Kantin sekolah tampak ramai dengan para murid yang mulai kelaparan. Begitu pun Nurman. Selama hampir dua jam terkurung di ruang OSIS, akhirnya dia bisa merasakan udara sejuk di luar.
Nurman perlahan meneguk minuman yang baru saja dipesannya. Dinginnya es teh manis, membuat dia segar kembali.
“Gimana, Bro? Lu masih hidup, kan?” tanya Samsuri yang secara mendadak berada di samping Nurman. Samsuri datang tiba-tiba banget, persis kayak tahu bulat yang digoreng dadakan lima ratusan. Gurih-gurih, enyooy!
“Lu kira gue tadi masuk ruangan operasi apa?” Nurman menanggapi malas-malasan. Sebenarnya dia sedang tidak mood mengobrol. Apa lagi dengan alien yang sedang liburan ke bumi macam Samsuri. Kedatangan Samsuri bukannya menghibur malah membuat enek. Melihat wajah Samsuri yang enggak beda jauh sama stocking jaring-jaring itu, membuat nafsu makan Nurman mendadak hilang.
“Tenang saja. Gue udah bikin tim sukses buat dukung lu di pemilihan ketua OSIS tahun ini,” kata Samsuri dengan yakin.
Nurman melebarkan pandangannya. “Seriusan, Brow? Nama tim suksesnya apaan?”
“Sukses Makmur.”
“Hiyaaa ...! Lu kira toko bangunan apa? Sukses Makmur, lagi. Ganti!” seru Nurman tidak setuju.
“Mekar Jaya?”
“Kayak ruko sembako, dong. Cari yang kerenlah, Sam. Nurmaners, kek. Sahabat Nurman, kek.”
“Itu mah Sahabat Noah, kali!” ketus Samsuri.
“Iya apa lah, pokoknya. Lu mah, jadi temen bantunya nanggung amat.”
“Nurman and Friends?” usul Samsuri lagi.
“Sekalian saja Nurman the Explorer!”
“Nah, itu keren! Kayak Dora.”
“Apanya yang keren ....” Nurman mendengus kesal dibarengi toyoran keras di kepala Samsuri.
Teeettt ... teeett ....
Bel berbunyi dua kali, menandakan jam istirahat sudah habis dan semua murid yang sedari tadi sibuk di kantin mulai kembali ke kelas masing-masing. Begitu pun Nurman dan Samsuri.
Bu Nadia berjalan enggan, tetapi tetap dengan langkah cantik seorang princess yang sedang lomba balap bakiak di kelurahan. Hari ini sepertinya akan menjadi hari yang sangat melelahkan bagi Bu Nadia. Selain tugas mengajarnya padat, beliau juga harus berhadapan dengan murid yang selalu membuatnya pusing dan geram.
“Assalamu ‘alaikum ...!” sapanya sembari masuk kelas didahului kaki kanan, persis masuk masjid.
“Selamat siang, Anak-Anak! Seperti janji Ibu minggu kemarin, hari ini kita akan membaca puisi yang telah kalian buat di rumah. Jadi, silakan persiapkan diri kalian untuk maju ke depan,” perintah Bu Nadia yang sekarang sudah duduk manis di kursinya. Bu Nadia mulai memilih siapa yang akan membacakan puisi pertama kali. Namun, tiba-tiba dia teringat Nurman yang baru saja dijadikan Calon Ketua OSIS. Bu Nadia ingin tahu, sebanyak apa dia memiliki jiwa kepemimpinan dengan berbicara di depan kelas giliran pertama.
“Nurm—”
“Bu, saya permisi mau ke toilet!”
Baru saja Bu Nadia ingin memanggil, dengan kecepatan 4G Nurman menginterupsinya.
“Enggak boleh! Kamu Ibu beri giliran pertama, Nurman!” tegas Bu Nadia.
“Ini udah enggak kuat, Bu. Udah di ujung, nih!” kilah Nurman dengan keringat dingin pelipisnya.
“Alaaah ..., palingan kamu bohong, biar enggak disuruh baca puisi pertama kali. Iya, kan!” seru Bu Nadia tak mau kalah.
“Bu gini saja, deh. Saya ke toilet dulu sebentar, satu kelas tungguin saya, sehabis itu saya langsung ke depan baca puisi, deh. Gimana?”
“Enggak bisa! Ayo, cepat baca!”
“Waduh, Bu, kalau saya sampai buang air di kelas, terus ada yang videoin dan jadi viral di sosmed, entar koran bikin headline ‘seorang pelajar buang air besar di ruang kelas, karena gurunya tidak mengizinkan ke toilet’. Gimana, Bu? Ibu mau nanti dikejar media, lho!”
Ngeri juga Bu Nadia membayangkan hal itu. Bagaimana jika dia benar-benar viral lalu dilaporkan ke polisi karena melanggar HAM? Siapa yang mau bayar kontrakan dan cicilan panci cantik miliknya?
“Baiklah, Nurman. Sepuluh menit dari sekarang.”
“What ?! Kok, sepuluh menit?”
“Udah. Jadi atau enggak!?”
“Oke, Bu. Meluncur 86.”