Setibanya di rumah, ia masih tak mampu menahan tangis. Dan ketika memasuki rumah, ibu melihatnya meneteskan air mata dan lalu memeluknya. Menyuruhnya masuk ke kamar, beristirahat dan menenangkan pikiran. Ibu adalah orang yang mengerti perasaannya pada saat itu, ia membiarkan Lucy menenangkan pikirannya ketimbang langsung menanyakan apa yang terjadi. Ketika adzan Isya berkumandang, Adam tiba didepan rumah Lucy dan langsung mengetuk pintu memanggil namanya.
“Lucy.. Lucy.. Aku mau meluruskan semuanya, kasih aku kesempatan Lucy!!” teriak Adam dari depan pintu rumah yang kemudian dibuka oleh ibu.
“Lucy sedang sedih, beri dia waktu untuk menenangkan pikirannya ya. Kamu bisa pulang dulu, terima kasih Adam. Selamat sore” ucap ibu lalu menutup kembali pintu rumah.
Lucy mendengar dari dalam kamar semakin membanjiri pipinya dengan derai mata, tak dapat menahan tangis dan terus meluapkan semua emosinya. Adam lalu meninggalkan rumah Lucy dan masih berteriak dari luar “Beri gue waktu untuk jelasin semuanya, Cy” merasa tak mendapat respon baik dari permintaan maafnya, ia lalu pergi meninggalkan rumah Lucy dengan motornya.
Lagi-lagi, Lucy mengunci diri. Ia akan terus melakukan hal ini jika merasa sangat sakit hati dalam situasi yang menamparnya begitu kencang. Ia melepas gelang pemberian Adam dan melemparnya ke dinding dengan keras. Ia kembali menangis dan membiarkan emosinya meluap sepanjang malam dan tak lama, ia tertidur dengan air mata yang juga terhenti karena terlelap dalam mimpi indahnya. Menggantikan kejadian buruk, dengan bunga tidurnya yang indah.
Hari berganti dengan cepat, matahari menyinari dunia dan cahaya menembus dari balik gorden jendela kamar nya. Ia teringat rasa sakit yang ia rasakan tahun lalu, kemudian mencari sketchbook miliknya dan membuka satu persatu halaman. Disana, ia meluapkan segala amarah dan perasaannya dalam sebuah gambar dan sketsa sesuai dengan isi perasaan hatinya. Ia lalu kembali menggambar untuk meluapkan perasaannya pada saat itu, menggambar taman bermain penuh dengan mainan seperti perosotan, jungkat-jungkit, dan permainan lainnya. Namun ia menambahkan elemen api yang seperti membakar taman bermain itu, terlukis sesosok anak laki-laki yang juga ikut terbakar dengan ekspresi tersenyum yang penuh misteri. Ia menuangkan perasaannya, membakar masa kecilnya yang indah dan Adam yang merupakan kedua hal pengalaman buruk dalam hidupnya.
“Tok.. tok.. tok.. Kamu sudah bangun, Cy?” ibu mengetuk dari luar kamar.
“Udah bu” ucap Lucy lalu membuka pintu dan membiarkan ibu masuk ke dalam kamar.
Lucy menatap ibu dengan wajah bantalnya, mengucapkan kalimat yang membuat ibu turut prihatin dengan menyimpulkan masalah yang anaknya hadapi “Aku mau kembali lagi homeschooling, bu?”
Ibu terdiam, tersenyum, namun hatinya merasa ada sesuatu yang janggal. Ibu lalu memberikan putrinya pelukan hangat dan menenangkan hatinya.
“Anak ibu sudah besar, tahun ini sudah mau 16 tahun” ucap ibu dan Lucy terkejut ketika mengingat usianya yang akan bertambah bulan Oktober depan, namun ia tak berharap akan ada suatu hal atau kado menarik untuknya. Ketika usia baru tak lagi menarik perhatiannya, ia justru mendapatkan pelajaran yang sangat berarti dibandingkan sebuah hadiah.
Ibu lalu menelpon ayah untuk kembali mendaftarkan Lucy ke homeschooling sebelumnya, dan ibu membantu mengurusi perpindahan putrinya dari SMA Nusa Global yang memberikannya pengalaman hidup selama setahun terakhir. Lucy mencari gelang yang ia lempar pada malam kemarin, saking kesalnya ia melempar gelang itu dan menghantam ke dinding dengan sangat keras. Ketika ia menemukan gelang itu, untungnya tidak ada masalah apa-apa dari fisiknya. Ia lalu meletakkan kembali gelang tersebut kedalam kotak. Gelang pemberian Adam.
Hari berganti hari, Adam dan Amira terus menelfon rumah Lucy untuk menyampaikan maaf mereka terhadap kejadian itu. Ibu selalu mengangkat telefon, menjelaskan untuk tidak lagi menghubungi dan mengganggu putrinya lagi. Dan bunyi telefon terus berdering meski ibu sudah menjelaskan berkali-kali kepada mereka. Bell telepon selalu membuat Lucy takut akan panggilan masuk dari kedua orang yang membuatnya sakit hati itu.
Pada hari itu, ibu duduk dimeja makan menemani Lucy. Menanyakan pengalaman dan pelajaran apa yang sudah ia dapat disekolah “Gimana kemarin sekolah di Nusa Global?” tanya ibu.
“Gak sebaik yang aku kira” jawab Lucy dan menundukan wajahnya dari percakapan dengan ibu.
“Pelajaran dan pengalaman hidup apa yang bisa kamu ambil dari sana?” tanya ibu lagi, tersenyum menunggu jawaban dari putrinya.
Lucy terdiam sejenak, terlihat memikirkan kalimat yang pas untuk menjawab pertanyaan ibu serta mewakili isi hatinya “Pelajaran tentang konsisten, tepat waktu, saling percaya dan menjaga kepercayaan itu sendiri, bu” jawab Lucy.
Ibu tersenyum mendengar jawaban Lucy dan kembali bertanya “Pengalaman hidupnya bagaimana?”
“Pengalamannya? Nothing good to tell” jawab Lucy singkat. Ibu tak merespon dengan sepatah kata pun, ia tersenyum. Namun dapat menyimpulkan alasan mengapa Lucy ingin pindah dari SMA formal dan kembali melanjutkan homeschooling nya.
Lucy mengisi sisa waktu liburnya dengan terus menggambar dan sampai membeli sketchbook baru untuk menuangkan isi perasaannya yang berbeda setiap hari. Ia semakin menekuni hobi menggambarnya itu, dan belajar menggunakan kanvas dan kuas untuk meningkatkan skill nya secara otodidak dan menyaksikan tutorial via youtube. Disela-selanya melukis, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu dan bertamu di siang hari.
Ibu meminta tolong Lucy untuk membuka pintu, ia menghentikan melukis dan meletakan kuas disamping palette. Berjalan menuju ruang depan untuk membuka pintu, dan pandangannya terpaku pada kedatangan Amira dan Adam kerumahnya. Secara sengaja dan reflex ia menutup kembali pintu rumahnya, karena sudah tak ada lagi rasa dan ingin menyudahi hubungan mereka.
“Tok.. Tok.. Tok.. Cy, tolong lah kasih kami waktu untuk jelasin ini. Kemarin semua diluar kontrol” ucap Adam dari luar pintu.