Entah angin apa yang menampar wajahku. Tiba-tiba aku seperti dihantam rasa bersalah. Selama ini, aku jauh dari Tuhan. Tuhan yang selama ini aku puja dan puji. Tuhan yang selama ini menguatkanku. Tapi di mana aku sekarang? Tapi ke mana aku sekarang? Di manakah diriku yang dulu?
Betapa dingin dekapan Tuhan yang kurasakan sejak aku tak pernah lagi ke rumah-Nya. Betapa kabur penglihatan mata hatiku sejak cahaya-Nya semakin redup pada setiap sudut pengembaraanku. Betapa sunyi pendengaranku sejak aku tidak mendengar nama-Nya yang di kumandangkan dengan indahnya. Betapa hinanya diriku di hadapannya.
“Nasa, Tenji, Narda, Sisi, Zena, Gegi, Dera, dan Radit, aku…” aku ingin menangis. Berat menahan air mata yang siap meluncur.
“Kenapa, Ir?” tanya Zena secepatnya.
“Aku minta maaf kepada kalian jika aku ada salah. Selama aku bersama kalian, aku merasa senang. Aku merasa punya keluarga baru. Mungkin, selama ini aku banyak merepotkan kalian. Sudah hampir dua tahun aku bersama kalian. Kalian selalu membantu mencari Ibu dan kedua adikku. Selalu menyemangatiku. Meskipun mereka belum ditemukan, tapi aku tahu ketulusan hati kalian membantuku. Mungkin Tuhan belum menghendaki aku bertemu dengan mereka. Tapi kali ini aku nggak mau lagi merepotkan kalian. Aku ingin mencari mereka sendiri,”
“Ir, kami ikhlas membantumu. Kami nggak merasa direpotkan. Kita sudah seperti keluarga, kan? Katamu juga. Tapi kenapa kamu ingin pergi dari kami? Kami minta maaf jika kami ada salah,” kata Nasa.
“Tapi aku nggak ingin merepotkan kalian,”
“Siapa di sini yang merasa direpotkan dan keberatan? Ayo ngomong sama Irma!” tanya Nasa kepada anggota gengnya. Semua membisu. Tertunduk. Tanpa ada jawaban. Suasana hening tercipta. Haru.
“Kamu lihat sendiri, kan? Kami sama sekali tidak keberatan membantumu mencari Ibu dan kedua adikmu,” lanjutnya.
Aku tersenyum. Mereka pun mengangguk lalu tersenyum. Suasana sampai di puncak haru. Kami saling berpelukan.
“Terima kasih, ya,” kataku. Kami melanjutkan perjalanan. Menyeberangi jalanan yang macet. menyusup diantara mobil-mobil itu. Tampak segerombolan anak jalanan yang tengah mengamen. Ketika aku berbalik badan, aku mendengar suara Riki dari balik mobil. Sayangnya, aku sudah menyeberangi jalan itu. Karena penasaran, aku kembali menyeberang. Mirip orang yang tengah bingung, mondar-mandir di jalanan.
“Ir! Mau ke mana?” tanya Sisi.
“Sebentar!” kataku berlari meninggalkan mereka.
“Riki?” sapaku dari belakang sembari memegang pundaknya. Setelah melihatnya, ternyata bukan.
“Maaf!” mungkin aku yang sangat merindukannya. Oh Tuhanku…
Aku berbalik menuju ke arah teman-teman yang menungguku di seberang jalan.
“Maaf, tadi seperti suara Riki. Setelah kulihat, ternyata bukan,” kataku. Nasa mendesah pelan. Seakan mengerti perasaanku. Aku menangkap wajah teman-teman yang lain. Mereka turut bersimpati padaku. Kami melanjutkan perjalanan kami. Aku clingak-clinguk mencari masjid di daerah itu. Pandanganku menyapu sekeliling. Namun sejauh kami berjalan, belum kujumpai masjid atau pun musala.
“Kamu kenapa, Ir? Kok, clingak-clinguk?” tanya Tenji.
“Nggak papa.”
Setelah beberapa langkah kemudian, aku menemukan masjid besar nan megah di tengah ramainya kota. Subhanallah, indah sekali nama Allah terpampang di pucuk kuba masjid itu. Hatiku gemetar. Tidak sabar ingin segera bertamu ke rumah-Nya. Namun aku harus menyeberang. Aku menghentikan langkah. Tiba-tiba langkah semua teman-teman juga terhenti. Mereka seolah-olah memperhatikanku.
“Teman-teman, boleh aku ke seberang?”
“Mau ke mana, Ir?” kata Nasa.
“Tapi nggak boleh ketawa, ya. Aku rindu,”
“Kalau lucu ya pasti ketawa, rindu siapa?” samber Dera. Anggota punk yang paling kurus.
“Aku mau ke masjid,”
Mendadak ekspresi mereka berubah. Sebagian menundukkan kepala. Aku lihat arah kanan jalan. Mobil masih berlalu lalang memadati ramainya kota. Setelah lengang, aku menyeberang. Baru selangkah, tiba-tiba ada yang menyentuh bahuku dari belakang, “Aku ikut, Ir!” kata Nasa.
“Aku juga ikut,” kata Zena.
“Aku juga!” kata Gegi.
“Aku ingin ikut juga, Ir,” kata Radit dan lainnya hampir bersamaan.
“Aku sebenarnya malu dengan Tuhanku, Ir. Selama ini aku tidak pernah menyembah-Nya,” akui Tenji. Kukira diriku akan ditertawakan oleh mereka. Justru sebaliknya. Mereka ingin berbondong-bondong mengakui kesalahannya di hadapan Tuhan-Nya. Kami tersenyum.
“Kalian memang sahabat yang baik,” kataku haru. Jalanan lengang. Kami leluasa menyeberang jalan. Aku berada di barisan depan. Ketika sampai di tengah-tengah jalan, aku mendengar jeritan anak muda. Aku berlari ke sumber suara.
“Mau ke mana lagi, Ir?!” tanya Sisi setengah teriak.
“Sebentar!” jawabku sambil berlari..
Segerombolan anak kecil tengah berkumpul. Mereka pengamen. Mereka rupanya sedang bertengkar membagi hasil uang mereka. Berbagi hasil supaya tidak dimarahi bosnya. Jika uang setoran yang akan mereka setorkan kurang, maka mereka akan dipukuli. Jadi, diantara mereka berebut uang temannya untuk menggenapi uangnya yang kurang. Mungkin, bosnya mengawasi mereka dari jauh.
Tiba-tiba datang seorang anak membelakangiku yang baik hati ingin menengahi temannya yang sedang bertengkar. Dia ingin membagi hasil ngamennya pada temannya.
“Ini, aku dapat hasil lebih, kita bagi saja supaya hasilnya sama,”
“Kalian berhenti bertengkar. Ini cukup dibagi untuk kita, jika kurang kita ngamen lagi,” sambungnya.
Aku terharu mendengarnya. Hatinya mulia. Bijaksananya membuat mereka menjadi akur kembali. Ia tidak mengeluh saat dia lelah. Buktinya, dia bersedia mengamen kembali jika uang yang di bagikan kurang. Dia terlihat yang paling dewasa di antara teman-temannya.
“Kamu kurang berapa Bay?” tanyanya.