Ketika Tangan Tuhan Memelukku

Sri Rokhayati
Chapter #7

Gelandangan

Pagi itu, aku mempersiapkan sarapan. Lauk yang ada saat itu hanyalah tumis kangkung. Berhubung Riki tidak suka, sebagai pengganti lauk ia meminta kecap dan nasi, itu cukup untuknya. Begitu pula Faza.

Setengah tujuh pagi. Riki pamit pergi ke sekolah. Saatnya aku mengurus Faza, adikku yang kini menginjak usia tiga tahun.

“La, nanti cucikan bajuku, sudah beberapa hari kamu tidak mencucikannya,” Nenek tiba-tiba datang pada Ibu.

“Nenek tidak lihat! Bagaimana keadaan Ibu? Ini semua gara-gara Nenek, Ibu jadi seperti ini!” sahutku kesal.

“Kenapa kamu jadi menyalahkanku, itu karena dirinya sendiri, bukan aku yang salah! Ya sudah, nanti kamu saja yang mencucikan baju!” katanya kemudian. Aku memalingkan muka. Pertanda tidak sudi. Tidak akan kulakukan itu.

Ya. Semenjak Ayah meninggal, Nenek semakin terang-terangan menyiksa kami. Hatiku sangatlah geram. Tapi tidak ada yang bisa kami perbuat. Kami tidak ingin hidup menggelandang. Aku lihat Ibu. Ibu duduk di kursi. Diam. Tenang. Arah matanya mengarah ke atap rumah. Tapi tatapan kosong. Faza merengek meminta dan memanggil Ibu dan Ayah. Namun keadaan Ibu sudah lupa anak-anaknya. Bahkan dirinya sendiri saja lupa. Entah.

Aku membawa Faza ke suatu tempat yang membuatnya harus lupa Ibu dan Ayah. Aku membelikannya mainan. Aku berperan sebagai Ibu dan Ayah bagi Riki dan Faza. Aku harus bisa memberi kasih sayang kepada mereka sebagaimana kasih sayang yang diberikan Ibu dan Ayah padaku. Aku menghabiskan waktu untuk bermain-main dengan Faza. Melihat keindahan berbagai macam bunga di tengah-tengah rerumputan. Aku berlarian bersama Faza di tengah bunga-bunga dan rerumputan yang mengumpul rapi. Sejenak beban pikiranku sirna. Tak lama, aku teringat Riki

“Sayang, pulang yuk, ini sudah siang. Mas Riki pasti sudah pulang dari sekolah,” bujukku.

Begitu aku sampai rumah, aku memicingkan mata. Sepatu Riki ada di teras depan rumah Nenek.

“Irma, kasihan Riki, dia lapar, kamu ke mana saja?” tanya Nenek yang mendapati diriku berada di depan terasnya. Aku tercengang. Tiba-tiba Nenek mendadak baik. Perhatian. Di sebelahnya ada Riki yang sedang makan. Ya. Makanan yang di kasih Nenek. Tak biasanya. Riki terlihat lahap memakan nasi dengan lauk ayam goreng.

“Kamu mau makan juga, Ir?” tawarkan Nenek. Aku menggeleng. Aku menatap matanya. Ada tetesan air mata yang terjatuh dari sudut sana. Aku tidak tahu apa artinya. Aku sedikit enggan bertanya. Aku sudah terlalu benci pada Nenek. Ketika aku melihatnya, aku seperti tak ingin pernah terjadi jika itu adalah Nenekku sendiri.

 “Aku menyesal telah berbuat kejam pada kalian. Setiap hari, Ibumu selalu kusuruh membersihkan rumah. Aku hanya duduk di kursi melihat Ibu kalian membersihkan semuanya. Itu dilakukannya sudah dari dulu sebelum kalian tahu. Setiap kalian pergi ke sekolah (menghela napas)… Aku benar-benar menyesal melakukan itu,”

Menangis. Ya. Nenek menangis. Melihatnya, aku juga tak tega. Tanpa sadar, air mataku juga turut serta. Antara sakit hati dan tidak tega. Itu yang aku rasakan saat ini. Jujur. Aku marah setelah aku mendengar pengakuan dari Nenek sendiri. Jelas-jelas, yang diperlakukan itu adalah Ibu kandungku sendiri. Tapi tak tega melihat Nenek mengurai air matanya. Bagaimana bisa? Aku tak sanggup melihat Nenek yang benar-benar sujud di hadapanku menyesali perbuatannya. Rasa sakit itu jelas masih ada. Tapi entahlah. Permintaan maaf telah aku dengar sendiri berulang-ulang.

“Sudahlah, Nek, Irma juga punya salah ke Nenek, maafin Irma juga, ya,” aku tak yakin jika aku bisa memaafkan Nenek. Yang jelas, sedikit demi sedikit aku belajar melupakan rasa sakit dan kekecewaanku itu.

 “Irma, nanti malam kalian bisa makan bareng bersama Nenek di sini?” pinta Nenek kepada kami. Aku mengangguk. Aku seperti mimpi. Nenek menjadi baik pada kami. Di tengah keharuan kami, tiba-tiba terdengar suara keras dari dalam rumah kami. Ibu. Ya. Tidak salah lagi. Apa yang tejadi dengan Ibu? Apa yang dilakukannya? Kami menengoknya. Alat elektronik satu-satunya yang kami punya pecah berserakan di lantai. Ibu membanting TV. Itu adalah satu-satunya barang penghibur bagi kami.

“Ibu! hentikan, Bu! Ibu kenapa?”Aku menarik tangan Ibu supaya jauh dari pecahan kaca TV yang bisa melukainya. Ibu menatapku. Tatapan kosongnya.

“Ibu duduk dulu,” bujukku dengan hati-hati. Aku mempersiapkan kursi untuk duduk. Kuambilkan minum. Kusodorkan minuman itu. Tapi Ibu mengibaskan tanganku. Gelas itu pecah.

“Lela, sudahlah lela, mungkin kamu butuh istirahat,” kata Nenek sambil memegangi pundak Ibu. Ibu menatap Nenek. Dan lagi-lagi tatapan Ibu kosong.

“Kamu (tersenyum), kamu jahat! Jahat!” kata Ibu sambil menunjuk Nenek.

“Saya minta maaf Lela atas kesalahanku padamu,” kata Nenek sambil menangis. Udara di ruang itu yang semula menegangkan tiba-tiba berubah mengharukan.

“Sudahlah, Nek, Ibu masih labil dengan kondisinya,” kataku menenangkan Nenek yang sedari tadi menangis.

Saat Ibu menatap Nenek, Ibu mengamuk. Seakan Ibu terbayang masa yang menyakitkan. Tekanan batin yang membuatnya harus menahan.

“Pergi! Pergi kamu!” Ibu mengusir Nenek. Sambil menangis, Nenek pergi kembali ke rumahnya. Aku memeluk Ibu.

“Ibu, Ibu! Sudahlah, Nenek sudah minta maaf,” kataku menenangkan Ibu. Kupeluk pula Riki dan Faza.

***

Rampung magrib, kami memenuhi tawaran Nenek untuk makan malam di rumahnya. Termasuk Ibu pula.

“Silakan, duduk sini, kita makan ayam goreng,” aku mengira gara-gara kejadian sore itu, Nenek marah pada Ibu. Ternyata tidak. Nenek tetap menyambut hangat kami. Mempersilakan tempat duduk untuk kami. Ya, kami akan makan bersama. Namun, aku terkejut ketika melihat Ibu memasuki rumah Nenek. Pertama yang ia tuju adalah ke sudut ruang dapur. Ibu mengambil sapu.

“Ibu, apa yang akan Ibu lakukan?” tanyaku panik. Aku takut jika tanpa sadar Ibu akan memukul Nenek. Yang dilakukan Ibu justru sebaliknya. Dengan tersenyum, Ibu menyapu lantai rumah Nenek. Aku mengerti. Karena kebiasaan yang dilakukan Ibu setiap pagi di rumah Nenek. Yah, tidak salah lagi. Ketika kami sekolah. Salah satu pekerjaan itulah yang selalu menjadi rutinitas Ibu di rumah Nenek. Ibu masih menyimpan baik kebiasaan itu di memorinya.

“Lela, sudah hentikan. Aku suruh kamu ke sini bukan untuk bersih-bersih rumah ini lagi. Ayo kita makan bareng, ayo kita duduk,” kata Nenek. Yang mulanya wajah Ibu semringah, tiba-tiba menjadi sedih.

“Aku sudah terbiasa melakukan hal ini, aku kangen dengan rutinitasku ini,” jawab Ibu dengan tatapan kosong. Datar. Aku menghela  napas . Sesak sekali. Aku menahan air mata. Ya. Setelah mendengar Ibu berkata demikian, aku menjadi pilu. Aku mengerti apa yang dirasakan Ibu. Hingga kebiasaannya itu menjadi hal yang dirindukannya. Antara tekanan batin dan rutinitas yang sudah mendarah daging. Rumah Nenek lebih besar dari rumah kami. Juga lebih bagus dari rumah kami yang kecil.

“Ibu, kita makan dulu, habis itu Ibu boleh bersih-bersih rumah Nenek lagi,” bujukku sambil kuucapkan kalimatku dengan terbata-terbata. Ibu mau menurutiku. Ibu aku tuntun. Kupersilakan duduk. Kusodorkan makanannya.  Kulihat Riki dan Faza. Dengan mata berbinar-binar serta kepolosannya menjadi sinyal jika mereka senang. Yah. Senang bisa menyantap ayam goreng. Lauk yang jarang kami makan. Belum tentu kami makan ayam sebulan sekali. Malam itu menjadi malam yang kami anggap sebagai malam anugerah. Aku melihat mereka makan dengan lahapnya. Sepertinya mereka menyukai hidangan Nenek yang disuguhkan kepada kami. Hingga Riki makan dua kali lipat dari biasanya. Aku terharu. Belum pernah aku melihat mereka seperti itu sebelumnya. Belum bisa aku menghidangkan masakan terenak untuk mereka.

“Maaf jika Nenek ada salah kepada kalian. Besok pagi aku akan pergi ke rumah tantemu, Ir,” kata Nenek setelah menenggak air putih di depannya.

“Ada apa, Nek?”

“Aku akan tinggal di sana beberapa hari saja, aku sangat merindukannya,” kata Nenek mengakhiri makan malam kami. Kami mengangguk. Biasanya Nenek diantar Ayah jika ke rumah tante. Kali ini, Nenek pergi sendirian. Aku menawarkan diri untuk mengantarnya. Namun Nenek menolak.

Ndak usah, nanti Ibu dan adik-adikmu ndak ada yang jagain.”

***

Aku melihat ada dua orang berdiri di depan rumah kami. Mereka mendekatiku.

“Maaf, yang punya rumah ini ada?”

“Iya, ada apa, ya?”

“Maaf sebelumnya kami hanya menjalankan tugas. Rumah ini akan di sita oleh Bank karena pemilik rumah ini belum bisa melunasi hutang kepada pihak Bank hingga melebihi jatuh tempo. Ini ada surat perjanjiannya yang bisa dijadikan bukti.”

“Kalau boleh tahu, atas nama siapa, ya?”

“Di sini tertera atas nama Ny. Maryam.”

Hatiku terguncang. Sesaat aku terdiam. Diam. Aku tak menyangka. Siang yang membakar jiwa. Berarti tangisan itu? Tangisan kebohongan Nenek. Selama ini tebakanku salah. Nenek tidaklah seperti yang aku bayangkan. Aku kira Nenek sudah menjalin hubungan baik pada kami, terutama Ibu. Aku kira hidangan makanan semalam wujud dari penyesalan Nenek terhadap kami. Namun justru berbanding terbalik. Makanan yang disajikan Nenek semalam, menurut kami itu jauh lebih kejam dari apa yang biasanya ia lakukan. Mungkin penyiksaan lebih bisa kami terima dibanding tangisan munafiknya.

Namun kenyataannya lain. Hidangan makan semalam ternyata menjadi hidangan untuk mengusir kami dari rumahnya. Ya. Rumah yang selama ini menjadi warisan untuk Ayah – katanya. Secara diam-diam Nenek menggadaikannya. Setelah menggadaikannya, Nenek pergi ke rumah tanteku dengan alasan dia rindu dan ingin tinggal di sana beberapa hari.

 “Aku harus bagaimana?” pertanyaan itu yang tiba-tiba terlintas dalam benakku.

“Tapi, boleh kami minta perpanjangan waktu untuk tetap tinggal di sini selama beberapa hari saja?” kataku lemas.

“Kami hanya bisa memberikan waktu tiga hari saja!”

Kami akan tinggal di mana nantinya? Aku menyembunyikan hal ini dari Ibu dan kedua adikku. Hingga malam tiba, hatiku masih dirundung kebingungan. Entahlah, makanpun juga tak terpikirkan olehku. Kulihat wajah-wajah lucu yang berbaring tidur di atas ranjang. Tak jarang juga, rengekan malam, entah itu sebelum mereka terlelap dalam tidur maupun saat bangun tidur selalu aku dengar. Faza, sangat belum paham di mana Ayah kini. Riki pun masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

***

“Irma, Ayahmu punya hutang padaku, kamu bisa melunasinya?” belum usai masalah dengan pihak Bank, kini muncul masalah lain.

“Besok kalau sudah ada uang, saya kasih, Bu,” kataku.

“Besok kapan?” rentenir itu tak sabar.

“Sebulan lagi, Bu.”

“Itu terlalu lama!”

Dia melobiku untuk melunasi secepatnya. Aku bingung untuk menentukannya.

“Dua minggu lagi,” aku jawab sekenanya. Entah dari mana kudapat uang. Itu urusan nanti. Yang jelas tergambar di depanku, aku harus bekerja keras.

“Oke, dua minggu lagi. Deal!” Katanya sambil melenggang pergi.

 Tidak ada barang berharga yang pantas untuk kujual. Bagaimana pun juga aku harus melunasi hutang Ayah. Belum lagi aku harus mencari uang untuk makan kami sehari-hari. Sekarang aku yang bertanggung jawab penuh atas mereka. Aku harus bekerja. Bersama Faza, aku menyusuri jalan untuk mencari pekerjaan demi mendapatkan uang untuk makan.

“Ma’em, ma’em…” rengek Faza. Aku merogoh saku celanaku. Aku lihat uang itu. Sisa uang hanya tinggal tiga ribu. Aku menoleh ke sisi kanan. Kulihat ada penjual bubur sumsum di sana.

“Makan bubur ya nduk,”

Dengan polos, Faza mengangguk.

Daerah itu hanya ada satu penjual bubur sumsum yang masih bertahan. Pantas saja jika ramai dan cukup antre.

“Maaf ya, buburnya habis,” kata penjual itu.

Lihat selengkapnya