Ketika Tangan Tuhan Memelukku

Sri Rokhayati
Chapter #9

Keluarga Baru

Hari pertama tinggal bersama keluarga Pak Herman membuatku merasa sangat asing. Aku belum bisa berbaur akrab dengan mereka. Aku masih canggung.

“Irma, ayo makan bareng. Ajak adik-adikmu,” katanya.

“Iya, Pak,” kami sarapan bersama mereka. Ada ayam goreng, sambal goreng ati, dan tumis brokoli yang menjadi menu favorit keluarga Pak Herman.

“Irma, kenapa nggak dimakan?”

“I-ya,” aku menjawab dengan sedikit terbata-bata karena canggung. Bu Wenda seketika itu melirikku sambil tersenyum sengit. Aku pun menimpali senyum ragu. Kedatangan kami di keluarga Pak Herman mungkin menjadi benalu bagi Bu Wenda. Aku tahu sikap Bu Wenda sejak awal. Inilah yang membuatku enggan tinggal bersama keluarga Pak Herman.

***

Tidak enak rasanya jika aku tinggal di rumah orang lain dan hanya menikmati fasilitasnya. Kulihat dapur, tampak sejumlah tumpukan piring-piring kotor. Aku berinisiatf untuk mencucinya. Tanpa sengaja, dari arah kamar Bu Wenda dan Pak Herman, aku mendengar namaku disebut dalam pembicaraannya. Namun aku tidak tahu jelas tentang apa. Aku melanjutkan cucianku.

“Irma, pagi-pagi sekali kamu sudah bangun. Sini aku bantuin,” kata Fika penuh antusias.

“Tidak usah Fik, sudah biasa, kok,” Kataku tidak ingin merepotkannya. Fika tetap saja ingin membantuku mencuci piring. Namun, entah mengapa rasanya seperti ada jarak ketika aku bersamanya. Tidak seperti dulu. Merasa dekat dan akrab dengan Fika. Bahkan aku sering menceritakan kepada Ibu tentang dia dan Ayahnya. Tapi ya begitu, Ibu selalu tutup kuping tak mau tahu jika mendengar ceritaku yang menyebut nama Pak Herman. Aku sendiri masih belum paham kenapa Ibu bersikap seperti itu.

“Jangan sebut nama Herman lagi, Irma!”

“Kenapa, Bu?”

“Ibu tidak menyukai nama itu.”

Begitulah akhir percakapan jika aku bercerita menyebut nama Ayahnya Fika. Dan sejak saat itu aku tak pernah lagi bercerita tentang kebaikan Fika dan Ayahnya.

***

Peristiwa itu terjadi. Keadaan rumah sangat sepi. Hanya aku, Faza dan Bu Wenda.

“Sepertinya lantainya kotor. Ir, kamu bisa ngepel, kan?” Bu Wenda memecah suaranya. Tanpa basa-basi lantas kuambil air dan kain pel. Aku mengepel dari belakang hingga depan rumah.

“Ini masih kotor!” protesnya. Aku mengepel hingga ke sela-sela dan sudut-sudut ruangan. Hampir tidak ada yang terlewatkan. Hingga punggungku terasa pegal.

“Hey, anak kecil! Kamu bisa bantuin Mbakmu tidak! Ini, tolong di lap mejanya!”

Tidak hanya aku yang turun tangan untuk ngepel. Faza pun dipaksa membersihkan meja. Sedangkan Bu wenda duduk di ruang tengah sambil melihat kami bersih-bersih. Kami bagaikan budak baginya. Setelah kami membersihkan semua sesuai perintahnya, kami istirahat. Duduk sambil meregangkan otot yang keram. Belum ada satu menit, kami disuruh untuk membersihkan kamar mandi. Aku pun langsung menuju kamar mandi dan segera membersihkannya. Saat aku membersihkan bak kamar mandi, aku terpeleset dan jatuh. Kakiku terbentur sangat keras. Aku tetap melanjutkan pekerjaanku.

Semuanya kukerjakan. Toh, aku merasa tidak enak jika hanya numpang di rumahnya. Tapi ada yang membuatku tak tega. Faza yang masih kecil, harus menanggung hal ini pula. Bu Wenda sama sekali tidak punya rasa belas kasih pada bocah berumur tiga tahun itu. Belum puas, lalu kami disuruh membersihkan taman. Aku menyirami aneka tanaman hias yang tertata rapi di halaman rumah. Memotong untuk merapikannya. Tak lama kemudian Fika pulang.

Lihat selengkapnya