yang tebal, memberi kesan khas dan menunjukkan wajah sangarnya. Wajahnya selalu terlihat putih bersih. Seragam guru yang dikenakannya selalu membalut rapi. Memberi kesan fresh.
Satu jam telah berlalu. Bu Dina segera memberi aba-aba untuk segera dikumpulkan. Bu Dina menghitung satu hingga lima kali. Jika tidak segera dikumpulkan maka akan segera ditinggal dan tidak mendapat nilai. Aku segera mengumpulkan pada hitungan ketiga.
Hari ini, hari yang spesial yang aku lewati. Begitu aku sampai di pintu kelas, beberapa teman sengaja mengguyur air ke badanku. Aku kaget tergagap. Lalu mereka mengucap “Happy birthday” padaku. Tak menyangka mereka telah berencana sedemikian rupa. Aku juga tak luput dari guyuran tepung dan telur yang dicampur adukkan ke badanku. Terasa aku akan dibuat kue. Basah, bau amis, dan pekat tepung menjadi satu di badanku. Tentu saja, ini menjadi surprise bagiku.
Aroma amis telur bercampur tepung sedikit berkurang setelah kubersihkan dengan air. Untung saja, aku bawa jaket. Kupakai jaket itu untuk menutupi warna osisku yang tidak keruan.
“Ir, aku punya sesuatu untukmu,” sambil menyodorkan sesuatu itu.
“Apa ini?” tanyaku.
“Jangan dilihat dari harganya, melainkan dari keikhlasannya,”
Sebuah bingkisan kecil di hari ulang tahunku dari teman-teman. Kecil, mungil, unik, dan menarik – versiku. Dengan bungkus kertas kado berpita dan dikemas sedemikian rapinya menambah poin plus tersendiri dariku. Kukira tak ada yang ingat hari jadiku. Bahkan aku sendiri pun tak mengingatnya. Benar. Aku bukan tipe orang pengingat tanggal. Senang rasanya mendapat perhatian dari banyak sahabat. Untuk pertama kalinya aku mendapat surprise di hari ulang tahunku. Ingin rasanya kuceritakan kebahagiaanku ini pada mereka, Ibu dan Ayah.
Ketika aku sampai di gang rumah, ada yang terasa berbeda. Banyak orang berlalu lalang meramaikan jalan. Semakin aku mendekat, sumbernya ada di rumahku. Ini membuatku penasaran. Lain dengan cerita di sekolah. Di rumah, aku di sambut dengan tetesan air mata haru. Aku tak mampu berkata-kata. Bagiku ini adalah kado yang terasa berat. Semua rasaku hanya bisa kuwakilkan melalui air mata.
Ayah berada di tengah-tengah kerumunan orang. Ayat suci dialunkan indah mengiringi keharuan yang sejalan dengan keadaan. Ketika itu, baru kusadari kalau Ayah telah tiada untuk selama-lamanya di dunia fana. Ibu yang duduk di sampingku mengelus kepalaku dan “Sabar”, itu yang bisa ia katakan. Aku memandangi wajah Ayah. Tampan dan masih tetap segar seperti yang aku lihat tadi pagi. Senyumnya masih terpasang indah di bibir. Aku masih teringat jelas raut wajahnya tadi pagi ketika berpesan. Rupanya itu pesan Ayah yang terakhir kali.
Mengapa harus hari ini? Mengapa harus tanggal ini? Mengapa aku tak tahu sebabnya Ayah meninggalkan kami? Ibu pun juga tidak tahu. Tidak ada yang tahu. Mengapa harus datang dengan tiba-tiba? Pertanyaan demi pertanyaan, aku ingin jeritkan. Tapi pada siapa?
Tiba-tiba. Ada tamu yang sepertinya penting. Mencari kami. Ibu yang menemuinya. Tamu itu ingin menunjukkan sesuatu. Ibu berbincang-bincang dengannya. Ditunjukkanya beberapa lembar kertas yang di sana terdapat nama Ayah. Hasilnya positif. Ayah terkena gagal ginjal. Penyakit yang tidak disadari banyak orang. Penyakit yang disebut silent disease menyerangnya. Yah. Tamu itu adalah pihak rumah sakit di mana aku pernah di rawat di sana. Diam-diam Ayah memperiksakan dirinya ke rumah sakit tanpa sepengetahuan kami. Kepada pihak rumah sakit, Ayah mengeluhkan rasa sakitnya. Rasa sakit yang sering dirasakan. Ayah sungguh tidak ingin kami tahu. Dia tak ingin menjadi beban kami. Tersenyum adalah sikap yang selalu ditunjukkan di hadapan kami. Di balik senyumnya, ternyata Ayah menahan rasa sakit. Hati kami sepeti tersambar kilat tanpa hujan. Bahkan tanpa mendung. Begitulah rasanya.
Selamat jalan Ayah…
Adik-adikku. Yah, aku ingat mereka. Aku hampiri keduanya dan aku peluk mereka. Mereka masih tetap saja terlihat polos. Aku peluk mereka erat-erat. Kado hari ulang tahun yang menyedihkan.
***
Hari ini, mencoba hidup tanpa Ayah.
Semenjak Ayah tiada, hidup kami seperti diwarnai kabut tebal. Di mana mata yang seharusnya memandang indah lukisan dunia, namun terasa gelap. Hidup kami terasa berat. Belum lagi, Nenek yang setiap harinya mencari masalah dengan Ibu. Sungguh aku tak ingin mendengarnya. Nenek masih saja tidak suka pada Ibu. Juga dengan diriku. Dibanding dengan kedua adikku, Nenek lebih tidak menyukaiku. Terlihat dari sorot mata dan perlakuannya terlihat berbeda. Seperti asing dan aneh. Terkadang aku merasa canggung jika didekatnya. Rasanya, kami ingin segera pergi dari rumah ini. Namun kami tidak punya tempat tinggal.
Kini kami menopang hidup dengan berjualan bakso. Aku, Riki, dan Faza membantu Ibu berjualan bakso di pinggir jalan. Aku tak tega jika harus melihat kedua adikku menjalani kehidupan seperti ini. Aku mencuci piring sambil berlinangan air mata. Sesekali melihat mereka yang duduk di bangku panjang. Dengan polos, Riki menyanyikan lagu anak-anak yang diajarkan di sekolahnya. Faza minum botol susunya. Ibu tengah melayani pembeli bakso.
Usai pulang dari kedai bakso, lagi-lagi Nenek membuat ulah.
“La, kamu harusnya pergi dari rumah ini! Kamu sudah tidak pantas tinggal di rumah ini. Bawa anak-anakmu juga dari sini!”
Tercengang. Begitu entengnya Nenek berkata demikian pada Ibu. Bingung. Sedih. Sakit hati. Itu yang selalu Ibu rasakan ketika menghadapi Nenek. Ibu tak tahu harus membawa kami ke mana.