KAZUKI
Yang matanya lihat hanya satu, musuh di depannya.
Yang telinganya dengar hanya satu, raungannya sendiri.
Yang tangannya rasakan hanya satu, pedang digenggamannya yang tanpa ampun menebas tiap musuh yang muncul.
Kakinya sudah tidak tahu lagi menapak tanah atau tubuh tak bernyawa.
Dunianya merah.
Tapi laut merah darah ini harus ia arungi agar selamat.
Agar semuanya selamat.
Lalu kenapa tiba-tiba dunia gelap?
Ada yang bersenandung pelan?
Kazuki buru-buru membuka matanya, bersiap menarik pedangnya.
Tapi tangannya gagal menemukan senjata di pinggangnya.
“Argh!” Kazuki mengerang, hampir saja tersungkur. Beruntung tangannya cepat menahan tubuhnya.
Tubuhnya nyeri, seperti banyak pedang yang mengiris.
Kepalanya rasanya seperti mau pecah.
Ia ingin muntah.
Sebuah mangkuk muncul tiba-tiba di depan wajahnya tepat ketika Kazuki memuntahkan semua isi perutnya.
Ada yang menepuk-nepuk pelan punggungnya.
Siapa?
Ini di mana?
Dia kan seharusnya sedang bertarung di lembah melawan tentara Wang Dong. Kenapa tiba-tiba dia ada di kasur?
Apa yang terjadi?
“Ini...di mana?” Tanya Kazuki serak.
“Di rumah warga.”
Kazuki mengerutkan keningnya. Walau dunia rasanya seperti berputar-putar, Kazuki tetap menoleh. Berusaha melihat wajah pria yang menolongnya.
Di sampingnya, samar-samar Kazuki bisa melihat seorang pria berkulit gelap dan bermata bundar sedang membantunya menyandarkan tubuh ke tembok di belakangnya.
Pria itu jelas-jelas orang Swarga. Tapi kenapa dia bisa bicara bahasa Azumachi selancar itu?
“Anda...siapa?” Tanya Kazuki lemah.
“Saya Jaya Sima. Sekarang anda ada di kamp saya.” Jawabnya. Pria itu menyodorkan semangkuk air yang diterima Kazuki dengan ragu-ragu.
“Saya salah satu pemimpin kelompok Vrika, jadi anda tidak perlu khawatir.” Tambah pria itu, berusaha meyakinkan Kazuki.
Kelompok Vrika? Ah, ya, Kazuki pernah dengar soal kelompok pejuang Swarga. Tentara Swarga sudah lama habis dibinasakan tentara Wang Dong. Namun para warga dan tuan besar membentuk kelompok pejuang kecil yang diam-diam menyerang balik. Dan setahu Kazuki, kelompok ini sering bekerja bersama dengan tentara Azumachi.
Dia beruntung kalau begitu.
“Di mana tentara yang lain?”
Jaya memainkan janggutnya sendiri, seperti sedang berpura-pura berpikir keras. “Sebagian besar sudah kembali ke kamp. Hanya yang terluka parah yang dibawa kemari.”
“Perangnya?”
“Berkatmu para tentara Wang Dong itu mundur! HAHAHA” Ujar Jaya girang. Lalu pria itu menepuk-nepuk bahu Kazuki.
“Aduh!” Jerit Kazuki.
“Oh iya, saya lupa bahumu terluka.” Sahutnya ringan.
Kazuki menggerutu pelan sebelum kembali bertanya. “Maksud Anda apa berkat saya?”
“Sudah, istirahat saja dulu. Nanti muntah lagi.” Jawab Jaya sambil tersenyum lebar sebelum meninggalkan Kazuki dengan pertanyaan-pertanyaannya.
Karena lukanya, Kazuki harus beristirahat beberapa hari di kamp dan tinggal bersama Jaya. Luka-luka di tubuhnya sudah banyak yang kering. Tapi retak di rusuk dan luka di kakinya masih perlu waktu untuk sembuh.
Jaya banyak membantu Kazuki. Menggendongnya kesana kemari kalau Kazuki perlu pergi keluar rumah. Membuat Kazuki malu, ingin sembunyi dan kabur. Tapi pak tua itu jarang sekali meninggalkannya sendiri. Dia merawat Kazuki seperti seorang ayah merawat anaknya. Penuh perhatian, tapi kadang ceroboh.
Walau demikian, walau begitu banyak kenyamanan yang Jaya berikan. Kazuki ingin cepat-cepat kembali ke kamp Azumachi.
Bukan apa-apa, tentara Wang Dong tidak mungkin diam begitu saja. Mereka pasti akan terus mendesak Azumachi keluar dari Swarga. Walaupun kemarin Kazuki berhasil menghabisi tentara Wang Dong di lembah Sepen, bukan berarti dia bisa diam dan duduk santai di sini sambil makan semangkuk hangat bubur manis.
Dan kenapa juga bubur manis ini rasanya enak sekali?
Kazuki jadi sebal.
Dia makin kesal karena Jaya tidak berhenti tertawa sambil melontarkan candaan garing yang tidak lucu.
“Paman ini tidak takut ya tentara Wang Dong tiba-tiba datang dan menghabisi kamp ini?” Tanya Kazuki kesal sambil meletakkan mangkuk di depannya.
“Ya nanti kalau datang baru kita khawatir.” Jawabnya santai.
“Kalau saya yang tiba-tiba menghabisi kamp ini, bagaimana?”
Jaya tiba-tiba tertawa. “Ya coba saja.” Jawabnya menantang. “Saya sentil rusukmu, juga langsung jatuh.”
Kazuki menyeringai kesal, teringat rusuk nya yang belum sembuh.
Sial pak tua ini.
Sejak bertemu, belum pernah sekalipun Kazuki melihat paman tua ini berhenti tersenyum. Kerjaannya bercanda terus dan meledeknya. Belum lagi kebiasaanya mengelak menjawab pertanyaan Kazuki.
“Saya ini tentara Azumachi loh, yang sedang menolong negara anda.” Ujar Kazuki, berusaha menjaga ketenangan dirinya.
“Kau kan sedang tidak pakai seragam. Jadi buat saya, kamu cuman anak kecil tukang menggerutu saja HAHAHAHA.”
Kazuki rasanya ingin melemparkan tinju ke pria tua itu. Tapi lalu teringat usaha sia-sianya selama ini. Tinjunya tidak pernah mendarat. Yang ada, tangannya terpiting duluan.
Jaya tertawa, mengacak-acak rambut Kazuki seraya berjalan melaluinya. “Sudah, anggap saja lagi liburan perang sebentar.”
“Mana bisa!” Bentak Kazuki. Dia sendiri pun kaget kenapa tiba-tiba kesal begini. “Kalau kalah, kematian teman-teman saya akan sia-sia!”
Yang benar saja? Sudah banyak tentara Azumachi yang mengorbankan nyawa mereka untuk perang ini. Dan lagi, tentara Wang Dong bisa menyerang balik kapan saja. Mana bisa dia bersantai-santai seperti tidak terjadi apa-apa?
Jaya berhenti.
Ia berjongkok di depan Kazuki.
Lalu tiba-tiba menyentil kening Kazuki.
Kazuki mengerang. Sentilannya tidak terlalu keras, tapi cukup untuk membuat luka di pelipisnya berdenyut-denyut.
“Kau pikir sudah berapa banyak kematian yang saya lihat?”
Kazuki mendongak.
Baru kali ini Kazuki mendapati pria tua itu menatap ke arahnya tanpa senyuman.
Dan baru kali ini, lidah Kazuki kelu.
Apa ini rasanya dimarahi seorang ayah?
“Sudah berapa lama kau jadi tentara?” Tanya Jaya, suaranya datar.
“Dua tahun…” Jawab Kazuki pelan.
“Kau tahu berapa lama saya sudah ikut perang? 20 tahun.”
Kazuki terdiam.
“Saya tumbuh dalam perang. Saya menikah dalam perang. Anak saya lahir dalam perang.” Lanjutnya. “Saya sampai lupa apa rasanya hidup tenang.”
Jaya mengangkat tangannya dan meletakkannya di kepala Kazuki.
“Berapa umurmu?”
“15 tahun…”
“Kamu masih muda. Jangan tenggelam dalam gilanya perang.”
“Aku tidak--”
“--saya lihat bagaimana kamu membunuh tentara Wang Dong waktu itu. Sudah seperti iblis.” Potong Jaya. “Kalau kau begitu terus, kau akan benar-benar jadi setan tanpa hati.”
Kazuki menggigit bibirnya.
“Buat apa kamu berperang?” Tanya Jaya.
Kazuki membuka mulutnya, hendak menjawab. Tapi Jaya sudah lebih dulu memotongnya.
“--jangan bilang untuk melindungi orang-orang Swarga. Itu omong kosong.” Potongnya dingin.
Kalau begitu…
“Saya berperang untuk membantu dan melindungi rekan-rekan saya.” Jawab Kazuki kesal.
“Maju perang sendiri lalu gelap mata kau bilang melindungi?”
Lidah Kazuki tiba-tiba kelu.
“Ingat-ingat lagi. Jangan sampai kau jadi pembunuh, yang mencabut nyawa orang tanpa sebab.” Ujar Jaya sembari berdiri dan meninggalkan Kazuki.
Tapi sampai kembali berkumpul dengan tentara Azumachi pun, Kazuki masih tidak bisa menjawab pertanyaan Jaya.
Kesal.
Hanya karena satu pertanyaan, sekarang Kazuki jadi meragukan alasannya ikut perang.
Setiap Kazuki melihat wajah rekan-rekannya, ia yakin tujuannya benar. Tujuannya mengayunkan pedang dan mencabut nyawa musuh-musuhnya adalah untuk memastikan rekan-rekannya bisa pulang dengan selamat.
Tapi lalu tiap kali sebuah peperangan kecil selesai. Tiap kali ia menemukan dirinya sendirian berdiri di tengah tumpukan tubuh tanpa nyawa. Kazuki kembali dihantui oleh pertanyaan Jaya.
Apa harus begini caranya?
Tapi bagaimana lagi?
Tiba-tiba Kazuki jadi tidak tahu apa yang dia inginkan. Yang ia tahu hanya mengayunkan pedangnya dan membabat habis musuh yang muncul.
Ia tidak peduli pangkatnya yang melesat naik. Ia tidak peduli bisik-bisik para tentara yang memanggilnya Shoakuma atau setan kecil. Atau orang-orang yang diam-diam memanggilkan anjing pembunuh Azumachi.
Atau penjilat.
Atau si manusia tanpa hati.
Terserah, batin Kazuki.
Dia hanya ingin kembali bertemu Jaya. Berharap pak tua itu bisa membantunya mencari jawaban dari pertanyaannya sendiri.
Pria tua itu harus bertanggung jawab karena sudah membuat Kazuki pusing.
Dan tampaknya Kazuki tidak perlu menunggu lama untuk bertemu Jaya.
Ditengah persiapan menyerang tentara Wang Dong di lembah Leren, Kazuki samar-samar mendengar suara tawa yang familiar. Suara tawa Jaya.
Dan kakinya dengan sendirinya berjalan mencari sosok itu.
“Pak tua…” Gumam Kazuki, mendapati pria itu sedang duduk dan tertawa-tawa dengan beberapa tentara Azumachi.
“Ah! Kazu-chan! Sini, ikut minum! Eh, tapi kamu belum cukup umur ya HAHAHAHA”
Kazuki menghampiri. “Anda kenapa di sini?”
“Ikan kenapa berenang?” Jaya balik bertanya sambil memukul punggung Kazuki.
Kazuki mendengus. Masih sama saja ternyata.
“Wah, baru berapa bulan tidak bertemu sudah naik pangkat?” Ujar Jaya, mengerling ke arah seragam Kazuki. Alih-alih terdengar senang, Jaya justru terdengar khawatir.
Kazuki menggigit bagian dalam mulutnya.
Alih-alih bangga, Kazuki mendapati dirinya malu memperlihatkan pangkatnya di depan Jaya.
“Waaah, jimat yang saya kasih masih ada?” Tanya Jaya senang.
Kazuki buru-buru memasukkan jimat yang tanpa ia sadari menyembul keluar dari kantong bajunya.
“Katanya kalau tidak saya simpan nanti saya dikutuk.” Kilah Kazuki kesal.
Jaya tertawa.
Kazuki membuang muka, takut tiba-tiba mukanya merah karena malu.
Tapi ujung matanya menangkap tangan Jaya yang terulur ke arahnya.
Kazuki menoleh.
“Mohon kerjasamanya, letnan Izumi.” Ujar Jaya sambil tersenyum lebar.
Kazuki mengedipkan matanya, bingung. Biasanya pak tua ini memperlakukannya seperti anak kecil. Tapi hari ini, Kazuki bisa merasakan ada rasa hormat dalam suaranya.
Dan mana ceramahnya? Apa dia tidak akan bertanya sama sekali tentang pangkatnya? Atau tentang kabarnya?
Kazuki mendapati dirinya ikut tersenyum lebar dan menjabat tangan Jaya.
“Mohon kerjasamanya juga, tuan Jaya Sima.”
Sayangnya, belum sempat Kazuki melontarkan pertanyaannya. Belum sempat ia memulai obrolan yang lebih panjang bersama Jaya, perang sudah harus dimulai.
Hari itu, untuk pertama kalinya Kazuki berperang dengan seseorang di sisinya. Bersama Jaya, Kazuki membabat pertahanan tentara Wang Dong.
Pertama kalinya ia berperang tanpa membiarkan setan di dalam dirinya mengambil alih.
Pertama kalinya Kazuki bertarung dengan sadar.
Namun, hari itu juga pertama kalinya tentara Azumachi benar-benar terdesak mundur.
Pasukan bantuan Wang Dong datang bak air bah, memukul mundur tentara Azumachi dalam sekejap.
Pasukan Kazuki dan Jaya terhimpit, kesulitan mencari jalan kembali.
Dunia mulai terasa merah.
“Kazuki!”
Kazuki tersentak oleh teriakkan Jaya.
“Saya akan bukan jalan! Kau bawa tentaramu keluar!” Teriaknya.
“Tidak! Anda ikut dengan saya!”
Tapi lalu mata Kazuki menangkap tombak yang tertancap di tubuh Jaya.