Aku duduk di bangku nomor dua dari depan. Hari puncak yang menjadi jantung perjuangan selama tiga tahun akan segera dimulai. Aku telah mempersiapkan mentalku jauh-jauh hari sebelumnya. Ujian Akhir Nasional sekolah menjadi titik puncak sejarah yang telah terlewatkan sepanjang sejarah di bangku SMP. Aku berjuang keras untuk tidak mengecewakan orang-orang terkasihku.
Tepat pukul delapan pagi. Bunyi bel sekolah berbunyi. Saatnya pengawas masuk kelas dan membagikan soal kepada masing-masing siswa. Demikian para siswa untuk memulai berkonsentrasi penuh. Siap-siap berhadapan dengan soal-soal yang telah dibagikan oleh pengawas.
“Oke, silakan kerjakan dengan teliti,” suara pengawas memenuhi ruangan.
Keadaan kelas sangat tenang. Beda seperti hari-hari biasanya yang gaduh dan berisik. Kami berkutat dengan angka-angka Matematika. Pensil siap membuat bulatan kecil pada setiap huruf yang akan dipilih. Sesekali aku memperhatikan teman sekelas. Mereka memberi isyarat yang terlihat pada mimik wajah untuk menanyakan jawaban. Sementara itu, pengawas sedang lengah dan keluar kelas. Ini kesempatan. Para siswa saling meminta jawaban. Setelah pengawas datang, terdengar suara usrek. Segera para siswa memperbaiki posisi duduknya. Waktu terus berjalan hingga pada waktunya tiba.
”Waktu tinggal lima menit,” kata pengawas. Aku sudah selesai. Tinggal meneliti dari awal hingga akhir. Teman-teman sedang asyik sibuk melengkapi jawaban yang belum diisi. Aku memberi jawaban pada mereka yang meminta. Setelah lima menit berlalu, pengawas mengambil jawaban siswa satu per satu dari meja ke meja.
Hari pertama UN berjalan lancar. Saatnya semua siswa pulang untuk mengisi amunisi dan esok akan melanjutkan perang kembali.
***
“Assalamu’alaikum,” salamku. Tak ada jawaban. Aku menaruh sepatu ke tempat rak. Keadaan rumah terlihat sepi. Aku masuk ke kamar. Aku ganti baju. “Ibu ke mana?” batinku.
Aku ke kamar. Ibu masih berbaring di sana. Kemudian pandanganku terpusat pada orang yang duduk di sebelah Ibu. Nenek. Aku kira Nenek tengah menjenguk Ibu karena simpati. Justru sebaliknya. Ibu malah di sekap tak berdaya. Ibu di cekoki beberapa makanan yang sudah basi. Sungguh, biadab.
“Nenek, hentikan!” teriakkku. Suasana rumah menjadi ramai. Ya. Ramai karena keributan antara aku dan Nenek. Ibu hanya bisa menangis karena fisiknya yang lemah. Ya, sejak darah itu mengucur, Ibu kesusahan berjalan. Dan yang paling membuat getir, Ibu juga tidak bisa bicara. Entah penyakit apa yang dialami Ibu? Kemungkinan stroke? Entahlah, aku kurang paham. Penyakit Ibu masih menjadi misteri bagiku. Kami tak punya cukup uang untuk memeriksakan kesehatan Ibu.
“Tega-teganya Nenek berbuat seperti ini!” bentakku. Nenek menarik tanganku dengan paksa. Aku di dorong. Hampir saja aku terbentur tembok. Tapi terus terang saja, aku tidak berani melakukan perlawanan karena Ibu. Dari gerakan tubuhnya, Ibu ingin menengahi kami. Setengah kaki Ibu sudah bergelantungan di dipan. Badannya miring – seperti akan hendak memisah kami. Ibu malah terjatuh dari dipan. Aku mendekati Ibu. Aku memapahnya. Seketika itu tanpa pamit, Nenek langsung meninggalkan kami.
“Ibu ndak apa-apa?” tanyaku. Ibu menggeleng. Lalu tersenyum. Bagaimana mungkin dalam keadaan seperti itu, Ibu masih bisa tersenyum? Aku masih tak paham dengan senyuman Ibu.
Aku pergi ke dapur. Mengusap air mataku. Niatku akan memasak untuk makan siang. Kulihat ember tempat menyimpan beras. Nyeri. Ya, persendianku terasa nyeri. Beras tinggal satu takar gelas. Bagaimana kami bisa bertahan hidup? Aku harus berpikir keras. Seadanya dulu yang bisa kumasak. Untuk lauknya, kami masih punya sisa ikan asin dua hari yang lalu. Bagaimana aku bisa bertahan hidup untuk esok hari? Gorengan. Yah, aku terpikir untuk menjual gorengan.
Kali ini aku membawa gorengan seperti bakwan, pisang goreng dan tempe mendoan untuk di jual pada teman-teman. Aku juga menitipkan sebagian gorengan untuk dijual di kantin sekolah. Terkadang gorengan itu habis. Juga tak jarang pula, gorengan masih banyak. Jika gorengan itu masih banyak, aku jajakan keliling kompleks rumah. Dari pendapatan berjualan, alhamdulillah kami bisa menyambung hidup.
***
“Ibu, Irma berangkat dulu,”