Selang beberapa menit menunggu dan menyaksikan Lucy menangis disana, Adam pun memberanikan diri untuk menghampirinya, merasa tak tega dan rela melihat Lucy yang menangis sendiri disana. Berjalan dengan santai seakan baru melihatnya dan bersikap seakan baik-baik saja, Adam pun berdiri tepat di hadapan Lucy. Lucy yang tertunduk, lalu bangkit dan menatap Adam yang berdiri dihadapannya.
“Adam?” sapa Lucy.
“Kamu kenapa, Cy?” tanya Adam khawatir. Adam lalu membungkukan badannya, dan duduk disamping Lucy dibawah pohon, Lucy tiba-tiba salah tingkah dan menghapus air matanya yang telah membanjiri pipinya.
“Hey? Kamu ngapain disini?” tanya Adam. Lucy menengok ke arah Adam mencoba tersenyum dan menutupi keadaan yang sebenarnya. Adam lalu mengangkat tangannya untuk menghapus air mata yang membasahi pipi Lucy dengan halus.
Lucy berbalik bertanya “Kamu dari mana? Kok tiba-tiba bisa di sini?”
Adam tiba-tiba salah tingkah dan mencoba menjawab pertanyaan Lucy “Hmm gak sengaja lewat sini, terus liat kamu lagi duduk dibawah pohon aku pikir yaudah aku coba samperin”
Lucy melihat kearah sekitar dan bertanya “Dimana kamu parkir motor?”
Adam lalu hanya tersenyum salah tingkah, mencoba menutupi kebohongan dengan memalingkan pandangannya dari tatapan Lucy. Lucy kembali bertanya “Kamu ngikutin aku ya dari sekolah?” Adam terdiam, dan kemudian menjelaskan alasannya mengapa mengikuti Lucy dari sekolah hingga dirumah, dan berbalik bertanya apa yang terjadi ketika Adam melihat dirinya berlari dari rumah sangat kencang ke arah taman. Lucy terdiam, lalu kembali menangis dan memeluk Adam dengan sangat erat.
“Menangislah, kalau dengan menangis dapat melepaskanmu dari beban pikiran dalam hidupmu” ucapnya ketika memberikan pelukan kepada Lucy. Lucy semakin menangis, tak melepaskan sedetikpun pelukannya kepada Adam. Adam memberikannya sandaran untuk melepas tangisan Lucy. Ketika sudah merasa cukup untuk meluapkan segala emosinya, Lucy mencoba untuk bercerita kepada Adam atas apa yang menimpanya pada hari itu.
“Aku sedih, banyak hal mengecewakan hari ini” ucap Lucy. Adam lalu bertanya “Apa itu?”
“Pagi ini, Amira merusak waktu quiz fisika ku yang tinggal 2 soal lagi dan mengajakku cabut sekolah. Terus ketika Amira merusak waktu quiz ku, orang-orang malah menanyakan Amira kemana, termasuk kamu juga. Makanya aku diemin kamu dari kantin itu sampai aku pulang”
“Oh kamu lagi ba… maaf, aku gak tau kalau kamu lagi gak mood” sambung Adam merespon cerita Lucy.
Lucy menatap Adam dengan diam. “Lalu yang buat kamu nangis dari rumah itu karena aku juga?” tanya Adam kembali.
Lucy lalu menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di rumah ketika ia baru sampai. Seperti biasa, ibu selalu menyambutnya ketika memasuki rumah, namun ibu tak nampak seperti hari-hari biasanya. Ia menghampiri Lucy dengan tatapan kosong, memeluknya dan membisikan kalimat “Kita harus segera pergi dari rumah ini”
Lucy tak paham maksud dari kalimat ucapan ibunya yang kemudian memberikannya map berisikan surat gugatan dari sang ayah kepada ibu untuk bercerai secepatnya. Bagi anak usia 15 tahun, tentu hal itu sangatlah menyakitkan ditambah ia juga sudah jarang bertemu dengan ayahnya. Seakan hari itu adalah hari paling buruk dalam sejarah hidupnya, ia sangat tak dapat menerimanya dan terasa ingin lari sejauh mungkin meninggalkan suasana yang membuatnya sungguh kecewa. Lucy pun meninggalkan ibu di rumah sendiri, dan mencari tempat sunyi yang damai dan memberikan ketenangan baginya. Ia berlari sangat kencang dari ketika keluar dari rumahnya, namun tak menyadari bahwa Adam yang mengikutinya dari sekolah lalu tersadar karena mendengar adanya suara pintu yang dibanting dan suara lari yang sangat kencang.
Mendengar cerita Lucy, Adam merasa sangat sedih. Karena tak mungkin juga anak laki-laki sepertinya berani membayangkan kedua orang tuanya berpisah, ketika yang ia miliki adalah keluarga yang sangat harmonis dan selalu mendukung apa yang ingin ia lakukan untuk masa depannya. Adam memeluk Lucy kembali dengan erat, membiarkan bajunya basah karena air mata yang ditumpahkan Lucy untuk meluapkan emosinya. Membiarkan Lucy tenang untuk beberapa saat.
“Kamu yang kuat ya, Cy. Ayah ibu kamu sangat sayang sama kamu. Biarkan masalah ini menjadi urusan mereka berdua, kamu berdoa kepada tuhan agar kamu diberi kekuatan untuk menjalankan hidup kamu dengan semestinya” saran Adam kepada Lucy.
Entah apa yang Lucy tangkap dari saran yang diberikan Adam, justru kalimat itu memecahkan pikiran Lucy dan membuatnya menangis semakin menjadi-jadi. Adam memeluk, memberikan pelukan terbaik dan menjadi tempat untuknya meluapkan segala emosi kesedihan dan kekesalan. Adam memberikan Lucy waktu untuk menenangkan diri, hingga cukup baginya meluapkan segala amarahnya, dan mengantarnya kembali ke rumah. Diperjalanan, Adam memegang erat tangan Lucy. Lucy pun demikian. Merasa baik, dengan adanya Adam di saat ia membutuhkan seseorang untuk mendengarkan ceritanya. Sesampainya mereka di depan rumah, Adam meminta kepada Lucy untuk melupakan tangisnya, seolah tak terjadi apa-apa. Diharapkan hal ini dapat memberikan ketenangan baik untuk pikirannya Lucy. Adam memeluk, Lucy kembali membendungkan air mata yang hendak jatuh ke pipinya, namun ia menahannya. Lucy mengucapkan terima kasih, berkata dari lubuk hatinya untuk Adam.
“Dam, terima kasih ya.. kamu sudah ada disaat waktu yang tepat. Mendengarkan keluh kesahku, tanpa men judge perkata pun” menatap mata Adam sangat dalam.
Dan Adam pun membalas “Sama-sama ya. Senang bisa berada di waktu yang tepat ketika kamu membutuhkan ku. Jangan sungkan ya, Cy” Adam kembali memeluk Lucy memberikan ketenangan. Melepas pelukan itu, dan meminta Lucy memasuki rumah menemani ibu di dalam.
Adam meninggalkan rumah Lucy dengan perasaan kacau, ia merasa begitu berat kejadian yang menimpa perempuan yang ia sayangi pada saat itu. Berjanji, berkata kepada dirinya sendiri “Gue akan jagain lo, Cy. Akan ada disaat senang maupun sulit buat lo. Semoga lo sadar Cy”
Hari Pun berganti, pagi itu Lucy sungguh tak tenang dalam tidur semalam. Ia terdiam, terbengung memikirkan nasib kedua orang tua dan dirinya mendatang, merasa khawatir akan apa yang datang selanjutnya. Perceraian kedua orang tua yang tak pernah sama sekali terbesit dibenaknya. Kedua orang tua yang di matanya terasa baik-baik saja, justru menyimpan kisah kelam dibalik semua senyuman dan tawa itu. Ia memutuskan untuk izin datang ke sekolah, mengunci diri di dalam tenang membutuhkan jarak dari banyak orang. Menenangkan diri dengan menggambar, suatu hal yang ia sukai sejak kecil. Meluapkan amarahnya kepada sebuah sketchbook. Menggambarkan perasaan dirinya pada saat itu, ia menggambarkan seorang perempuan dengan wajah yang terlihat sedih dengan air mata yang membendung dimana, terlukis waktu yang diceritakan olehnya terjadi pada malam hari dengan awan gelap penuh bintang, bulan yang terang, namun ada matahari yang ikut menyinari kehidupan dalam gambar itu. Berharap, seperti kata R.A Kartini dalam kutipannya “Habis gelap, terbitlah terang” Lucy berharap akan datang kebahagiaan yang akan menyinari kembali kehidupannya, seperti harapannya pada gambar yang ia buat. Matahari yang menyinari malam yang gelap. Menyinari sosok gadis dalam gambar yang sedang sedih. Lalu ibu mengetuk pintu, mengagetkannya dalam ketenangan.
“Tok.. Tok.. Tok..”
“Kamu gak sekolah, nak?” sapa ibu dari luar kamar.
“Enggak bu, aku butuh waktu untuk sendiri” jawab Lucy dengan nada lemas.
Lucy tahu, ibu pasti memikirkan perasaannya dari luar sana. Perasaan seorang anak yang begitu terpukul dengan berita yang disampaikan. Ibu pun mengikuti keinginannya, membiarkan Lucy di kamar seorang diri. Ibu selalu membuatkan sarapan untuknya seperti oatmeal, roti isi selai coklat, susu vanilla, dan buah jeruk. Ibu membawakan makanan itu ke kamarnya, kembali mengetuk pintu agar dibukakan.
“Tok.. Tok.. Tok..Sarapan dulu, Lucy. Ibu buat untuk kamu” ucap ibu.