Kabut duka masih menyelimuti hatiku.
“Irma, yang sabar, ya. Kita masih ada untuk kamu dan adikmu,” kata Zena. Aku mengangguk.
Di pesantren Kyai Mustofa, kami belajar. Yang dulunya kami bocah urakan, sekarang menjadi lebih baik.
“Kamu cantik memakai jilbab itu,” entahlah. Itu pujian benar apa adanya atau hanya Sisi sekadar menghiburku.
Kutanggapi dengan senyum. Aku benar-benar setengah tidak percaya, aku bisa tinggal di pondok pesantren Kyai Haji Mustofa. Waktu itu dalam hati, aku berucap ingin tinggal di ponpesnya. Sekarang, itu benar-benar nyata. Doaku terkabul. Allah maha pendengar yang baik. Banyak yang menyantri di sini. Dari anak-anak hingga dewasa. Riki dan teman laki-laki di barak putra. Aku dan teman-teman perempuan di barak putri. Kami berbaur dengan anak-anak pesantren.
***
“Riki, kamu terlihat lebih tampan mengenakan baju koko dan sarung. Kamu sekarang sudah bertambah besar, usiamu berapa sekarang?” aku memuji dan menggoda Riki hingga ia tersipu malu.
“Usiaku berapa ya, Mbak?”
“Masak lupa dengan usia sendiri. Kamu sekarang sudah tiga belas tahun,” jawabku sambil mengingat-ingat.
“Berarti sudah tua dong,” candanya sambil cekikikan.
“Tapi masih tuaan Mbak, sekarang usia Mbak sudah, coba tebak berapa?” tanyaku menggoda Riki. Riki menggeleng. Pasang muka polos.
“Usia Mbak sekarang sudah hampir dua puluh tahun,” kataku menerawang ke atas langit cerah membiru.
Potongan percakapan kami di tengah taman depan pesantren. Kami melepas rindu antara kakak dan adik. Bercanda. Bergurau. Dan ingin melupakan masa lalu yang tak ingin diulang. Riki pun lama-lama bisa berbaur dengan teman-teman barunya.
Dari sini aku mengenal arti hijab. Kami di kelilingi orang-orang yang dekat dengan-Nya. Setiap sore aku ikut mengaji bersama teman-teman perempuan. Usai mengaji, Kyai memberikan ceramah. Beliau memberikan pemahaman tentang betapa indahnya Islam.
Hari-hari kulalui dengan semangat kembali. Perlahan, aku belajar mengikhlaskan semua yang telah diambil oleh-Nya. Azan magrib dikumandangkan. Giliran Nasa yang diberi kesempatan untuk melafalkan azan di pondok pesantren kami. Suaranya merdu sekali. Kami tidak menyangka, Nasa bisa sebegitu merdunya melafalkan azan.
“Itu suara Nasa, Zen?” tanya Sisi.
“Iya,”
Kami terheran.
Gus Minto, anak Kyai Mustofa memimpin para jemaah. Suara Gus Minto tak kalah merdunya dengan Kyai Mustofa. Hanya saja Gus Minto punya suara khas. Sedikit serak. Itu menambah nilai estetika tersendiri ketika melafalkan bacaan salat. Hingga gerakan demi gerakan salat kami lalui tanpa terasa. Salat mahrib berjalan khusyuk. Rutinitas selanjutnya yaitu mengaji. Setelah salat magrib usai, kami mengaji. Bacaan mengajiku masih lancar. Tajwidnya masih bisa kuingat dengan baik. Hingga aku diminta untuk mengajar ngaji anak-anak oleh Kyai Minto.
“Mbak, ada surat izin,”
“Iya, sini suratnya,” kataku sambil membuka jilid iqra’.
Setiap kali ada yang berhalangan mengaji, harus ada surat izinnya. Kuletakkan saja surat itu di meja dan kemudian mengajar kembali. Ada sekitar dua puluh anak yang aku ajar. Aku menyimak mereka mengaji dan membimbing mereka. Setiap dua puluh anak di tangani oleh mentor yang berbeda. Mereka masih jilid iqra’.
sejam berlalu. Saatnya merekap absen anak-anak. Siapa anak yang tidak hadir pada sore ini. Kuambil surat izin yang diberikan Nazwa. Tertera nama Faira Aini, sakit demam. Aku ingin menengoknya.
“Ir, ayo masak untuk makan malam,” suara Merli yang tiba-tiba menusuk ke gendang telingaku.
“Iya,” jawabku. Malam ini, jadwalku memasak dengan Merli. Sehingga aku tak bisa menengok Faira malam ini.
***
“Si, Zena akhir-akhir ini kenapa? Kok sering melamun?”
“Aku juga nggak tahu, Ir. Dia nggak pernah cerita,”