Ketika Tidak Berjalan Dengan Semestinya

tirmlk
Chapter #3

Hari baru Lucy

Kembali mendaftar ke taman kanak-kanak yang baru, pastinya mendorong Lucy untuk beradaptasi kembali dengan anak-anak yang berbeda karakter dari playgroup dan rumah lamanya. Ibu dan ayah yakin, bahwa putri kecilnya adalah gadis kecil yang tangguh dan memiliki jiwa semangat yang kuat. Memasuki hari pertama di taman kanak-kanak Matahari di Jakarta, Lucy dapat menjadi dirinya sendiri. Wajah gadis periang dan selalu tertawa serta gadis yang mudah bergaul tanpa memikirkan perkataan anak-anak lain terhadap dirinya, dia mencuri banyak perhatian orang-orang disana. Semua guru sangat senang dengan kepribadian Lucy yang memiliki interpersonal yang sangat baik, dan memudahkannya mendapatkan banyak teman di hari pertamanya itu.

Hari terus berjalan, berganti bulan dan tahun terus berganti. Hingga Lucy memasuki usia ke 6 dan siap untuk memasuki sekolah dasar. Disana langkahnya siap untuk menapaki kehidupan baru yang akan segera dimulai, selain dengan naiknya tingkat kesulitan belajar dan permasalahan sosial yang harus dihadapi sendiri semakin membuatnya menjadi gadis kecil yang mandiri. Ia tak lagi ditemani ibunya untuk berjalan atau pulang dari sekolah, ia juga tak membeda-bedakan harus berteman dengan siapa di lingkungan sekolah. Anak laki-laki dan perempuan senang bermain dengannya, ia juga berani membela teman-temannya yang di bully oleh teman lain maupun kakak kelasnya dan tak jarang ia mendapat teguran atau pantauan dari beberapa guru karena sikapnya yang terlalu berani. Bayangkan saja, ketika seorang kakak kelas mendorong teman perempuannya, ia membela dengan mendorong kembali anak laki-laki itu dan sempat terjadi perkelahian diantara mereka.

Lucy semakin berani melawan tindak kekerasan dan bully yang terjadi di lingkungan sekolahnya tanpa harus mengenal baik atau tidak dari si korban tindak pelaku bully tersebut. Ketika Lucy memasuki kelas 3 SD hal ini justru menjadi perhatian khusus kedua orang tua Lucy dan para guru yang mendidiknya dikelas. Hingga pada suatu hari ketika Lucy memukul hidung anak laki-laki lain dan membuatnya mengalami pendarahan, sekolah mengharuskan kedua orang tua Lucy datang ke sekolah untuk menjemput anak mereka.

“Ini sudah berulang kali terjadi dan sudah tak terhitung berapa kali kami memanggil bapak dan ibu mengenai kasus anak bapak dan ibu” ucap seorang kepala sekolah di dalam ruangannya ditemani wali kelas Lucy. Ayah dan ibu pada saat itu hanya dapat terdiam dan tidak tahu harus menjelaskan apa.

“Kami mohon maaf jika perilaku anak kami masih terus seperti ini, kami tidak pernah mengajarkan untuk melakukan hal yang tidak baik seperti yang ia lakukan sekarang” ucap ibu untuk pembelaan. Ibu Ratna, selaku kepala sekolah Lucy hanya dapat menghela nafas dan menjelaskan hasil rapat yang sudah ia laksanakan dengan beberapa guru di sekolahnya. Ia menjelaskan, bahwa Lucy tak dapat melanjutkan sekolahnya di SD Global Indonesia lagi, kesepakatan guru-guru lainnya juga sudah bulat untuk memberhentikan Lucy dari sekolah atas tindakannya yang dianggap sudah kelewat batas.

Membela teman lainnya dengan membalas dengan tindak kekerasan dan sudah mengakibatkan banyak korban luka darinya. Lalu ayah dan ibu membawa Lucy pulang kerumah, dan tak mengucapkan sepatah katapun kepadanya diperjalanan pulang. Tak nampak sedikitpun rasa bersalah di raut wajah gadis kecil itu dan justru membuat ayah kesal. Ayah hanya dapat menahan amarahnya dan tak mau berbicara kepada anaknya sendiri, ayah menyerahkan semuanya kepada ibu untuk mengajaknya berbicara dari hati ke hati ketika sesampainya mereka di rumah.

Lalu ibu mengikuti Lucy dari belakang berjalan memasuki kamarnya, mereka duduk bersebelahan di tempat tidur seperti perbincangan mereka diawal mereka pindah kerumah itu.

“Ada yang mau kamu ceritakan ke ibu gak?” tanya ibu kepada Lucy memulai perbincangan.

Lucy terdiam seperti berpikir apa yang sebenarnya ia lakukan dan menjawab “Aku gak mungkin diam liat Renatta temanku di dorong sama anak cowo, bu” jawab Lucy dengan nada yang sedikit tinggi dan membuat ibu sedikit terkejut dan lalu bertanya “Jadi kamu melawan anak cowok itu karena membela temanmu?” Lucy hanya mengangguk dan lalu menangis.

Ibu memeluk Lucy yang pada saat itu menangis dan tak mengerti dimana kesalahannya, ibu yang pada saat itu memeluknya dapat menyimpulkan kalau anaknya ini membela temannya sendiri yang kemudian terjadi perkelahian di antara keduanya. Mungkin Lucy berpikir dengan membela temannya itu adalah tindakan yang baik, namun ia tak menyadari bahwa tindakannya itu justru melukai orang lain.

“Aku ingin menjadi ikan yang seperti di cerita ayah dan memiliki semangat untuk membawa perubahan” ucap Lucy dalam pelukan ibu.

Ibu tersenyum dan menjelaskan kepada Lucy dalam peluknya “Kamu cukup menjadi ikan yang membawa perubahan bagi ayah dan ibu, jika kamu sudah merasa cukup melindungi ayah dan ibu, kamu lindungi yang lain juga ya” lalu ibu melepas pelukan dan menghapus air mata putri kecilnya itu.

Menyapu air mata yang terus mengalir dari matanya dengan tangan halus ibu dan ibu tersenyum sambil berkata “Kekerasan gak boleh dilawan dengan kekerasan”

Lucy lalu bertanya “Lalu dilawan dengan apa, bu?”

Dengan nada yang sangat lembut sambil memegang kepala putrinya itu ibu berkata “Dengan otak, dengan kepintaran yang kita miliki, kamu bisa melawan. Karena api gak boleh dilawan dengan api. Untuk memadamkan api kita pasti butuh air dan untuk menjadi air kita harus memiliki pikiran yang jernih dan tulus tanpa harus melukai orang tersebut dengan menjadi api juga. Kamu bisa aja kok menasehatinya dengan baik bahwa tindakannya salah, kalau api menyerang kamu dan menjatuhkanmu, bangkit lagi dan menjadi air untuk memadamkannya”

Kalimat ibu mungkin tak mudah dimengerti oleh anaknya untuk usianya saat itu, namun cepat atau lambat ia akan mengerti bagaimana menjadi air untuk memadamkan api. Setelah melewati masa sekolah dasarnya di SD Global Indonesia, orang tua Lucy memutuskan untuk menyekolahkan anaknya di rumah dengan mendatangkan guru-guru yang sudah berpengalaman dibidangnya. Memberikan putri mereka Pendidikan yang sesuai dengan kurikulum pendidikan pada saat itu dan memberikan waktu lebih banyak untuk putri mereka berekspresi lebih dalam dengan minat dan bakat yang ia miliki. Kehidupan sosial yang ia miliki selain di rumah juga terjalin di klub kelas kurus yang ia jalani seperti ballet, renang, dan kelas bahasa Inggris. Hari terus berjalan dan Lucy tumbuh menjadi anak yang dapat berpikir jernih dalam menyelesaikan masalah dihadapannya tanpa harus menjadi api, sepertinya ia tersadar betul bagaimana menjadi air ketika ia memiliki pemikiran yang jernih dan otak cerdas untuk menghadapi suatu masalah.

Tahun berganti tahun, dan tak terasa gadis kecil periang itu kini sudah beranjak remaja. Ia telah melewati masa-masa SMP dan ketika di usianya yang menginjak angka 15 ia memberanikan diri untuk berbicara dengan kedua orang tuanya untuk menyekolahkannya kembali di sekolah formal.

“Aku ingin bisa bersosialisasi dengan anak-anak sebaya ku di SMA yah, ibu” ucapkan ketika makan malam bersama keluarganya.

Ayah dan ibu pada saat itu belum dapat memberikan jawaban mereka dan membicarakan hal ini secara pribadi berdua untuk mengizinkan putrinya kembali ke sekolah formal. Mereka berdiskusi setelah makan malam berakhir dan membicarakan rencana kedepan yang terbaik untuk putri mereka didalam kamar. “Sepertinya kita sekolahkan saja Lucy di SMA formal, yah” ucap ibu yang sedang merapikan rambutnya di meja rias.

Lihat selengkapnya