Khadijah Bunda Orang-orang Beriman

Mizan Publishing
Chapter #2

PUTRI QURAISY

KHADIJAH - BEAUTIFUL STORIES FOR KIDS

Dahulu kala, di Makkah, 15 tahun sebelum Tahun Gajah atau tahun 555 Masehi,

lahirlah seorang anak perempuan yang diberi nama Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdil Uzza bin Qushay.

Ibu Khadijah bernama Fatimah binti Zaidah dan ayah Khadijah bernama Khuwailid bin Asad bin Abdil Uzza bin Qushay bin Kilab Al-Quraisyiyah Al-Asadiyah.

 

“Tahun Gajah itu tahun apa, Kek?” tanya Umar kepada Kakek Hamzah yang sedang bercerita tentang keteladanan Khadijah, istri Nabi Muhammad Saw., kepada cucu-cucunya. Di samping Umar, ada Habibah dan Syifa. Mereka bertiga sedang liburan kenaikan kelas di rumah Kakek Hamzah, di kampung halaman ayah mereka.

“Tahun Gajah, yaitu tahun ketika balatentara berkendaraan gajah yang dipimpin oleh Raja Abrahah dari Kerajaan Abessenia, Yaman, menyerbu Makkah. Raja Abrahah itu hendak menghancurkan Ka‘bah,” jelas kakek. “Namun, sebelum niat mereka terlaksana, datanglah burung-burung Ababil. Burung-burung itu membawa batu-batu panas dan menjatuhkannya ke arah pasukan bergajah hingga mereka binasa.”

“Jadi, Khadijah lahir sebelum perang itu, Kek?” tanya Syifa, cucu Kakek Hamzah yang nomor dua. Pertanyaan Syifa disambut anggukan kepala kakek. Syifa baru saja naik ke kelas tiga SD.

Khadijah merupakan keturunan Qushay dari Bani Hasyim. Sementara Bani Hasyim merupakan salah satu marga dari suku Quraisy. Suku Quraisy adalah suku terkemuka di Makkah. Suku Quraisy yang hidup di Makkah disebut Quraisy Lembah, sedangkan yang tinggal lebih jauh mengelilingi Makkah disebut Quraisy Pinggiran.

“Suku Quraisy merupakan keturunan Nabi Ibrahim a.s. Sebagian besar masyarakatnya menjadikan perdagangan sebagai sumber utama kehidupan. Begitu juga dengan ayah Khadijah, Khuwailid bin Asad,” kata Kakek Hamzah saat menjelaskan suku Quraisy. “Karena itu, sejak kecil Khadijah telah diajari cara berdagang yang baik, menguntungkan, jujur, dan bersih. Ayah Khadijah juga dikenal sebagai lelaki yang cerdas, kaya, terhormat, berakhlak mulia, jujur, dan tepercaya,” ucap Kakek Hamzah melanjutkan ceritanya.

Pada 575 Masehi, ibu Khadijah, Fatimah, meninggal dunia. Sepuluh tahun kemudian, 585 Masehi, ayah Khadijah menyusul. Sepeninggal kedua orangtuanya, Khadijah dan saudara-saudaranya mewarisi kekayaan peninggalan orangtuanya.

“Khadijah mempunyai tiga orang saudara, yaitu Awwam bin Khuwailid, Halah binti Khuwailid, dan Hizam bin Khuwailid. Dibandingkan dengan ketiga saudaranya, Khadijah-lah yang mewarisi kemampuan ayahnya berdagang. Kafilah dagang yang ditinggalkan almarhum ayahnya menjadi berlipat-lipat dan keuntungan yang diperoleh Khadijah semakin banyak,” kata kakek. “Khadijah suka mengumpulkan orang miskin, janda, anak yatim, dan orang-orang cacat untuk diberikan sedekah. Semua sedekah itu diambil dari sebagian keuntungannya berdagang. Tidak seperti orang kaya lainnya, Khadijah tidak suka berfoya-foya.”

Syifa, Habibah, dan Umar mengangguk-anggukkan kepala mendengarkan cerita Kakek Hamzah. Setiap ada liburan sekolah, mereka selalu ingin bertemu dengan kakek yang pandai bercerita. Apalagi, jika kakek menceritakan kisah-kisah yang ada dalam Al-Quran.

“Pada masa kecil Khadijah, masyarakat Makkah hidup penuh kejahiliahan. Saat itu, masyarakat Arab menyembah patung atau berhala yang diyakini memberikan kekuatan dan nasib baik bagi mereka,” ungkap kakek tentang zaman jahiliah. “Mereka juga memiliki kebiasaan yang sangat buruk, seperti bermabuk-mabukan dan bermain judi. Yang paling keji, karena dianggap pembawa sial, bayi perempuan yang baru lahir selalu dikuburkan hidup-hidup,” papar kakek.

“Dikubur hidup-hidup?!!!” seru mereka bertiga serentak.

“Ya Allah, kasihan sekali anak-anak perempuan zaman dulu, ya?” Syifa bergidik membayangkannya.

“Kalaupun ada orang Arab yang tidak membunuh anak perempuannya, mereka merampas hak-hak anak perempuannya. Anak-anak perempuan itu tidak diberi apa pun ketika mereka menikah,” cerita kakek. “Dibandingkan dengan anak perempuan lainnya, Khadijah lebih beruntung. Ayahnya berpikiran maju. Dia menganggap anak laki-laki dan perempuan adalah anugerah dari Tuhan yang tidak boleh disia-siakan.”

Setelah dewasa, Khadijah tumbuh menjadi “Bunga Quraisy”. Dia cantik, tinggi, dengan kulit putih bersinar. Khadijah juga dianugerahi otak yang cerdas, bijaksana, baik hati, tidak sombong, dan senang membantu orang lain.

“Karena itu, banyak orang memanggilnya ‘Putri Quraisy’. Ada juga yang memanggilnya ‘Putri Makkah’ karena kekayaannya. Yang lain memanggilnya ‘Ath-Thaahirah’, yang berarti ‘perempuan yang suci’ karena tindak-tanduknya tanpa cela,” jelas kakek.

Rupanya, pribadi Khadijah menarik perhatian kaum bangsawan, pangeran Arab, dan pemuda terkemuka suku Quraisy. Lamaran untuk memperistrinya pun berdatangan. Namun, Khadijah menolak mereka dengan halus. Baru kemudian, Khadijah mau menikah dengan Abu Halah An-Nabbasy bin Zurarah At-Tamimi. Setelah Abu Halah meninggal, Khadijah menikah lagi dengan Athiq bin Aid Al-Makhzumi. Tetapi, pernikahan ini tidak berlangsung lama.

“Dalam dunia perdagangan, nama Khadijah sangat terkenal,” lanjut kakek. “Setiap kafilahnya memuat barang dagangan dalam jumlah yang sangat besar. Apa pun yang dijualnya, pasti laku dan mendapatkan keuntungan berlimpah.”

Lihat selengkapnya