Siaran malam itu memang tidak semua penyiar menyanggupi. Apalagi sendirian. Sampai pukul 24.00 pula; enggak kurang, enggak lebih, ya kalau bedanya cuma satu atau dua menit sih bolehlah. Namun ini kan tujuannya untuk menghibur para pendengar yang entah memang sengaja mendengar karena sedang kesepian dan membutuhkan teman, sedang jaga pos ronda, ditinggal tidur, atau menjadi pemberisik di kamar kos yang gelap.
.
Pukul 23.50
Ini adalah saatnya aku berpamitan kepada pendengar terkhusus yang masih mendengarkan dengan saksama suaraku yang bas ini; bas 2 pula. Kata orang sih suara bas itu seksi didengar oleh telinga kaum wanita. Mana pula aku bersiaran hanya terdengar suara, bisa saja mereka berkhayal setinggi gunung Merapi tentang fisikku. Bisa jadi isi kepala dan mata mereka akan meledak saat melihat fisik asliku.
Ah, iya. Aku kan bilang ini waktu berpamitan. Lagu terakhir pun sudah siap kuputar.
"Yah, sayang banget nih aku harus pamit. Terima kasih banget buat yang tadi sudah request, curhat soal mantan, bahkan sampai cerita hantu di segmen 'Selamat'; Seramnya Malam Jumat. Dan maaf juga buat yang request-nya belum aku putar, mungkin bisa request lagi besok. Sebagai penutup ada lagu dari Isyana Sarasvati - biarkan aku tertidur."
Kuputar lagu urutan ketujuh dari album LEXICON milik penyanyi pop yang juga bisa menjadi penyanyi seriosa itu. Aku merapikan meja siaranku juga memasukkan ponsel ke tas kecilku.
Setelah siaran usai dan lampu sudah kumatikan, aku menuju pos satpam. Pak satpam tertidur. Aku ketuk-ketuk pintunya. Dia terperanjat dengan mata merah melotot ke arahku.
"Saya pulang, Pak," pamitku dengan volume suara rendah.
Pria berkumis lebat itu hanya mengangguk dan matanya kembali sayu.
Di tempat parkir hanya dua kendaraan terparkir. Satu adalah motor milik satpam. Sedangkan satu lagi adalah mobilku. Aroma hangat cokelat menyambutku setelah membuka pintu.
Saat aku menghidupkan mobil, lagu 'biarkan aku tertidur' otomatis terputar. Padahal siaranku sudah usai. Ternyata itu aku putar langsung dari album milik Isyana sebelum aku mematikan mobil saat sore aku sampai. Mungkin itulah yang menginspirasiku menjadikan lagu ini sebagai penutup siaranku. Lagu tersebut bertempo lambat, bersuasana lembut, dan menenangkan untuk yang sedang lelah.
Pintu mobilku tiba-tiba diketuk. Wajah itu menempel tepat di depan wajahku dengan terhalang kaca jendela mobil. Jelas aku terkejut dengan dentuman di balik paru-paru kiri yang cepat.
Aku buka jendela mobilku.
Tangannya mengulur padaku. "Ini tadi kunci Mas Satria tertinggal di meja siaran," tuturnya sambil memberiku kunci kontrakanku itu.
"Hati-hati ya, Mas," lanjutnya di saat aku mau mengucapkan terima kasih.
Barulah aku mengucapkan terima kasih kepada satpam yang berpapan nama di dada kanannya; 'SUROTO'.
Aku melajukan mobil dengan masih ada sisa lagu. Namun lagu itu tiba-tiba berhenti padahal belum usai. Aku coba lagi ternyata tidak bisa. Tak sengaja kuputar radio dan tepat di saluran stasiun radio tempatku bekerja. Hanya suara seperti ribuan orang sedang menyapu menggunakan sapu lidi. Tentu saja begitu sebab aku sebagai penyiar terakhir malam ini bertanggung jawab mematikan semua peralatan siaran dan sudah kulakukan.
Aku matikan. Sepi.
.
Pukul 00.43
Aku sampai di kontrakanku. Aku menuju kamar. Tidak ada suara yang menunjukkan masih ada manusia yang beraktivitas. Setidaknya suara jangkrik di kejauhan menunjukkan bahwa malam ini aku tak sendiri.
Baterai ponselku tinggal 5%. Aku lupa tidak membawa charger saat siaran. Maka aku segera mengisi daya baterai ponselku lalu kumatikan lampu. Saatnya tidur.
Suara jangkrik itu semakin lama semakin redup.
.
Pukul 01.14
Aku mendengar suara. Bukan suara jangkrik saja. Itu ponselku berdering diiringi dengan getarannya.
Bu Pingkan, manajer radio, menelepon. Aku angkat.
"Ini sudah jam berapa? Kok masih siaran sih?"
"Maksudnya, Bu?" tanyaku keheranan karena jelas-jelas aku sedang di kasurku.
"Kok malah tanya balik sih? Itu siapa cewek yang kamu ajak mengobrol on air jam segini di radio?" tanya Bu Pingkan yang semakin membuatku bingung.
"Loh, ini saya lagi rebahan di kasur, Bu."
Manajerku itu tidak mau tahu dan memintaku untuk menghentikan siaran. Jika itu bukan aku, selain karena aku yang siaran terakhir, kontrakanku adalah yang jaraknya paling dekat dengan stasiun radio dibandingkan tempat penyiar lain tinggal. Kemudian panggilan itu ditutupnya.
Aku menghela napas dan menghidupkan lampu agar menyadarkanku bahwa ini memang nyata. Aku tidak bermimpi. Aku benar-benar sudah bangun. Aku pijat keningku. Kupasangkan penyuara telinga dan kubuka aplikasi radio.
Aku lemas.
Ada suara wanita menangis terisak pada saluran radio kami.
Kutelepon nomor Pak Suroto. Tidak diangkat. Kutelepon juga nomor kantor radio. Tidak diangkat juga. Kutelepon nomor Whatsapp radio yang biasa digunakan berkomunikasi dengan pendengar. Nomor itu sedang sibuk.
Aku ketik pesan pada nomor itu:
Siapa pun di situ, tolong HENTIKAN SIARAN! Ini sudah bukan jam siaran. JANGAN BERCANDA!
Pesanku itu terbaca. Namun ketika kutelepon masih saja sibuk. Lalu kukirim lagi pesan:
JANGAN BERCANDA! HENTIKAN! AKU KE SITU!
Aku kembali menaiki mobilku. Suara radio otomatis terdengar. Itu masih di saluran radioku. Itu masih suara wanita terisak.