Ketika Tangan Tuhan Memelukku

Sri Rokhayati
Chapter #12

Mencari

Pukul sepuluh malam. Aku masih mencari mereka. Sangat lelah setelah seharian berkubang dengan jalanan. Emperan toko menjadi tempat favoritku untuk istirahat. Aku sangat mengantuk.

“Hey, kalau mau ngamen jangan di kawasan ini! Ini tempat kami!” katanya sambil menepuk bahuku. Cukup membuatku kaget. Dikiranya aku seorang pengamen. Memang, mungkin penampilanku mirip pengamen jalanan atau mungkin bisa dibilang mirip dengan pengemis. Ketika aku mendongak, aku bertambah kaget. Dia pun tak kalah kagetnya setelah muka kami bertatap.

“Irma?”

“Nasa?”

Sapa kami hampir bersamaan. Guratan wajahnya masih tergambar jelas. Masih bisa kutebak siapa dia. Nasa. Kuedarkan pandangan ke sekeliling teman-temannya.

“Kamu? Sepertinya kita sudah pernah ketemu, ya? Tapi aku lupa namamu?” kata salah satu temannya. Dia memperhatikan wajahku dengan saksama.

“Oh! Iya, kamu Narda, kan? Yang waktu itu menolongku?!” kataku menebak.

“Iya, aku baru ingat. Irma! Ya. Ya. Ya. Akhirnya kita dipertemukan lagi,” kata Narda mengajakku untuk berjabat tangan dengan gaya akrabnya.

Ya. Kami dipertemukan kembali setelah kelulusan SMP. Nasa, ketua dari geng punk itu. Dia tumbuh menjadi anak jalanan. Hal inilah yang ditakuti oleh Bu Sinta – guru BK kami – sewaktu SMP. Nasa menjadi lelaki yang berotot dan kekar. Seperti yang kulihat, Nasa seperti orang yang menakutkan. Sementara Narda, dia yang menolongku sewaktu Ibu akan tertabrak kereta api.

“Teman-teman, kenalkan, ini namanya Irma.” Nasa memperkenalkan diriku kepada teman-temannya. Mereka semuanya baik.

“Tinggalmu di mana?” tanya Nasa.

Aku mematung. Mendesah berat, “Aku tidak punya tempat tinggal,” jawabku lirih.

“Kalau kamu mau, kamu bisa tinggal bersama kami,” Mereka menawarkan tempat tinggal padaku. Aku harus bagaimana? Aku terdiam. Bingung.

“Hey, siapa itu?” tanya salah satu anggotanya yang baru datang. Tak kuduga. Di antara mereka juga ada wanita. Dia memperkenalkan diri padaku. Sisi namanya. Seorang wanita cantik. Namun, kecantikanya seolah luntur karena kusut yang melekat di wajahnya.

“Kompleks kita dekat kok dari sini. Kita juga mau pulang,” lanjut Sisi. Dia tersenyum. Aku mengangguk.

 “Kamu, kok kayak bingung dan sedih, kenapa?” tanya salah satu dari mereka. Aku berusaha menciptakan senyum di tengah-tengah lelahku.

“Aku mencari adik-adikku, aku tidak tahu di mana mereka sekarang. Aku sangat rindu mereka,”

Mereka mengernyitkan keningnya. Menangkap kesedihanku.

Rumah kardus. Yah. Rumah kardus menjadi tempat tinggal geng punk. Atapnya terpal. Kamar per kamar di sekat dengan kardus. Keadaannya sangat berantakan.

“Inilah tempat tinggal kami. Maaf berantakan dan jelek. Namun kami nyaman tinggal di sini,” kata Nasa. “Di sebelah sana kamarnya Sisi dan Zena, kamu bisa gabung dengan mereka,” lanjutnya dengan menunjuk tempatnya.

Inilah. Semoga saja, ini lebih baik daripada rumah hantu dan rumah neraka. Aku membaringkan tubuhku di atas kardus yang menjadi tempat tidur mereka. Aku melepas lelahku.

“Semuanya, ayo keluar. Kita makan dulu!” instruksi dari Nasa. Mereka berdelapan masing-masing keluar dari kamarnya.

“Irma, ayo makan bareng,” kata Zena, gadis bertindik di telinga. Usianya sebaya denganku.

Banyak hal yang mengejutkan bagiku. Apa pun dikerjakan bersama. Bahkan untuk urusan makan pun, mereka selalu kompak. Tak kusangka. Sebelumnya, aku melihat risih anak-anak jalanan. Tapi tidak, setelah aku melihat hal ini. Mereka justru saling membantu jika ada yang kesusahan. Inilah yang aku cari. Meskipun nasi bungkus dengan lauk sekadarnya namun cukup untuk menjalin kebersamaan.

“Ir, sebenarnya kamu tinggal di mana sebelumnya?” tanya Narda. Anggota punk yang paling muda. Aku bingung mulai cerita dari mana. Aku terdiam. Menunduk. Menghela napas.

“Maaf, tidak perlu dijawab kalau kamu tidak bisa mengatakannya,” lanjutnya. Dia seakan tahu apa yang aku rasakan. Belum siap aku mengatakannya. Aku masih terpukul dengan takdir hidupku.

Setelah makan, mereka masuk ke kamar masing-masing. Tinggal aku dan Nasa.

“Nas, kenapa kamu memutuskan ke dunia jalanan?” tanyaku sedikit canggung.

Nasa mendongak menatap awan cerah. Seolah ada beban yang menghimpitnya.

“Aku memilih seperti ini karena aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi Ir. Orang tuaku meninggal karena tabrakan saat mudik dari Jakarta. Tidak lama kemudian adikku satu-satunya juga menyusul kedua orang tuaku karena kanker ganas yang selama ini tidak kami ketahui. Tinggal aku dan Nenek. Waktu itu aku langsung memutuskan tidak melanjutkan sekolah karena faktor biaya juga. Sedangkan Nenekku sudah sakit-sakitan dan akhirnya meninggal,” matanya berkaca-kaca.

“Kamu sendiri bagaimana, Ir?”  

 “Ayahku sudah meninggal Nas waktu kita SMP, aku sangat ingat waktu itu di hari ulang tahunku ketika aku pulang sekolah. Nenekku tidak suka dengan kami, terutama kepadaku dan Ibu…”

Aku melirik Nasa. Dia terlihat serius mendengarkan ceritaku. Aku mengambil napas. Berharap bisa mengendalikan emosionalku.

“Wah, panjang sekali jika aku ceritakan Nas,”

“Tak masalah. Seberapa pun panjangnya, aku tetap masih ingin jadi pendengar setia,” katanya. Kami tertawa renyah.

“Oh, ya. Orang baik itu namanya Bu Risma. Kini sudah meninggal ketika kami tinggal di rumahnya. Dia meninggal karena asmanya kumat. Padahal, Bu Risma orangnya baik. Almarhumah sudah menganggap kami seperti anaknya sendiri. Sebelum kami tinggal di rumahnya, Bu Risma hanya tinggal bersama Bi Inah, pembantunya. Dalam prosesi pemakaman almarhumah, tidak disangka aku bertemu dengan Fika. Kamu tahu, kan? Teman sekolah kita waktu SMP.”

“Iya, iya tahu. Tapi aku ndak pernah ngobrol sama dia. Yang anaknya orang kaya itu, kan?”

Semua teman-teman sekolah mengenal Fika adalah anak orang terpandang. Kaya. Dari semua anak sekolah, yang paling menonjol mewah adalah Fika.

Aku mendesah kuat kemudian kukatakan, “Nah, Bu Risma ternyata tantenya Fika. Dan yang paling membuatku terkejut Fika dan aku adalah saudara tiri. Dan dari sanalah aku kehilangan kedua adikku. Mereka dijual.”

Nasa mendelik tajam. Kali ini emosinya yang terpancing. Nasa bertambah penasaran ingin mengetahui perjalanan hidupku. Dia memperbaiki posisi duduknya. Kami duduk di atas rerumputan. Kami terlihat serius hanyut dalam suasana.

Nasa memberikan sapu tangannya. Pertanda untuk mengelap air mataku yang mulai membanjiri pipi. 

“Aku sekarang tidak tahu keberadaan mereka setelah dapat perlakuan keji dari Ibu tiri kami. Dan, Ibu entah di mana sekarang?” tangisku pecah. Hingga semua teman-teman yang lain keluar dari basecamp-nya. Mereka melihat kami.

 “Sudahlah, Ir. Nanti kita akan cari sama-sama kedua adikmu dan Ibumu. Sekarang, kamu tidur sana,” Nasa menepuk bahuku. Lalu, aku bergerak ke kamarnya Sisi dan Zena. Berbaring. Aku menatap langit-langit terpal.

“Kenapa kamu menangis, Ir?” tanya Sisi dan Zena. Aku tersenyum getir.

“Aku hanya mendadak rindu kepada Ibu dan kedua adikku,” aku nyengir. Sebisa mungkin menyembunyikan kesedihanku.

Mereka cerita tentang kejadian seharian yang ditemuinya hingga tentang perjalanan hidupnya sampai ke dunianya saat ini. Mereka gadis yang supel. Tanpa kusadari, aku menceritakan nasib yang aku alami. Aku cerita panjang lebar seperti yang aku ceritakan pada Nasa. Cerita tentang kedua adikku, Bu Wenda hingga pengembaraanku mencari kedua adikku. Mereka mendengarkan dengan saksama. Mereka juga hampir meneteskan air matanya.

“Kalian kok jadi sedih?” tanyaku yang diam-diam kusembunyikan kesedihanku.

“Kamu hebat Ir, sebisa mungkin kami akan membantumu menemukan Ibu dan kedua adikmu itu,” tandas mereka sambil mengusap air matanya yang berhasil meluncur dari sudut matanya.

***

Inilah aku yang sekarang. Penampilan berbeda. Gaya anak punk. Memang, tidak pantas aku dengan gayaku yang sekarang. Aku ingin menjajal gaya mereka. Mungkin nanti, lama-kelamaan aku mulai nyaman.

“Wah, kamu keren, Ir!” komentar Sisi. Aku masih sedikit canggung dengan gayaku yang sekarang. Yah. Meskipun begitu, aku berusaha nyaman di depan mereka.

Kami bersembilan siap turun ke jalanan untuk mengamen. Sepatu ala rocker, kukenakan. Sedikit kaku. Aku tersenyum geli merasakan sepatu ini.

“Eh, kita istirahat dulu, ya,” kataku pada mereka. Cuaca panas menyentuh aspal. Kulit-kulit terbakar sengatnya. Maklum, matahari sedang berada tepat di atas kepala kita.

“Kalian lapar nggak? Beli makan yuk!” kata Gegi – punker berambut kribo. Jika sepintas melihatnya, terasa seperti melihat domba.

“Sini, aku yang beli!” pinta Zena.

Sudah dua bulan kulewati bersama mereka.

“Ir, cari ke mana ya, sampai hari ini adikmu belum ketemu,” kata Nasa.

“Aku juga ndak tahu. Mengapa Tuhan tega!”

“Tidak, Ir. Tuhan Maha baik. Mungkin sebentar lagi kamu akan dipertemukan,” kata Sisi.

“Amiin,” semua mengamini. Terkecuali Zena. Entahlah, ada apa dengannya. Semenjak pagi menjelang, raut mukanya terlihat buruk. Seperti kertas yang sudah diremas-remas hingga kumal.

Berbeda dengan nuansa hatiku. Aku senang dengan kehidupanku yang sekarang. Tanpa beban. Aku merasa nyaman dikelilingi teman-teman yang solid dan care hingga aku lupa akan tujuan pertamaku : mencari kedua adikku. Mungkin karena aku sudah lelah. Lelah dengan nasib burukku.

Kehidupanku, boleh dibilang berubah. Tepat. Sekali lagi. Berubah menjadi berandalan. Namun kebersamaan selalu ada. Sejenak lupa akan adik-adikku. Rasanya sudah frustasi mencari mereka. Entah di mana mereka. Sampai saat ini Tuhan belum mempertemukan aku dengan mereka. Mungkin tidak akan pernah ketemu kembali.

***

“Eh, kamu tuh anak baru, kamu jangan berani macam-macam sama Nasa!” katanya mengancam. Aku tidak mengerti apa maksudnya.

“Ada apa? Aku salah?” tanyaku polos.

 “Kamu tuh nggak usah belagak tidak tahu! Jelas-jelas kamu sudah merebut Nasa dariku!” katanya sambil mendorongku.

“Eh, ayo teman-teman kita sarapan!” komando dari Nasa, “Irma, ayo makan!” sambungnya. Aku dan Zena masih di dalam kamar. Sementara yang lain sudah berada di luar.

“Kamu dengar itu! Kamu dengar! Dia lebih perhatian ke kamu daripada aku,” jarinya menuding ke wajahku.

“Memangnya salah?” batinku.

Mungkin Zena cemburu. Dugaanku. Aku bersikap biasa saja di hadapan Nasa. Zena tidak terima apa pun yang aku lakukan jika berkaitan dengan Nasa.

“Heh! Kamu tidak pantas dengan Nasa! Aku menyukainya sebelum kamu ada di sini!” katanya saat akan bergabung dengan teman-teman yang lain. Itu haknya Zena. Aku tidak pernah merebut perhatian Nasa dari Zena. Sekali lagi, aku bersikap biasa saja terhadapnya. Layaknya kepada teman-teman yang lain pula. Sungguh! Mana aku mengerti. Sudahlah! – batinku. Aku menghempaskan pikiran yang menggerogoti ketenanganku. Aku mulai menyantap ayam goreng menu sarapan bersama teman-teman.

Lihat selengkapnya