Aku melihat perjuangan Ayah yang memulai usahanya dari nol. Ayah berangkat mencari rupiah untuk kami.
“Hey! Semenjak kamu dan bocah-bocah tengilmu itu di sini, kami menjadi susah. Aku benci kalian! Sebenarnya aku ingin mengusir kalian sejak lama, tapi kalian selamat karena suamiku,” sambil menudingkan telunjuknya ke wajahku. “Meskipun kamu anaknya, tapi aku tidak akan pernah ikhlas mengakuinya!” tambahnya.
Dalam hati, kami sebenarnya tak ingin tinggal bersamanya. Kami paksakan untuk tetap bertahan karena kami tak tahu lagi harus tinggal di mana. Tak hanya sekali Bu Wenda membujuk Ayah secara halus supaya kami diusir dari rumahnya. Namun beberapa kali juga Ayah tak pernah terusik untuk melakukan hal itu kepada kami. Perlahan, Bu Wenda menghasut Ayah dengan berbagai macam strategi. Menyudutkan kami yang hanya sebagai pengganggu.
Jika sudah terdengar intro dari Bu Wenda, rumah neraka akan segera di mulai. Kami diperlakukan seperti hewan yang lemah. “Ini! Cepetan di cuci!” perintahnya.
Sering aku berpikir, kapan hal ini akan berakhir. Sapu lantai menjadi tangan kanan Bu Wenda. Hingga tangan dan kaki kami gosong karena pukulan setiap harinya.
“Kamu bisa kerja nggak! Gini saja tidak becus!” bentak Bu Wenda kepada Faza sambil memukulinya dengan sapu. Faza masih belum pulih demamnya. Namun sudah dipaksa kerja. Tidak ada alasan bagi Bu Wenda untuk tidak melakukan pekerjaan yang diperintahkan. Di samping itu, perut kami belum terisi apa pun. Kami sengaja tidak dikasih makan.
“Assalamu’alaikum,” Fika yang baru saja pulang sekolah, melihat sendiri saat Faza dipukuli Mamanya. Fika tercengang melihat kami. Dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat kekejaman Mamanya pada kami.
“Mama! Apa yang Mama lakukan? Sudah berapa kali hal ini terjadi?”
Bu Wenda sontak kaget. Fika dan Mamanya menjadi ribut. Konflik timbul di antaranya. “Mama tega! Tidak sepantasnya Mama berbuat demikian!” Kami menyaksikan keributan di antara mereka hingga Bu Wenda menampar Fika.
“Diam kamu Fika!”
Lalu Fika berlari ke kamarnya.
“Kalian lihat sendiri, ini semua gara-gara kalian!” kata Bu Wenda. Kami terdiam ketakutan. Bu Wenda langsung meninggalkan kami tanpa kata. Aku menenangkan Riki dan Faza yang menangis.
“Napa Bu Wenda menampar Mbak Fika?” tanya Faza.
Aku tersenyum. Menjelaskan jika tidak ada apa-apa, mereka hanya iseng. Lalu Riki dan Faza mengadu jika perutnya perih. Aku segera beranjak dari tempat tidur. Kubuatkan sarapan untuk mereka. Aku mengambilkan nasi.
“Siapa yang mengajari untuk mencuri?!” kata Bu Wenda tiba-tiba dari belakangku.
“Tidak ada jatah makan untuk kalian hari ini!”
“Kami harus makan dari mana, Bu?” kataku memelas.
“Itu bukan urusanku!” jawabnya acuh.
“Awas! kalau kamu ketahuan nyuri lagi, kamu harus pergi dari rumah ini!” tambahnya.
Bu Wenda lantas pergi. Aku kembali ke kamar untuk menemui adik-adikku.
“Mengapa Mbak Irma menangis?” tanya mereka.
“Cuma kelilipan,” kuusap air mataku. Lalu kuambil tas. Aku buka. Kucari sisa uang di dompetku. Tidak kutemukan sepersen pun. Aku membuka tas kecilku. Di situ ada beberapa kantong kecil. Aku cari. Syukurlah. Ada sisa uang yang dikasih Ayah waktu itu. Meskipun sepuluh ribu. Aku berpikir sejenak. Sesekali aku melihat Riki dan Faza.
“Kalian tunggu sebentar di sini, ya. Mbak mau beli makan untuk kalian,” Mereka mengangguk. Aku pergi meninggalkan mereka sebentar untuk membelikan makanan.
Alhamdulillah. Kurasa cukup untuk Riki dan Faza. Semoga saja. Kemudian aku kembali menemui mereka. Ketika aku membuka pintu kamar, aku terkejut. Mereka dalam keadaan menangis.
“Kenapa kalian menangis?” tanyaku panik. Mereka bercerita apa yang terjadi. Bu Wenda telah menakut-nakuti dan mencubitnya hingga mereka merasa takut. Ya. Mereka merasa takut jika kehilangan aku. Lantas aku menenangkannya, mengusap air matanya dan memeluknya.
“Tenanglah, Mbak akan selalu bersama kalian. Kalian tidak perlu takut,” sambil kupeluk mereka. Aku merasa jika mereka amat sangat ketakutan. Hatinya bergejolak tidak keruan. Itu terlihat dari air matanya yang tidak berhenti untuk menangis. Mungkin karena mereka sudah merasakan kehilangan dua malaikat. Dua malaikat yang menjelma menjadi orang tua yang selama bertahun-tahun telah merawat kami dengan kasih sayang. Dan kini ia takut kehilangan kasih sayang dariku.
“Mengapa Ibu dan Ayah ndak pernah kembali, Mbak?”
Aku tak bisa membendung air mataku yang mengalir bersama air mata mereka. Aku tak bisa menjawab pertanyaan polos itu. Pelukan kami terjaga hingga lama.
Ini yang bisa kukatakan, “Ayah sekarang berada di surga, Ibu pergi sebentar membelikan mainan untuk kalian. Sudahlah, kalian makan dulu,” aku menyeka kembali air mata mereka. Aku menyuapinya. Biarlah aku menahan rasa laparku demi mereka. Hingga perutku kuganjal batu kerikil sebagai penahan rasa lapar.
Waktu terus bergulir,
Pukul sepuluh malam menjelang. Ayah pulang dari jualan. Aku masih merasa canggung dengan Ayah kandungku. Meski Pak Herman adalah Ayah kandungku sendiri. Namun aku merasa beda. Tidak mendapatkan kasih sayang yang jauh lebih dalam dari Ayahku yang selama ini membesarkanku.
“Ayah sudah pulang,” aku menyambutnya. Aku tak menyadari jika ada Bu Wenda yang tengah duduk di ruang tamu. Matanya langsung melototiku. Bakal ada kekejian lagi – batinku. Namun sungguh, aku tidak menyadarinya ada Bu Wenda di sana.
“Iya Nduk, kamu kenapa belum tidur? Tidurlah, istirahat sana,” katanya.
“Belum mengantuk ay…,” jawabku canggung sambil melirik Bu Wenda. Ayah terlihat sangat letih. Aku membuatkannya teh hangat. Namun, ketika aku ke belakang, Bu Wenda mengikutiku. Merebut teh hangat itu dari tanganku untuk diberikan kepada Ayah. Dia hanya ingin mencari muka di hadapan Ayah. Dengan begitu, dia punya peluang untuk menyudutkanku.
“Irma, ini ada makanan untuk kamu, tadi Ayah sengaja membelikannya untukmu,” kata Ayah. Alhamdulillah – batinku. Allah selalu baik. Memang, seharian perutku belum terisi nasi.
***
“Irma, dihabisin nasinya,” kata Ayah dengan lembut. Aku makan lahap sekali pada malam ini. Riki dan Faza pun juga demikian. Mungkin karena beberapa hari sebelumnya, makanan kami dibatasi oleh Bu Wenda. Kami hanya diberi makan sehari sekali. Itu pun untuk makan siang saja. Selebihnya, kami mencari makan sendiri. Untung, akhir-akhir ini Ayah memberi kami uang jajan.
“Fika, kamu makannya dikit-dikit banget, tidak seperti biasanya, kenapa?”
“Fika lagi nggak pengin makan, Pa!” jawab Fika tak bersemangat. Entah kenapa Fika mendadak bad mood. Mungkin, lagi-lagi Fika cemburu padaku. Fika masih belum bisa mengelola perasaanya. Terkadang, dia merasa cemburu pada kami yang sering diperhatikan oleh Ayah. Namun di sisi lain, dia kasihan kepada kami. Apalagi, setelah mengetahui jika Mamanya tidak suka kepada kami dan sering kasar memperlakukan kami. Setelah itu, sikap Fika juga terlihat berbeda padaku. Dulunya, Fika sangat dekat denganku, sering menceritakan tentang teman-temannya. Sosok periang di mataku. Tapi tidak lagi sekarang. Dia jauh lebih pendiam terhadapku. Entahlah.
“Irma, nanti kamu ikut Ayah bisa, kan?” kata Ayah sambil melahap suapan terakhirnya.
“Malam ini?” jawabku memastikan.
“Iya,” jawab Ayah tanpa berpikir panjang. Sejenak aku termenung. Mengkerutkan kening, berpikir.
“Riki dan Faza?” kutanyakan hal yang memenuhi pikiranku.
“Tinggal dulu sebentar!” jawab Ayah enteng, seperti tanpa beban. Benar jika buat Ayah, mungkin hal itu terasa enteng. Beda denganku. Sampai detik ini, aku yang selalu di samping mereka. Terasa berat rasanya melakukan hal itu. Aku tidak tega meninggalkan mereka. Sungguh, rasanya ingin mengajak mereka ke mana pun aku pergi.
“Mbak Irma pergi dulu, ya. Kalian di rumah, Mbak Irma pergi sebentar,” kataku berat meninggalkan mereka. Mereka menggenggam tanganku. Aku menjelaskan kalau aku tidak akan meninggalkan mereka lama.
“Jangan lama ya Mbak, janji.”
“Iya sayang,” jawabku.
Aku pergi bersama Ayah. Katanya aku akan dipertemukan temannya yang bisa membantu mengembalikan rumah orang tuaku yang disita dulu. Aku dibonceng dengan membawa motor. Aku sama sekali tidak tahu jalanan itu. Hanya ada beberapa orang yang melewati jalan itu. Sebuah gang kecil dan sedikit pencahayaan. Sehingga harus hati-hati bila melewatinya.
“Berapa lama lagi, Yah?” tanyaku.
“Sebentar lagi,” jawabnya dengan fokus mengendarai motor.
Setelah setengah jam berlalu, kami pun sampai di rumahnya. Rumahnya minimalis. Terlihat bersih. Daerah yang belum banyak dipadati rumah penduduk. Jarak antara rumah satu dengan yang lainnya sangat jauh karena masih banyak lahan kosong. Kami masuk ke dalam rumahnya. Ornamen indah menghias ruangan itu. Perabotan rumah tangga dan aneka pernak-pernik tertata sedemikian rapinya.
“Oh… silakan masuk,” pemilik rumah itu mempersilakan kami masuk. Kami duduk dan dihidangkan beberapa suguhan. Ayah memperkenalkanku kepadanya. Lantas mereka berbincang-bincang serius yang tidak aku mengerti.
“Irma, Ayah pulang dulu mengambil berkas yang ketinggalan,” katanya kemudian. Aku tidak paham apa yang dimaksudkan. Awalnya aku menolak untuk di tinggal sendiri di sini. Namun Ayah meyakinkanku.
“Tidak apa-apa sayang, Ayah hanya membawa berkas yang dititipkan kemarin, tapi ketinggalan.”
“Iya,” jawabku mantap.
Setelah Ayah pulang, tiba-tiba ada beberapa wanita yang keluar dari kamar. Aku mengira itu adalah anggota keluarganya. Kemudian, aku merasa ada yang janggal.
“Kenalin, aku Reva, Ines, levi,”
Mereka saling memperkenalkan diri dan masih banyak yang lain pula memperkenalkan diri padaku. Mereka baik, menawarkan sejumlah makanan yang mereka punya. Namun, sekali lagi aku merasa ada yang janggal. Aku menoleh ke arah kananku. Keluarlah seorang wanita dari kamar yang di tangannya membawa sebatang rokok yang menyala. Sempat kutangkap salah satu temannya mengedipkan mata ke arahnya. Wanita itu langsung membuang puntung rokoknya dan memperkenalkan diri padaku. Aku tidak tahu maksudnya.
“Kalian saudaraan, ya?” tanyaku dengan lugu. Polos. Mereka malah menertawakan aku dengan terbahak-bahak. Aku sangat geli melihat dan mendengarkannya. Salah satu dari mereka ada yang menginstruksi. Memberi aba-aba dan mengendalikan tawa mereka.
“Ines, bawa Irma ke kamarmu. Jaga dia baik-baik. Jangan sampai lecet,” suruh pemilik rumah.
Aku diantar ke kamar Ines, salah satu penghuni rumah itu. Aku membututinya menuju kamarnya. Ternyata design rumahnya memanjang kebelakang. Terdapat banyak kamar layaknya rumah indekos. Aku melihat ada seorang laki-laki yang keluar dari kamar lain.
“Ini sebenarnya tempat apaan, Mbak?” tanyaku heran.
“Panggil aku Ines saja!” jawabnya sedikit judes.
“Masuklah dulu ke kamarku, nanti kamu juga akan mengerti,” Ines lalu menutup pintunya. Kamarnya sangat berantakan. Selimut berada dilantai. Make up berserakan. Baju-bajunya tidak tertata rapi, berada di atas kasur. Baunya menyengat.
Kami di dalam kamar berbincang-bincang. Kami saling memperkenalkan diri lebih dekat. Nasib Ines tidak jauh beda denganku. Ines jauh lebih dewasa dariku. Aku banyak belajar kehidupan darinya. Banyak yang dia ceritakan padaku.
“Kamu tidur denganku malam ini,” katanya. Dug.
“Tapi aku ingin pulang,” kataku cekat. Pikiranku langsung melayang ke wajah Riki dan Faza. Mereka pasti menungguku. Mengharap kepulanganku.
“Kenapa aku harus tinggal di sini malam ini?” tanyaku.
“Percuma jika kamu minta pulang malam ini. Tidak bakal di ijinin pemilik rumah ini,” katanya santai sambil duduk di bibir kasur.
Aku tak bisa jauh dari kedua adikku. “Sebenarnya Ayah ke mana? Mengapa tidak datang-datang?” kubertanya sendiri dalam hati. Waktu menunjuk pukul dua belas lebih. Ines menguap. Ia pun segera berbaring untuk tidur. Aku pun membaringkan tubuh ke kasur yang empuk. Aku mencium aroma rokok dari kasur itu. Aku tanyakan pada Ines.
“Itu karena aku sering merokok,” jawabnya sambil menguap. Aku tertegun.
“Mengapa?”
Dia tidak menjawab pertanyaanku. Mengapa di sini banyak wanita yang merokok – pikirku. Lagi-lagi, aku menemui kejanggalan di rumah ini. Dengan sekejap, Ines langsung bisa memejamkan matanya. Namun aku teringat dengan Riki dan Faza kembali. Mereka sedang apa? Apakah sudah tidur? atau… Astaghfirullah, mudah-mudahan dia tidak kenapa-napa. Pikiranku dihantui bayang-bayang yang mengerikan. Aku takut terjadi sesuatu kepada mereka. Aku takut Bu Wenda membuatnya menangis. Aku memohon dalam renunganku, supaya mereka dilindungi oleh Sang Maha Khaliq.
Ayah menipuku. Baru tiga jam aku pisah meninggalkan Riki dan Faza, rasanya seperti setahun. Aku kangen mereka.
Angin malam menyeruak ke dalam celah dinding kala malam semakin larut. Aku terpaku di dalam kesunyianku. Kupandangi Ines. Dia sudah mengigau dalam mimpinya. Sedangkan aku masih terjaga dalam kesendirian. Aku pun menangis. Aku ingin kabur dari rumah ini. Tapi kunci kamarnya ada di saku Ines. Kucoba mengambil kunci itu dari sakunya. Perlahan aku merayapkan tanganku ke sakunya. Namun Ines setengah tersadarkan diri. Lalu tidur pulas kembali.
“Creng…” kuncinya terjatuh di lantai. Aku mengendap-endap seperti maling. Aku mengambil kunci yang terjatuh itu. Kuambil dengan hati-hati. Akhirnya, aku berhasil mengambil kunci itu. Pelan-pelan aku mulai membuka pintu kamar. Dengan gemeter kupegang kunci itu. Sesekali aku melirik Ines. Yah. Berhasil juga aku membuka pintu kamarnya. Lantas aku keluar dari kamar. Berjalan melewati kamar perkamar yang berada di kanan dan kiriku. Lagi-lagi ada kendala. Pintu rumah terkunci.
“Aku mau beli rokok,” kataku berbohong kepada penjaga rumah itu.
“Ini ada, kamu tidak perlu membeli keluar!” kata penjaga itu. Aku mencoba ngeles. Namun aku tidak berhasil.
“Sudah. Masuk sana ke kamarmu!” sambil menarik tanganku ke kamar Ines.
“Masuklah!” dia mendorongku.
Ines terbangun.
“Kamu dari mana Irma?” tanyanya setengah mengantuk. Aku hanya bisa menangis sesenggukan. Tak kujawab pertanyaannya.