Aku berusaha bangkit dari tempat tidurku. Akan tetapi tubuhku seakan terpaku pada ranjang dan kasur yang menjadi tempat pembaringanku.
‘Tetaplah merebahkan diri. Kita menyatu.’ Suara itu kembali muncul di benakku yang berkabut. Setelah itu aku tidak inga tapa-apa lagi. Aku tertidur dengan pulas.
Malam itu aku tidur sangat nyenyak. Aku belum pernah merasakan tidur senikmat itu. Aku seakan menjalani malam yang panjang dengan ditemani seseorang--atau sesuatu--yang belum pernah kutemukan sebelumnya. Aku merasa nyaman, terlindungi, tergenapi dan merasa sempurna!
Aku baru terbangun ketika beberapa larik sinar matahari masuk menembus jendela. Saat itu ibuku datang untuk membuka tirai gorden dari jendela kamar.
“Masya Allah, sudah siang begini masih tidur saja. Bangun!” seru ibuku sembari merenggut tanganku yang masih memeluk guling. “Tidak biasanya kamu tidur sampai siang. Belum shalat subuh lagi.”
Aku hanya mengerang dan sedikit kesal karena ibuku menganggu ketenanganku. Tapi mau tidak mau aku harus bangun dan beranjak menuju kamar mandi. Jika tidak, omelan ibu akan semakin panjang seperti rangkaian gerbong commuter line.
Aku meraih pasta gigi dan sikat gigi dari rak kecil dan mulai menggosok gigi ketika ibu berseru dari luar. “Jangan lupa sholat subuh!”
“Iya.” Kujawab dengan busa yang memenuhi mulut. Pada dasarnya, selama ibu tidak ada di kamar dan memperhatikanku, besar kemungkinan aku tidak shalat.
Terserah jika kau menganggapku sebagai gadis pembangkang yang tidak tahu diuntung. Tapi aku tidak mungkin berbohong di sini. Aku tidak mungkin mengatakan kepada kalian semua bahwa aku adalah gadis shalihah yang rajin shalat, sedekah dan berbakti kepada kedua orangtua. Karena penulis cerita ini memintaku untuk jujur kepada kalian semua.
Baiklah, sebenarnya di masa kecil dahulu aku termasuk seorang gadis kecil yang sangat berbakti dan cukup taat pada aturan agama. Ibu bilang, aku sudah melaksanakan puasa pertamaku ketika aku duduk di bangku TK pada usia 5 tahun. Padahal--masih kata ibu--tidak ada satu pun teman sekolahku yang sanggup puasa sampai maghrib. Rata-rata mereka berpuasa sampai dzuhur atau biasa disebut puasa sebeduk. Ketika ibu menceritakan prestasiku yang mampu berpuasa sampai adzan maghrib, ibu-ibu sesama orangtua murid TK itu berdecak kagum. Banyak yang memujiku, tapi banyak yang berpikir ibu terlalu keras mendidikku. Mereka berpikir ibu memaksaku untuk berpuasa.