ARAH
“Tuan, ada surat dari Khutamas.”
Arah mengangguk, enggan mendongak dari tumpukan kertas di hadapannya.
“Terima kasih, Bharata.” Ujar Arah saat surat yang dimaksud masuk ke jarak pandangnya.
Tanpa banyak bicara, Arah membuka surat tersebut dan membacanya.
Lalu ada senyum kecil yang tersungging di bibirnya.
“Jarang-jarang saya lihat tuan tersenyum.” Komentar Bharata.
Arah melipat kembali suratnya. “Tolong siapkan kuda, kita ke kediaman Gardapati sekarang.”
“Baik tuan.” Jawab Bharata sebelum mengundurkan diri.
Tanpa menunggu lama, Arah bergegas ke kamarnya dan mengambil pedang serta jubahnya.
Akhirnya, setelah penantian 5 tahun. Setelah jadi kacung para pemabuk itu selama 5 tahun. Rencananya membuahkan hasil.
5 tahun. Jauh lebih lama dari yang Arah rencanakan. Dulu ia berpikir paling lama dua tahun major Goro akan bertahan. Dan memang benar, belum sampai dua tahun perwira itu sudah didepak dari kota ini. Digantikan oleh perwira yang walau tidak kalah bengis, namun masih cukup punya otak.
Namun, entah bagaimana, semua pengganti major Goro tidak pernah bertahan lebih dari tiga bulan.
Sebelum kembali digantikan oleh major Goro.
Arah mulai curiga orang itu punya relasi orang penting yang bisa membuatnya seenaknya seperti itu.
Tapi hari ini, Arah yakin major Goro akan pergi dan tidak akan kembali lagi.
Lima tahun sudah lebih dari cukup bagi Arah membangun relasi dengan orang-orang penting di Khutamas dan menjalin hubungan dengan para pemberontak rahasia di ibu kota. Dan dengan itu, dia memastikan pengganti Goro kali ini datang dari kelompok yang berseberangan dengan Goro.
Dan kalau isi surat yang ia baca itu benar, pengganti Goro kali ini akan jadi pion yang tepat untuk semua rencananya.
“MAU CARI RIBUT YA KALIAN!”
Arah menghentikan laju kudanya dan menoleh ke arah keributan, menemukan Bara yang sedang dikepung tiga orang tentara Azumachi.
Anak itu bikin ulah apa lagi? Batin Arah, lelah.
“Perlu saya bantu?” Tanya Bhatara.
“Tidak perlu. Kalau hanya segitu dia bisa atasi sendiri.”
Kalau soal berkelahi, Arah akui Bara punya bakat. Selain karena diuntungkan dengan postur tubuhnya yang tinggi dan gerakannya yang cepat, Bara punya tenaga yang sangat kuat untuk orang dengan otot yang tidak terlalu besar. Sifat keras kepalanya juga yang membantu anak itu jadi cepat lihai dalam bela diri.
Arah tidak perlu khawatir.
Tapi beda ceritanya kalau ketiga tentara itu tiba-tiba dibantu sekelompok ichi-gun lain.
Dari sisinya, muncul paling tidak sepuluh tentara Azumachi yang sudah siap menghampiri Bara.
Arah memastikan Bara dan ketiga musuhnya sudah pindah ke sebuah gang sempit sebelum turun dari kudanya, menghampiri kesepuluh ichi-gun tersebut.
“Permisi.” Sapa Arah dingin. Bahasa Azumachinya pas-pasan. Tapi seharusnya cukup kalau hanya untuk memberi peringatan.
“Hah? Kenapa?” Tanya salah satu ichi-gun.
“Kalau Anda semua hendak pergi membantu ketiga teman Anda, saya sarankan Anda kembali saja ke pekerjaan Anda.” Ujar Arah.
Salah satu ichi-gun di hadapannya terlihat berang dan hendak menyerang. Namun sebelum ia sempat mendaratkan tinju, tangan Arah sudah lebih dulu bereaksi.
Ichi-gun itu sekarang terkapar di tanah.
“BERANI KAU!” Teriak tentara lainnya.
Arah melempar tatapan tajam ke arah mereka sembari mengeluarkan papan namanya.
Mereka berhenti.
“Cih, Ranggawuni.” Guman salah satu di antara mereka.
“Yang akan kalian keroyok di gang pun anggota keluarga Ranggawuni.” Ujar Arah. “Kalau kalian tidak mau terlibat masalah dengan major Goro, lebih baik kalian pergi.”
Awalnya mereka terlihat enggan. Namun tampaknya mereka masih cukup punya otak untuk akhirnya memutuskan pergi.
Arah menunggu hingga kesepuluh ichi-gun itu benar-benar jauh sebelum kembali ke kudanya.
“Seharusnya tadi saya saja yang turun.” Ujar Bharata, menggerakkan kudanya ke sisi Arah.
“Tidak apa-apa. Biar cepat--UHUK!” Arah buru-buru menutup mulutnya, berusaha menahan batuknya.
Saat ia melepaskan tangannya, darah segar sudah menodai tangan dan lengan bajunya.
Sial.
“Tuan.” Bharata memanggil seraya menyodorkan sarung tangan.
Arah mengangguk berterima kasih, menyeka darah dari tangannya.
“Apa kita perlu ke dokter lagi sepulang dari kediaman tuan Gardapati?”
Arah menggeleng, masih berusaha menahan batuk. Nafasnya mulai terasa berat.
“Besok saja.” Jawab Arah berat.
Setibanya di kediaman Gardapati, Arah diarahkan langsung ke ruang belajar paman Chanda.
“Selamat pagi, paman Chanda.” Arah memberi salam sembari membungkuk memberi hormat.
“Silakan masuk, Arah.”
“Terima kasih, paman.” Arah menutup pintu di belakangnya sebelum duduk di seberang Chanda.
“Ada perlu apa?” Tanya paman Chanda tanpa mendongak dari buku yang sedang ia baca.
“Saya mendapat kabar tentang pemindahan major Goro dan informasi tentang penggantinya.” Ujar Arah.
Chanda meletakkan bukunya, memberikan perhatian penuh kepada Arah dan kabar yang ia bawa.
“Pasukan major Goro akan mulai dipindahkan ke Banyu mulai minggu depan.” Arah memulai. “Penggantinya dipastikan adalah seorang perwira muda berpangkat kolonel. Jumlah tentara yang dibawa tentu akan jauh lebih banyak dibandingkan tentara Goro. Namun, menurut informan saya di Khutamas, perwira ini adalah contoh perwira ideal yang lebih mementingkan ketenangan daripada kekuasaan.”
Chanda mengangguk. “Menarik. Perwira ini akan datang minggu depan saat Goro keluar, kan?”
“Kemungkinan besar begitu.” Jawab Arah.
“Ada tanggal pastinya?”
“Sayangnya tidak ada.”
“Kalau begitu kita adakan pertemuan Nae Subah akhir minggu depan untuk membahas rencana selanjutnya.” Ujar Chanda.
Arah terdiam sebelum melontarkan pertanyaan dengan ragu. “Semua anggota Nae Subah?”
“Iya, termasuk Bara.”
“Mohon maaf paman, saya rasa kita harus lebih hati-hati jika--”
“--kamu khawatir orang-orang dari pemerintahan dan Bara tahu tentang rencana kita menyingkirkan Goro selama ini kan?” Potong Chanda dingin.
Arah mengangguk.
Rencana kerjasama para tuan besar dan keputusan membiarkan Goro dan orang-orangnya berkuasa di Khajana selama ini hanya diketahui oleh para tuan besar. Para anggota Nae Subah yang lain hanya tahu bahwa major Goro begitu bengis hingga para tuan besar dan pasukannya tidak berani mengambil langkah apapun dan terpaksa jadi kacung.
Masalahnya, demi berjalannya rencana itu, tidak sedikit anggota keluarga Nae Subah yang menjadi korban kekejaman Goro.
Termasuk adik ipar Chanda. Ibu dari sahabat dekat Bara.
Kalau Bara sampai sadar bahwa kematian ibu sahabatnya gara-gara rencana egois para tetua, anak itu akan makin sulit diarahkan. Bahkan bisa-bisa jadi main hakim sendiri melawan para tetua kota.
Sama saja membangunkan beruang tidur.
“Kamu tidak perlu khawatir. Informasi darimu ini nanti akan paman kabarkan kepada para tetua yang lain melalui surat. Untuk pertemuan minggu depan, kita tetap berpura-pura tidak tahu saja.”
Arah membungkuk memberi hormat. “Terima kasih banyak, paman.”
“Tanganmu berdarah?”
Arah menegakkan tubuhnya dan melirik ke arah lengan bajunya.
“Ah, ini darah orang yang saya pukul di jalan tadi.”
“Para ichi-gun itu benar-benar ya, tidak bisa tidak bikin ribut?”
Arah hanya tersenyum sebagai jawaban.
“Oh iya, ada yang ingin paman bicarakan mumpung hanya ada kita berdua.”
Perasaan Arah tidak enak. Kalau bicara pribadi seperti ini, pasti hanya tentang hal itu. Penerus keluarga Ranggawuni.
“Paman tahu paman sudah sering menanyakan ini. Namun melihat perilaku Bara yang tidak banyak berubah dan umurmu yang sudah mau menginjak kepala tiga. Apa rencanamu untuk penerus keluarga Ranggawuni?”
Orang ini tidak suka basa basi ya?
“Relasi keluargamu sangat berharga untuk keberlangsungan kota ini. Begitu juga pasukan dan usaha percetakan.”
Arah tersenyum sopan. “Paman tidak usah khawatir, saya sudah memikirkannya baik-baik.”
“Kenapa tidak menikah saja? Kalau benar perwira yang nanti datang jauh lebih tenang dibandingkan Goro, pasti kau jadi punya lebih banyak waktu kan?”
“Saya belum menemukan wanita yang tepat.” Jawab Arah tenang.
“Kenapa tidak dengan Hira saja? Dia sudah cukup umur.”
“Dia sudah seperti adik saya sendiri. Lagipula dia sahabat Bara.”
“Kalau begitu kenapa tidak nikahkan Bara dengan Hira saja?”
Orang tua ini benar-benar sudah tidak berusaha menutupi keinginannya mengambil alih aset dan kuasa keluarga Ranggawuni ya? Kurang kuasa apa lagi keluarga Gardapati?
Arah tetap memasang senyum sopan. “Seperti yang sudah saya bilang, mereka sahabat dari kecil. Agak sulit rasanya memaksa mereka menjadi sepasang kekasih.”
“Tidak perlu menjadi kekasih untuk memberikan keturunan kepada keluarga Ranggawuni.”
“Saya merasa terhormat diperhatikan seperti ini. Tapi Bara masih harus banyak belajar. Memulai sebuah keluarga dengan kompetensinya yang sekarang saya rasa kurang bijak.”
Walau pelan, Arah bisa mendengar Chanda membuang nafas kesal.
“Ya sudah. Toh seharusnya mulai minggu depan kota ini tidak akan seberbahaya biasanya. Kau harusnya jadi punya lebih banyak waktu dan kesempatan untuk mempersiapkan penerus.”
Tidak perlu disuruh pun Arah sudah tahu.
Duduk di ruang kerjanya, Bharata sedang sibuk menulis di hadapannya. Sudah hampir jam makan siang, namun masih banyak yang harus ia selesaikan.
Arah sudah mulai mengerjakan ini sejak dua tahun lalu bersama Bharata. Sejak penyakitnya semakin parah. Kalaupun Bara nantinya tetap belum siap, paling tidak Bharata bisa membantu mengarahkan.
“Tuan.” Bharata memanggil, memecah lamunan Arah.
“Ya?”
“Maaf saya lancang, tapi saran tuan Chanda untuk menikahkan nona Hira dengan tuan Bara rasanya patut dipertimbangkan.” Ujarnya ragu.
Arah membuang nafas dan meletakkan penanya. “Saya pun pasti akan pertimbangkan, kalau saja adik Hira sudah cukup umur.”
“Maksud tuan?”
“Saat ini nona Hira masih di bawah naungan keluarga Gardapati. Kalau sampai Hira dan Bara menikah lalu terjadi sesuatu pada saya dan Bara, semua harta dan kuasa kita akan jatuh ke tangan Gardapati.”
Bharata terdiam.
“Akan berbeda kalau Harsha sudah cukup umur dan menghidupkan lagi keluarga Sima.”
“Tapi kan keluarga Sima namanya sudah tercoreng? Semua tahu Jaya Sima adalah pengkhianat yang berperang di samping para ichi-gun.”
“Kalau rencana saya berjalan lancar, isu itu akan terlupakan begitu kita lepas dari tentara Azumachi.”
“Maafkan saya terlalu terbawa emosi.”
“Tidak apa-apa. Saya paham kamu juga pasti khawatir tentang penerus keluarga ini.”
Wajah Bharata terlihat suram.
Arah tersenyum tipis. “Saya akan mati. Kalau bukan karena perang yang sudah dekat, ya karena penyakit saya ini.” Ujar Arah tenang. “Tapi selama ada kamu, Bharata, saya yakin sepeninggalan saya keluarga ini akan baik-baik saja.”
Bharata mendongak, wajahnya terlihat kaget. “Tuan…”
“Kamu sudah mengabdi di keluarga ini sejak kecil. Ikut berlatih dan belajar bersama saya. Bahkan kamu satu-satunya orang yang tahu tentang penyakit saya. Kamu adalah orang kepercayaan saya, Bharata. Apa yang saya tahu, kamu pasti juga tahu. ” Ujar Arah.
Bharata buru-buru berdiri dan berlutut. “Pujian tuan terlalu tinggi untuk saya.” Ujarnya, suaranya bergetar.
KICHIRO
Kalau tujuh tahun yang lalu ada yang bilang bahwa dirinya akan jadi tangan kanan Izumi Kazuki, Kichiro tidak akan percaya. Jangankan jadi tangan kanannya, bekerja di satu tim pun rasanya tidak mungkin.
Cerita tentang Kazuki di kamp Azumachi sudah berputar-putar hingga bentuknya pun tidak jelas lagi. Yang ia tahu, Izumi Kazuki adalah seorang penjilat. Anak muda yang haus kekuasaan dan tidak segan-segan membunuh siapa saja.
Tapi setelah nasibnya berkali-kali terbelit dengan nasib Kazuki, Kichiro akhirnya sadar hanya setengah dari rumor itu yang benar.
Kazuki adalah setan kecil tak punya hati ketika memegang pedangnya. Tapi, di luar itu, ia hanyalah seorang anak yang terlalu keras kepala menanggung semua pekerjaannya sendiri.
Seorang anak yang kelewat semangat hingga dia tidak sadar berjalan sendirian di jalan yang terlalu lebar.
Tidak perlu waktu lama bagi Kazuki untuk membuat Kichiro merasa dirinya berguna.
Seorang pria buangan seperti dirinya ini.
Bisa berguna untuk seseorang.
Dan tidak perlu waktu lama untuk Kichiro akhirnya memutuskan untuk berjalan di samping Kazuki. Mencurahkan waktu, tenaga, pikiran, dan nyawanya untuk ikut membantu anak itu meraih mimpinya.
Ada sesuatu dalam sosok Kazuki yang membuat Kichiro percaya bahwa jika ia melakukan tugasnya dengan baik dan benar, ia bisa membawa Kazuki ke puncak.
Tapi tidak jarang Kichiro mempertanyakan keputusannya sendiri.
“Oh, ini jalur Jagar yang sering disebut-sebut itu?” Ujar Kazuki.
Perjalanan dari Khutamas ke Khajana terbilang cukup jauh. Mau tidak mau, mereka harus mendirikan kemah sebelum masuk jalur Jagar.
Dan memang, cuman orang gila yang mau terjebak di jalur itu malam-malam.
Jalur itu merupakan sebuah lembah panjang yang terapit hutan dan tebing. Benar, hutan-hutan di pinggir lembah bisa menjadi tempat yang cukup aman untuk berkemah. Tapi juga merupakan tempat terburuk jika mereka tiba-tiba disergap bandit dari tebing. Bahkan dengan 300 ratus tentara, kalau mereka tidak bisa melihat musuh mereka, habis sudah.
Oleh karena itu, Kichiro menyarankan kepada Kazuki untuk membuat tempat bermalam agak jauh dari pintu masuk lembah, di sebuah lahan yang terlihat cukup aman dan strategis.
“Saya mau cek lembah di depan sebentar ya.” Ujar Kazuki sembari menuntun kudanya.
“Sudah gelap, kolonel. Anda mau lihat apa?” Tanya Kichiro.
Kazuki menyeringai. “Jalan-jalan saja.”
“Kalau bertemu bandit bagaimana?”
“Tinggal lawan?”
Anak ini mulai lagi...Menyusahkan sekali.
Kichiro membuang nafas kesal dan berdiri, dengan enggan meninggalkan hangatnya api unggun di depannya.
“Saya ikut kalau begitu.” Ujar Kichiro.
“Wah! Terima kasih banyak, kapten Maki!” Sahut Kazuki gembira. “Takut sesuatu terjadi kepada saya ya?”
“Bukan,” Tukas Kichiro kesal. “Justru saya takut anda berulah.”
Kazuki menyeringai. “Tidak usah pura-pura ketus begitu.”
Rasanya Kichiro ingin meremas-remas wajah Kazuki agar anak itu berhenti menyeringai.
Berdua, Kazuki dan Kichiro berkuda ke arah jalur Jagar. Rasanya seperti berkuda ke arah mulut naga besar yang sedang menganga.
“Berapa panjang ya jalur ini?” Tanya Kazuki. Mereka menghentikan kuda tepat sebelum masuk ke jalur jagar, ke jalan panjang gelap yang terlihat tak berujung.
“Sekitar tiga jam berkuda.”