KHADAM

Husni Magz
Chapter #2

Aku tidak Percaya Hantu, Tapi...

Sudah kubilang bahwa aku tidak percaya dengan hantu. Bagiku, hantu hanyalah khayalan hasil produk pikiran manusia yang diwariskan secara turun temurun lewat dongeng lisan masyarakat tradisional. Kemudian kisah-kisah itu diadopsi oleh masyarakat urban sehingga kisah-kisah mistis itu memiliki genre yang beragam.

Aku tidak pernah bertemu hantu. Temanku, Risli, pernah mengaku kepadaku bahwa dia pernah melihat hantu yang menampakan diri di sumur belakang rumahnya yang terkenal angker. Tapi aku tidak percaya. Aku hanya berpikir dia sedang melantur atau berbohong.

Aku juga pernah menonton tayangan reality show dan tayangan live tiktok dimana mereka berburu hantu dan mengabadikannya lewat kamera. Kupikir itu hanya tipuan yang membodohi khalayak ramai. Dan anehnya, banyak sekali orang yang percaya.

Aku tidak pernah bertemu hantu dan tidak pernah bisa membuktikan adanya hantu. Untuk alasan itulah aku tidak pernah percaya eksistensi makhluk astral apa pun alasannya.

Di minggu pertamaku di sekolah menengah atas, kami belajar agama islam. Guru agamaku bilang, bahwa percaya kepada hal-hal yang ghaib adalah rukun iman yang tidak bisa disepelekan.

“Mereka yang tidak percaya terhadap hal-hal yang ghaib bisa dipertanyakan keimanannya. Ketika seseorang meragukan realitas alam ghaib, maka pada saat itulah iman hilang dari hatinya,” jelasnya panjang lebar. Saat itu, guru kami tengah menjelaskan materi ‘beriman kepada hal yang ghaib’ sebagaimana yang tertera di buku teks.

Aku mengangkat tangan kananku ketika Pak Sobari menyudahi penjelasannya. Hendak bertanya. Ada satu pertanyaan besar yang harus aku utarakan kepada guru agamaku ini. Jika tidak, pertanyaan itu akan selalu bersemayam di benakku.

“Ya, Rania. Silakan,” ujar Pak Sobari sembari mengangguk. Janggutnya yang lebat kut bergerak seiring dengan irama anggukan kepalanya.

“Pak, saya tidak percaya hantu. Apakah saya tidak beriman?” tanyaku. Semua teman-temanku menatapku dengan tatapan takjub. Tatapan itu seakan bicara, ‘wah-kamu-keren-banget.’

“Hantu?” timpal Pak Sobari. Dia batuk. Batuk yang dibuat-buat. “Kalau hantu sendiri, saya tidak pernah melihatnya secara langsung. Apakah kamu pernah melihat hantu, Rania?”

Aku mendecakan lidah dan aku yakin Pak Sobari tidak mendengar decak kesalku. “Jika saya sudah pernah melihat hantu, sudah barang tentu saya tidak mengatakan kalau saya tidak percaya pada adanya hantu, Pak.”

Lihat selengkapnya