Ketika Tangan Tuhan Memelukku

Sri Rokhayati
Chapter #8

Bu Risma

Pintu gerbang terbuka. Kami langsung menghambur masuk ke halaman rumahnya. Kuketuk pintunya dan kuberi salam. Tak lama, pintu yang kuketuk menguak. Muncul sosoknya dari belakang pintu itu. Aku kaget. Ibu itu pun juga sama kagetnya denganku. Beberapa kali aku mengedip. Memastikan jika mataku tidak sedang melamun. Sedang ibu itu terdiam agak lama, melihat wajah kami dengan seksama.

“Kalian yang pada waktu itu di jalan?”

“Iya, Bu.”

“Ada perlu apa, ya? silakan masuk dulu.”

Benar. Dia ibu yang sebelumnya pernah bertemu dengan kami. Ibu yang kusebut sebagai malaikat penolong perut kami. Tak disangka Tuhan mempertemukan kami kembali dengan caranya.

“Iya, kamu bisa bekerja di sini,” katanya. Belum tuntas rasa syukurku, Ibu itu bertanya, “Tinggalnya di mana?”

Aku terdiam. Bingung harus menjawab dari mana. Perlahan aku menjelaskan dengan napas tertekan. Saat aku cerita mengapa kami bisa sampai di rumahnya, mataku terasa panas. Namun seberapa kuat aku menahannya, air mataku meleleh juga. Aku menangis saat kuceritakan tentang kami. Tanpa disadarinya, air mata Ibu itu ikut menyungai di pipinya ketika mendengar cerita kami.

“Kalau kalian bersedia, kalian boleh tinggal di sini,”

Aku tidak percaya mendengarnya. Aku bengong. Secepat itu Bu Risma membolehkan kami tinggal di rumahnya. Syukur. Kami mendapat tempat tinggal.

“Kalian boleh tinggal di sini,” ulangnya. Tuhan benar-benar menjawab do’a kami.

Di sebelah rumahnya, tepat di sebelah garasi mobil ada tempat kosong. Tempat yang awalnya gudang, kini dibersihkan untuk tempat tinggal kami. Bu Risma dikaruniai dua anak laki-laki yang sudah berkeluarga. Satu-satunya orang yang menemani ialah pembantunya. Suaminya sudah lama meninggal.

“Mbak, sampai kapan kita di sini?” tanya Riki.

“Untuk sementara waktu kita tinggal di sini,” jawabku sambil merapikan tempat tidur.

“Alhamdulillah, kita ndak tidur di pinggir jalan lagi, terimakasih ya Allah,” kata Riki lirih. Hatiku terenyuh mendengarnya. Dia merasakan seperti yang kurasakan.

“Iya, Bu Risma orang yang baik, kita harus berterimakasih sama Bu Risma,” kataku melirik Riki. Ia mengangguk.

“Ya sudah, kalian di rumah dulu, ya,” sambungku.

Hari ini juga, aku langsung bisa bekerja di toko Bu Risma, pemilik toko buku yang sudah memiliki cabang di belbagai tempat. Kebetulan aku bekerja di tokonya yang tak jauh dari rumahnya.

***

Malam berlanjut.

“Irma, kamu bisa ikut Ibu? kita jalan-jalan,”

“Faza dan Riki bagaimana, Bu?”

“Mereka harus ikut juga,” ajaknya.

Pertama kalinya kami merasakan mobil yang empuk. Bu Risma memperlakukan kami seperti anaknya sendiri. Keadaan malam itu gerimis. Bu Risma memakai jaket tebal biru yang menyekap tubuhnya. Persis jaket yang dipakainya waktu menjadi malaikat penolong perut kami. Terlihat keren saat menyetir mobilnya. Kami diajak ke swalayan. Kami juga dibelikan sejumlah beberapa pakaian. Riki dan Faza dibelikan beberapa mainan baru. Selama ini mereka tidak pernah mempunyai mainan sebagus ini. Senang melihat mereka bisa tersenyum. Kami menikmati ramainya kota di malam hari bersama Bu Risma.

“Kalian pasti lapar,” katanya sambil mengemudikan mobil ke sebuah kedai mewah untuk makan. Sambil menikmati makan malam, Bu Risma bercerita kepada kami. Bu Risma rindu saat anak-anaknya masih kecil. Sekarang anak-anaknya sudah jauh darinya. Itulah sebabnya Bu Risma sangat merasa kesepian di rumah. Setelah cukup lama, aku semakin mengenal Bu Risma. Baik, dermawan dan penuh kasih. Namun anak-anaknya tidak menghargainya. Entah kenapa.

“Sudahlah! Aku jadi menangis,” kata Bu Risma sambil menyeka air matanya.

Kami pulang pukul sembilan. Malam sudah merayap datang. Hanya lampu-lampu yang mulai menghiasi jalan dan mulai menerangi gelap yang semakin pekat. Tapi hiruk pikuk kota seakan-akan tak peduli. Dua puluh menit kemudian kami sampai di peristirahatan kami.

 “Semoga kalian bisa tidur dengan nyenyak ya, selamat tidur saying,” kata Bu Risma dengan manisnya.

Kami di kamar. Seperti biasa, aku menceritakan sebuah dongeng pengantar tidur untuk kedua adikku. Tak lama kemudian mereka tertidur dengan pulas. Namun aku masih dalam lamunanku. Tiba-tiba ingatanku melayang pada perkataan Ibu waktu itu. Kata-kata yang tak kuinginkan.

Pertama, jika aku bukan anak yang diinginkan, kenapa aku terlahir ke dunia?

Kedua, jika aku bukan anak Ibu, kenapa aku bisa sama Ibu? Tinggal bersama Ibu dan kedua adikku?

Aku masih dalam ketidaktahuan tentang hal ini. Siapa diriku ini yang sebenarnya? Dari mana diriku berasal?

Lihat selengkapnya