Lucy merasa perasaannya janggal, ia menolak pikiran-pikiran negatif yang menghampirinya tentang Adam. Setibanya di kamar, ia terdiam. Mengingat semua perkataan Adam yang sempat membuatnya terdiam dan berpikir berkali-kali untuk melanjutkan hubungan ini kedepannya. Lucy merasa dirinya naif, dia menyukai Adam karena perlakuannya yang sangat baik dan menurutnya penuh perhatian serta kejutan-kejutan dan moment yang sudah dilewatinya bersama Adam terasa sungguh manis dan sulit untuk dilupa. Namun disisi lain, Lucy tidak merasa nyaman akan perlakuan Adam kepada dirinya. Lucy tidak merasa menjadi dirinya sendiri, dia merasa hidup untuk membahagiakan orang lain. Lucy merasa sakit hati dengan perkataan Adam yang meremehkan kemampuan menggambarnya, kemudian ia mengunci kamar dan mengambil sketch book nya, dan memperhatikan halaman per halaman dari gambar yang ia buat.
“Semua gambarku gak ada yang jelek kok” gumamnya dalam hati.
Ia terus memperhatikan perhalaman, hingga pandangannya terhenti pada halaman buku yang ia gambar pada masa suramnya kemarin. Gambar anak laki-laki yang berada di taman bermain dan membakar seluruh objek yang ada disana. Ia mengucap dengan pelan “Adam” menyebut nama Adam ketika melihat gambar itu, dan lalu menutup sketchbook miliknya.
Hari berganti hari, hubungan Adam dan Lucy masih baik-baik saja. Mereka mengesampingkan ego masing-masing untuk menatap hari lebih baik. Namun memang setiap kali mereka bertemu, rasanya seperti aneh. Lucy merasakan seperti bertemu dengan orang lain, Adam yang kini bersamanya tidak seperti Adam yang dahulu menemani dan selalu baik kepadanya, entahlah.
“Apa mungkin ini memang sifat asli adam?” gumamnya dalam hati.
Pada hari itu, tepat sehari sebelum turnamen basket dan seminar berlangsung. Mereka mengatur waktu untuk bertemu dan saling mendukung satu sama lain. Di Sebuah kafe di Kawasan Menteng, mereka menikmati secangkir kopi panas disore hari.
“Kamu beneran gak bisa nemenin aku di turnamen? Support aku?” tanya Adam.
“Maaf sayang, aku gak bisa. Aku sungguh ingin mendatangi seminar ini” jawab Lucy.
Adam lalu membalas dengan wajah yang seperti tidak memperdulikan jawaban Lucy dan menjawab singkat “Iya” dengan nada yang sedikit mengacuhkannya.
Lalu tiba saatnya turnamen basket dan seminar ilustrasi yang diadakan di lokasi yang berbeda. Adam pada saat itu sangat antusias dan semangatnya membara mengikuti turnamen itu. Namun ia seketika tersadar ketidak beradaan Lucy disalah satu kursi penonton yang turut mendukungnya, membuat ia kesal dan bermain dengan penuh emosi dan amarah. Di lokasi berbeda, Lucy sangat tenang dan mendoakan Adam dari kejauhan untuk kelancaran turnamen yang akan dilaksanakan, ia menyaksikan seminar dengan penuh antusias dan mencatat setiap sesi penting baginya untuk menambah ilmunya dalam menggambar. Ia juga aktif dalam mengajukan pertanyaan pada sesi tanya jawab sebelumnya praktek membuat ilustrasi dimulai.
Adam di lokasi berbeda, bermain dengan emosi yang membara. Ia sangat marah, Lucy tidak ada disaat ia membutuhkannya, dan ia mengumpat kalimat-kalimat kotor untuk Lucy ketika ia berada di masa-masa keterpurukannya Lucy. Ia bermain sangat tidak suportif dan dikeluarkan dari tim basket oleh pelatihnya sendiri, karena dinilai bermain tidak sesuai aturan dan khawatirnya mencelakakan total skor yang akan didapat oleh tim mereka.
Baik Lucy maupun Adam, mereka memiliki kapasitas diri yang berbeda dengan minat dan bakat yang berbeda pula. Seandainya jika Adam dapat berpikir lebih dewasa, ia mampu mengimbangi emosinya dan mendorong semangatnya dengan positive energy untuk memenangkan turnamen ini. Namun pada saat tanding itu, sangat disayangkan seorang anggota terkena cedera dan tidak ada pilihan selain memerintahkan Adam untuk kembali bermain pada turnamen itu. Dan lagi-lagi, kekesalannya tidak dapat terkontrol, ia bentrok dengan pemain lain dan sempat beradu mulut. Emosinya sungguh tak terkontrol, ia tak dapat berperan secara sportif dalam pertandingan, sungguh kacau. Tim basket SMA Nusa Global Kehilangan banyak poin, mereka tinggal jauh dari lawannya yakni dari SMA Tunas Citra dan akhir final tim mereka gagal untuk masuk ke tahap nasional dengan total skor 30-39.
Di lain sisi, Lucy mengikuti praktik ilustrasi dengan sangat bijak dan penuh antusias. Ia membuat ilustrasi wajah seorang wanita dikelilingi langit galaxy bertabur bintang dan 9 planet lainnya.
“Ilustrasi kamu bagus. Apa judulnya?” tanya seorang pembicara dalam seminar yang melihat hasil ilustrasinya itu.
“Bintang pagi” ucap Lucy dengan senyum ceria nan lebar ia menunjukan hasil karyanya itu kepada beberapa pembicara lainnya. Setelah melihat hasil karyanya, beberapa dari mereka berkumpul dan membicarakan sesuatu, terlihat dari mata mereka yang sesekali melirik ke arah Lucy. Salah seorang pembicara lainnya terlihat berjalan dengan pelan dan mendekatinya, lalu mengajak Lucy berbincang sebentar di meja praktiknya.
“Halo, selamat siang?” sapa kepada Lucy.
Lucy kemudian menghentikan gerakan gambarnya dan menjawab “Hi, selamat siang?”
“Nama saya Wibowo, saya seorang kurator. Saya mengambil peran dalam beberapa project untuk beberapa buku dan branding perusahaan. Kamu suka dunia seni ilustrasi atau seni rupa?” tanyanya lagi kepada Lucy.
“Iya, saya suka dengan menggambar” jawab Lucy singkat, dengan senyum dan mata yang berbinar mendengar pujian yang dilemparkan untuknya.
“Apa alasannya kalau saya boleh tahu?” tanyanya lagi kepada Lucy.
“Karena saya berpikir, dengan berimajinasi dan menuangkan ide tersebut pada sebuah objek baik itu sketsa, kanvas atau kertas karton dapat menghilangkan penat dan meregangkan beratnya tanggung jawab dalam hidup saya. Saya bisa meluapkan ekspresi dan emosi jiwa sama kedalam sebuah lukisan atau gambar. Seperti itu pak, maaf kalau boleh tahu kenapa ya?” Tanya lucy ketika
“Iya, memang sudah seharusnya. Ehm… kamu pernah mengikuti lomba illustrator sebelumnya?” tanya pak Wibowo dengan nada santai.