Ketika Tangan Tuhan Memelukku

Sri Rokhayati
Chapter #10

Ayahku?

Bu Wenda terlihat sedih. Duduk menghadap taman. Aku mendekatinya. Aku membuatkan teh hangat. Kusuguhkan teh yang masih mengepul itu di mejanya.

“Ini, Bu.”

Bu Wenda melamun tanpa meresponsku. Aku tak tahu apa yang ada dibenaknya. Lantas, kutinggalkan tempat itu. Aku tak ingin bertanya, takut emosinya meledak. Sejurus kemudian, Fika pulang dari rumah temannya. Fika menghampiri Mamanya.

“Mama melamun, ya?”

Bu Wenda tersentak, “Fika! kamu ngagetin Mama.”

Bu Wenda langsung menceritakan kesedihannya kepada Fika. Pendapatan butik miliknya akhir-akhir ini berkurang. Hingga detik hari ini, Bu Wenda baru mengetahui bahwa dia ditipu partner kerjanya. Dari lima butik usahanya sekarang hanya tinggal dua yang masih berdiri mempertahankan eksistensinya. Sedangkan Bu Wenda masih mempunyai hutang di Bank yang belum terbayarkan. Kini, Bu Wenda harus menelan pahit-pahit usaha yang telah dirintisnya.

Di sisi lain, bahan baku tekstil yang melambung tinggi sangat berpengaruh terhadap usahanya. Ini sangat dirasakan Pak Herman. Setelah Pak Herman melihat catatan keuangan, dia mendapati jika dia ditipu oleh orang kepercayaannya. Orang itu membawa kabur uang yang dipinjamkannya.

Hari ini mungkin menjadi cobaan besar bagi Pak Herman. Pak Herman rugi besar dan bangkrut. Dengan lemas, Pak Herman pulang.

“Ada apa, Pa?” tanya Bu Wenda.

“Kita ditipu, Ma!”

Pak Herman begitu shock. Bu Wenda pun demikian. Bu Wenda juga menceritakan apa yang terjadi dalam usaha butiknya. Mereka sangat terlihat bingung. Kedua usaha mereka mengalami kerugian.

Hidup dalam kesulitan, membuat keluarga Pak Herman susah. Mereka sudah terbiasa hidup mewah dan berkecukupan. Kini mobil satu-satunya telah dijual demi memenuhi kebutuhan hidup. Aku yang merasa berstatus numpang, tak bisa berbuat apapun.

“Irma, ini semua gara-gara kamu dan adik-adikmu! Semenjak kalian tinggal di sini, usaha kami perlahan-lahan bangkrut!” kata Bu Wenda sambil mencubitku. Bu Wenda terus-terusan menyalahkan kami. Kami terus-terusan dipukuli dan disiksa.

“Eh, kalian tolong bersihkan seisi rumah. Lantai harus bersih, meja juga harus bersih. Kamar mandi juga! Kebun belakang rumah dan garasi juga harus bersih!” Bu Wenda menginstruksi secara jelas sejumlah perintah kepada kami. Seperti biasa, tanpa protes kami langsung melaksanakannya. Kami bertiga layaknya pembantu. Aku sadar, kami hanya numpang.

“Eh, bocah! Ini masih ada debunya, kalian bisa kerja ndak!” Lagi-lagi. Bu Wenda mencubitku hingga gosong. Riki dipukuli dan Faza di jewer telinganya hingga mereka menangis. Tidak hanya itu. Bu Wenda juga melampiaskan kekesalannya padaku. Kakiku terluka karena dipukul menggunakan sapu lantai. Saking berulang-ulangnya kejadian seperti itu, hingga kami merasa biasa saja. Bu Wenda tidak menyukai kami tinggal di rumahnya. Itu terlihat sejak awal kami menempati rumahnya. Di tambah musibah yang baru saja mengenai bisnis keluarganya membuat siksaan kami pun menjadi bertambah. Kami hanya bisa terdiam ketika Nenek sihir – bagi kami – telah berkuasa.

“Bu, jangan pukuli Faza dan Riki, Irma mohon!” rengekku meminta. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kekejaman di rumah itu.

“Assalamualaikum,” terdengar salam dari luar pintu. Syukurlah, penyiksaan kami berakhir saat Fika pulang. Bu Wenda berpura-pura kejadian itu tidak terjadi. Dia membalikkan fakta seolah-olah atas keinginan kami sendiri membersihkan rumah.

“Ma, kenapa telinga Faza berdarah?” tanya Fika.

“Tadi Faza terpeleset saat ke kamar mandi,” kata Bu Wenda datar. Tenang. Seolah-olah dia bukan pelakunya.

“O…. ya sudah, ini Fika punya permen buat Faza. Jangan nangis lagi, ya,” hiburnya.

Pandai sekali Bu Wenda mengarang cerita. Keadaan rumah yang tadinya seperti neraka, dengan sekejap berubah menjadi layaknya surga yang damai dan tenang. Sedangkan Pak Herman tengah sibuk mengurus pabrik tekstilnya yang ditipu orang. Saking sibuknya beberapa hari ini dia sering tak pulang.

Hari semakin gelap. Di saat semuanya tertidur, tinggalah aku sendiri yang masih terjaga. Sulit rasanya kupejamkan mata. Dalam diamku, kulihat Riki dan Faza, mengapa mereka harus sama menerima nasib sepertiku. Aku sangat takut dengan datangnya matahari. Aku takut suasana neraka terulang kembali. Sehingga aku tidak berani memejamkan mata. Aku ingin setiap waktu menjadi malam. Tapi, itu mustahil!

***

Kebutuhan semakin menebal dan uang semakin menipis. Itulah kondisi yang dirasakan keluarga Pak Herman. Keadaan semakin memuncak. Tinggalah barang-barang elektronik yang akan dijual Pak Herman. Pak Herman mengemas barang-barangnya dan berniat menjual pagi itu juga. Ketika itu, mata Bu Wenda melirik ke arahku, “Ini semua gara-gara kalian.”

Semua harta benda Pak Herman berangsur habis. Mulai dari kendaraan mewah. Motor yang awalnya berjumlah tiga kini tinggal satu. Televisi, kulkas dan barang yang sekiranya dianggap bernilai dijual untuk kelangsungan hidup. Sosok Pak Herman berubah menjadi pendiam dan wajahnya penuh beban.

Pak Herman akan pergi menemui seorang teman lamanya. Ia meminta bantuan. Berusaha mencoba memulainya dari awal.

“Papa mau ke mana?” tanya Bu Wenda.

“Papa mau menemui teman papa, Ma.”

“Untuk apa?”

“Mungkin dia bisa membantu,” jawab Pak Herman sedikit tenang.

“Ini semua berakar dari bocah-bocah kolot itu, Pa!”

Lagi-lagi Bu Wenda menyalahkan kami.

“Sudahlah, Ma! hentikan menyalahkan orang lain! Irma itu adalah anak…” kata Pak Herman hampir keceplosan. Seketika itu Pak Herman langsung mengunci mulutnya.

“Apa kata Papa?” Bu Wenda mencoba menyelidik.

“E-emmm.. maksud Papa, Irma dan adik-adiknya sudah kuanggap anak Papa sendiri!”

Perdebatan itu semakin memuncak. Seisi rumah terdiam dan hanya suara Bu Wenda dan Pak Herman yang memenuhi sudut-sudut rumah. Melihat pertengkaran di antara mereka, kami dan Fika turut menangis.

Lihat selengkapnya