Ketua Osis Koplak

Mizan Publishing
Chapter #3

Nasib Sial

Sebagai fans fanatik klub sepak bola Real Madrid, Nurman seringkali menghabiskan malamnya dengan menonton pertandingan. Jangan tanya jam berapa Nurman tidur setiap Real Madrid berlaga di Liga Champions Eropa. Kebiasaannya menonton bola sampai larut malam membuat dia sering bangun kesiangan. Akibatnya, Nurman terlambat datang ke sekolah.

Tergesa-gesa, Nurman memakai sepatu lalu turun ke lantai bawah. Bu Sintia dan Pak Dirawan sudah menunggu untuk sarapan pagi di meja makan.

“Sarapan dulu, Nurman,” kata Bu Sintia sembari mengoles roti dengan selai cokelat kesukaannya.

Nurman mengambil segelas air putih di atas meja lalu meminumnya. “Aku buru-buru, Ma. Udah kesiangan, nih!” Nurman lalu mencium tangan kedua orangtuanya bergantian.

“Nurman, tunggu!” seru Bu Sintia sebelum Nurman membuka pintu depan.

“Iya, Ma?”

Bu Sintia mencoba menahan tawa saat melihat anak bungsunya itu. “Kamu kalau buru-buru jangan sampai ada yang lupa, dong,” nasihatnya.

Nurman kembali mengecek isi tasnya dan semua buku pelajaran yang diperlukan hari ini. “Udah lengkap semua kok, Ma. ”

Bu Sintia menurunkan pandangan ke arah kaki Nurman. “Kamu belum pake celana. Masa iya kamu sekolah cuma pake kolor? Udah kolornya gambar Spongebob lagi,” kata Bu Sintia dengan tawa yang sudah tidak bisa ditahan lagi.

Pak Dirawan hanya bisa menggelengkan kepala. “Makanya jangan nonton bola sampai tengah malem mulu, jadinya kamu pagi-pagi enggak punya banyak waktu.”

“Anak cowok nonton bola mah wajar, Pa. Lah, Papa sendiri begadang cuma buat nonton acara dangdut!” balas Nurman yang disambut dengan tawa Bu Sintia.

***

Setelah berseragam dengan lengkap, Nurman segera berlari ke garasi rumah dan mengeluarkan motor kesayangannya.

Namun mesin motor tak kunjung menyala. Nurman beberapa kali melihat jam tangan yang melingkar di lengannya. “Apa lagi ini?! Aduh, gue udah telat, pasti bakal diamuk sama Bu Suni!” sungut Nurman kesal.

Dengan terpaksa Nurman mencari angkutan kota. Namun lebih sial lagi, angkot yang dinaiki Nurman tidak juga melaju, hanya diam, ngetem menunggu penumpang penuh.

“Aduh! Mang, kok enggak maju-maju, sih? Aku udah telat, nih!” Nurman bergerak gusar. Lima belas menit lagi gerbang sekolah akan ditutup dan siap-siap saja Nurman menerima hukuman, karena lagi-lagi dia datang terlambat.

“Bentarlah, Jang, sabar. Ini téh angkot, bukan taksi,” sahut sopir angkot tak mau kalah.

“Mang, enggak ada niat jadi sopir kapal saja?”

“Emangnya kenapa?”

“Biar saya gantiin jadi sopir angkotnya.” Nurman menggerutu lalu turun dari angkot dengan gusar dan bruak ... Nurman terjatuh ke atas aspal.

“Sue bener hidup gue!”

Nurman berlari sekuat tenaga menuju sekolahnya Seraya komat-kamit kesal. “Udah bangun kesiangan, motor mogok, naik angkot ngetem. Dasar nasib jomblo, selalu tragis!”

Di depan gerbang sekolah, Bu Suni sudah berdiri tegak, layaknya anak Pramuka yang sedang latihan baris-berbaris. Tak lupa tangannya dilipat di depan dada, wajah Bu Suni seperti predator yang siap memburu mangsa. Bu Suni bukan security yang setiap jam berjaga di pos satpam, dia hanyalah guru BK SMA Mandiri. Setiap murid yang terlambat, harus siap-siap berhadapan dengannya.

Lihat selengkapnya