KAZUKI
Kenapa tempat ini rasanya tidak kunjung bersih juga!
Dalam hati, Kazuki sudah merengek kelelahan dari tadi.
Sudah makan siang pun, rasanya masih tidak mungkin membereskan gedung ini hari ini juga. Padahal sudah dua hari. Tidak, tiga hari? Entahlah. Yang pasti sudah sehari lebih Kazuki dan pasukannya berusaha membuat bangunan ini lebih layak tinggal,
“Kolonel, kapan Anda mau mulai kerja?” Tanya Kichiro.
“Kapan noda darah ini akan hilang?” Kazuki balik bertanya, mendongak dari noda darah di lantai yang sudah dia coba hilangkan dari tadi.
“Sampai Anda mati juga noda itu tidak akan hilang.”
“Kenapa?”
“Karena kalau Anda masih ngotot bersih-bersih, saya sendiri yang akan bunuh Anda.”
Kazuki tertawa. “Bercanda terus.” Ujarnya sambil berdiri. “Kita makan malam saja gimana? Sekalian mencari udara segar.”
Kichiro diam.
“Pulang makan saya janji akan mulai kerja.”
“Janji Anda tidak bisa dipegang.”
“Aduh.” Kazuki terkekeh sambil memegangi dadanya. Di sudut matanya, dia menangkap dua sosok yang familiar. “Shigure! Touya! Sini!”
Kazuki melihat Kichiro memutar bola matanya.
“Kita makan malam di luar, bagaimana?” Tanya Kazuki penuh semangat.
“Asik!” Pekik Touya gembira.
“Anda yang bayar?” Tanya Shigure.
Kazuki mengangkat jempolnya.
Ketiganya sudah siap menyerbu keluar.
Namun Kichiro melayangkan tendangannya kepada Touya dan Shigure.
"Ganti baju. Siapa bilang boleh keluar dengan pakaian begitu?" Tegur Kichiro kesal.
"Iya, iya, tidak usah galak-galak gitu dong." Gerutu Touya sambil berusaha mengelak dari tendangan Kichiro yang kedua kalinya.
"Kenapa aku kena tendang juga..." Gumam Shigure. Diantara mereka, hanya Kichiro dan Shigure yang mengenakan seragam lengkap.
"Karena saya tidak bisa menendak Kazuki." Jawab Kichiro.
Kazuki tertawa sembari mengelak dari pukulan Shigure dan kabur ke kamarnya.
Akhirnya, setelah beberapa hari terkurung di gedung tua ini, Kazuki bisa menikmati jalanan Khajana.
Tapi dia tidak bisa tidak kecewa. Baru berjalan beberapa menit saja dari perehatan, rasanya sudah suram sekali. Memang sudah malam, tapi masih banyak orang yang berlalu lalang. Namun, tidak ada satupun dari mereka yang mau bertemu mata dengan Kazuki. Yang ada, orang-orang Khajana justru seperti menjauhi dirinya, seperti menjauhi orang yang membawa penyakit menular.
Memangnya dia bau? Tadi dia sudah mandi dulu kok sebelum pergi.
“Apa kita masih bau keringat ya? Kenapa langsung pada menjauh?” Tanya Touya.
Kazuki mendengus menahan tawa.
“Mereka itu takut.” Sahut Shigure.
“Nampaknya sentimen warga di sini jauh lebih buruk daripada di Khutamas.” Kichiro menambahkan.
Kazuki mengangguk. Nampaknya sehabis makan malam nanti, Kazuki benar-benar harus mulai membaca semua laporan yang menumpuk di mejanya.
“Kenapa dari tadi tidak ada polisi yang berpatroli ya? Ini pusat kota kan?”
Kazuki hampir berbalik dan menghajar Aoyama dengan tongkat jalannya karena membuatnya kaget.
“Memang tadi kamu ikut ya?” Tanya Shigure bingung.
“Oh, tidak. Saya mau ke pos timur. Kebetulan bertemu rombongan kolonel.” Jawab Aoyama sambil menyeringai.
“Pergi kau setan.” Canda Touya sambil melambai-lambaikan tangannya seperti mengusir setan.
“Kurang ajar ya kamu sama atasan.” Aoyama merangkul Touya, menjitak kepalanya.
Kazuki tertawa melihat kelakar teman-temannya.
“Kalian mau kemana memang?” Tanya Aoyama, masih menjepit leher Touya dengan lengannya.
“Makan malam di Bungahaken.” Jawab Shigure.
“Kolonel yang bayar.” Sahut Touya.
“Tambah--”
BRUK!
Aoyama dan Touya hampir tersungkur. Ada yang menubruk mereka dari belakang.
Kazuki menjulurkan lehernya, berusaha melihat.
“Maaf! Ma...Maafkan saya!”
Seorang pria tua tersungkur, bersujud kepada Aoyama dan Touya yang terlihat bingung.
“Tolong...tolong jangan bunuh saya….” Rengek pria itu.
Kazuki membuang nafas pendek sebelum berjalan ke arah pria tua itu. Kazuki menyentuh bahu pria tua itu sepelan mungkin.
Tetap saja ia terlonjak, seperti habis tersengat listrik.
“Saya mohon….” Pria tua itu mulai menangis.
“Pak, bapak tidak apa-apa?” Tanya Kazuki dalam bahasa Swarga.
Pria tua itu berhenti, ragu melirik ke arah Kazuki.
Kazuki tersenyum, berusaha membantu pria tua itu berdiri.
“Bapak tidak apa-apa?” Kazuki mengulangi pertanyaannya.
Pria itu terlihat bingung. Takut namun bingung.
Nampaknya bapak ini tidak akan bisa diajak bicara. Sambil tersenyum, Kazuki menepuk pelan bahu bapak tua itu. “Kalau bapak tidak apa-apa, kami tinggal ya.”
Pria tua itu terlihat masih termenung bingung dan takut. Kazuki berbalik dan merangkul Touya dan Aoyama yang terlihat sama bingungnya.
“Yuk!” Ujar Kazuki, menggiring rombongannya ke tujuan awal mereka.
“Menubruk saja minta maafnya seperti pembunuh...” Gumam Aoyama sembari melepaskan diri dari rangkulan Kazuki. “Saya jadi was-was nanti mengirim prajurit untuk patroli.”
“Tidak apa-apa. Pelan-pelan nanti kita hilangkan rasa takut mereka.” Sahut Kazuki penuh semangat. “Yang penting awasi bawahan mu agar tidak berlaku semena-mena.”
“Baik, kolonel.”
“Kolonel, kapten Kichiro kita tinggal?” Tanya Shigure.
Kazuki berhenti dan menoleh ke belakang, mendapati Kichiro sedang berjongkok dekat sebuah bangunan. Tangannya sibuk mengelus-elus seekor kucing. Wajahnya yang biasanya datar tanpa senyum sekarang terlihat seperti sedang di langit ketujuh.
Kazuki membuang nafas panjang. Ini sih bakal lama.
Aoyama tertawa. “Tinggal saja. Biar kawin sama kucing sekalian.”
“Seret saja.” Ujar Kazuki.
Touya dan Shigure tidak perlu disuruh dua kali. Keduanya berjalan ke arah Kichiro, menarik pria itu berdiri dan menyeretnya menjauh dari kucing liar tersebut. Kazuki mendengus menahan tawa melihat wajah Kichiro yang sudah seperti pria yang dipaksa pergi meninggalkan kekasihnya.
“Wajahnya begitu juga tidak waktu harus pergi meninggalkan Mizuha-san?” Tanya Aoyama jahil.
“Seperti apa?” Kichiro balik bertanya. Wajahnya sudah kembali datar.
“Seperti ini.” Touya nimbrung, menunjukkan wajah memelas yang di dramatisir. Yang membuatnya berhasil mendapatkan pukulan telak di rusuknya dari Kichiro.
“Wajah ku tidak sejelek itu.” Gerutu Kichiro.
“Rumah makan Bungahaken yang mana ya?” Tanya Shigure. Mereka sudah berjalan melewati pasar dan sekarang sedang berada di percabangan jalan.
“Itu, sebelah kiri.” Ujar Kichiro, menunjuk ke sebuah bangunan dua lantai di jalan sebelah kiri.
“Mari makan!” Pekik Touya dan Aoyama bersamaan, bergegas menuju Bungahaken. Namun Shigure dan Kichiro sigap menarik kerah baju mereka, menghentikannya.
“Sopan sedikit. Kita kan pakai seragam.” Shigure mengingatkan. “Kalau kalian rusuh nanti pengunjung rumah makan itu kabur semua.”
Kazuki tadinya ingin menegur Shigure, memintanya untuk tidak usah terlalu kaku. Tapi mengingat kejadian dengan kakek tadi, rasanya tidak ada salahnya juga berhati-hati sedikit. Kazuki tidak tahu bagaimana reaksi para pengunjung rumah makan melihat segerombolan tentara Azumachi datang.
“Biar saya dan Kichiro masuk duluan kalau begitu.” Ujar Kazuki.
Kichiro mengangguk dan mengikuti Kazuki berjalan ke Bungahaken.
Belum sampai pintu depan, Kazuki sudah bisa mendengar obrolan dan tawa para pengunjung. Tempat itu benar-benar ramai.
Kazuki menyibak kain di pintu, menemukan rumah makan yang dipenuhi bukan hanya para warga Khajana tapi juga beberapa tentara Azumachi.
Namun jelas, para warga Khajana menghindari tentara Azumachi. Tempat duduk mereka sangat berjauhan. Para tentara Azumachi duduk di dekat pintu masuk, sedangkan para warga semua duduk di sisi lain ruangan, jauh-jauh. Tampaknya pemilik tempat ini sadar, sehingga dengan sengaja mengatur meja sedemikian rupa agar kedua kubu bisa makan dengan kelompoknya masing-masing.
Sayang sekali, padahal kan harusnya tempat ini bisa memuat lebih banyak orang.
“Hei nona, berapa harga mu?”
Siapa itu kurang ajar sekali?
Kazuki tidak perlu mencari jauh-jauh. Hanya beberapa langkah dari tempatnya berdiri, ada sekelompok tentaranya yang sedang menggoda salah satu pelayan.
Yang seperti mereka ini mesti dikasih pelajaran.
“Pulang kalian semua.” Kazuki ingin berteriak memarahi para bajingan ini. Tapi Kazuki tidak ingin membuat rumah makan ini kehilangan pelanggannya.
Tapi nampaknya suara Kazuki tadi sudah cukup untuk membuat prajuritnya ketar-ketir. Bukan hanya para begundal itu saja yang buru-buru berdiri, semua tentara Azumachi di rumah makan itu serentak berdiri dan memberi hormat.
“KOLONEL IZUMI!” Teriak mereka berbarengan.
“Silahkan lanjutkan makan kalian.” Ujar Kazuki kepada tentaranya.
Lalu ia melirik kepada para pengacau di depannya. “Pulang kalian.” Ulang Kazuki, kesal. “Tinggalkan uang untuk membayar makanan kalian sendiri.”
Para prajurit itu terlihat enggan.
“Tiap detik kalian diam, gaji kalian saya potong 1000 jin. Satu--”
“--siap!” Para prajurit itu buru-buru mengeluarkan uang dari kantong dan meletakkannya di meja sebelum menghambur keluar.
“Kichiro, maaf tapi tolong pastikan para tikus itu benar-benar kembali ke perehatan.” Ujar Kazuki.
Kichiro mengangguk. “Baik, kolonel.”
Kazuki melirik ke arah pelayan yang sedari tadi mematung di depannya.
Nona Hira? Dia yang tadi siang mengantar makanan ke perehatan kan?
Kazuki melihat tangan wanita itu terkepal di sisinya, gemetar.
Sialan anak-anak itu.
“Nona,” Panggil Kazuki, cukup untuk membuat wanita itu menoleh ke arahnya.
Lalu Kazuki membungkuk kepada wanita itu, meminta maaf. Walaupun rasanya permintaan maafnya tidak akan cukup.
“Atas nama Ichi-gun Khajana, saya Kolonel Izumi Kazuki memohon maaf atas kelakuan anak buah saya yang tidak pantas!” Kazuki berteriak lantang dalam bahasa Swarga.
Tempat itu mendadak menjadi hening.
Apa tidak cukup?
“Tuan, terima kasih banyak untuk permintaan maafnya.”
Kazuki mendongak, mendapati wanita muda yang sedang hamil menunduk balik ke arahnya.
“Saya, Uma Adrisara, penanggung jawab rumah makan ini.” Ujar wanita itu memperkenalkan diri. Ia menegakkan tubuhnya dan merangkul Hira. “Terima kasih sudah membela Hira.”
“Sudah kewajiban saya sebagai atasan mereka.” Jawab Kazuki.
Uma tersenyum lalu menoleh ke arah pengunjung yang menatap ke arah mereka.
“Mohon maaf atas ketidaknyamannya.” Ujar Uma. “Dan mohon jangan salah sangka, Kolonel Izumi membungkuk kepada pegawai saya karena itu bentuk permintaan maaf tulus di negaranya. Jadi tolong tidak perlu membuat isu yang tidak sesuai.”
Kazuki mengerutkan keningnya, bingung. Salah sangka? Apa permintaan maafnya tidak tepat?
Kazuki melihat ke arah Hira yang sedang menundukkan wajahnya. Ia tidak bisa melihat wajah wanita itu.
Apakah dia marah?
Atau justru merasa lebih malu gara-gara dia?
“Kolonel Izumi perlu meja untuk berapa orang?” Tanya Uma.
Kazuki menoleh ke arah Uma dan tersenyum. “Tidak perlu, saya permisi saja. Maaf sudah membuat keributan.”
“Terima kasih untuk pengertiannya, kolonel Izumi.”
HIRA
Sayup-sayup Hira mendengar beberapa pengunjung saling berbisik.
Pelayan itu pekerja rumah pundhak?
Kenapa ichi-gun itu membungkuk kepada pelayan itu?
Apa budaya orang Azumachi seperti itu?
Dasar wanita murahan. Cantik-cantik ternyata simpanan ichi-gun juga.
Pelayan itu pasti banyak main dengan pria lain sampai-sampai seorang ichi-gun bisa sampai merendah seperti itu.
Hira memejamkan matanya. Bisikan-bisikan para pengunjung rumah makan masih terngiang-ngiang di kepalanya. Disaat seperti itu, Hira merasa pendengarannya yang tajam adalah sebuah kutukan alih-alih berkah.
Bahkan setelah kak Uma menjelaskan perlakuan perwira tadi, Hira masih bisa merasakan tatapan-tatapan menuding yang diarahkan kepadanya. Perjalanan dari ruang makan ke dapur rasanya seperti perjalanan terpanjang di hidupnya. Mata-mata asing yang melirik atau bahkan terang-terangan melihat ke arahnya. Bisik-bisik rendah dari ujung-ujung ruangan. Wajah-wajah tegang dan penasaran yang menjulur-julur di antara kepala-kepala.
Hira berharap bumi tiba-tiba menelannya.
Saat ini, duduk di taman belakang rumah makan yang dingin dan sepi pun Hira masih merasa resah. Lelah dan takut. Sudah cukup seram dia harus menghadapi para prajurit mabuk itu. Tiba-tiba muncul perwira Azumachi beserta ajudannya yang terlihat seperti elang yang hendak melahap Hira.
Apa bisa Hira bekerja seperti ini?
Lalu bagaimana kalau kejadian tadi sampai ke telinga paman Chanda?
Berkat kak Uma, kemungkinan besar kejadian tadi tidak akan berkembang jadi isu memalukan. Namun tetap saja, Hira terlibat keributan. Paman Chanda pasti akan marah.
“Kamu nanti sakit kedinginan.”
Hira menoleh. Uma berdiri di belakangnya, menyampirkan selimut hangat di bahu Hira.
“Terima kasih banyak, kak Uma.” Ujar Hira sambil berusaha memberikan senyum.
Uma balas tersenyum dan duduk di samping Hira.
Ia meletakkan tangannya di kaki Hira, menepuk-nepuknya pelan. Menenangkan.
“Kak Uma…” Hira berhenti, tidak yakin apakah pertanyaan ini baiknya dia lontarkan atau tidak.
“Kenapa?” Tanya Uma ketika Hira terdiam.
“Kakak kenapa bisa seberani itu?”
Uma terkekeh. “Siapa yang berani?” Tanyanya. “Aku juga takut kok tadi.”
Hira menoleh ke arah Uma, menatapnya bingung.
“Aku sudah lama mesti berurusan dengan para ichi-gun, jadi sudah biasa pura-pura berani.” Ujar Uma ringan.
Pura-pura berani kan tetap perlu keberanian, pikir Hira.
“Tapi kalau tadi, kakak rasa bisa jadi lebih barani karena kolonel itu tampaknya berbeda.”
“Berbeda?”
Uma menangguk. “Baru sekali ini kakak lihat ada ichi-gun yang meminta maaf seperti itu.”
Kalau dipikir-pikir sih benar juga.
“Kakak punya firasat kedatangan tentara Azumachi kali ini akan berbeda dibandingkan yang dulu-dulu.” Ujar Uma dengan penuh keyakinan.
Hira memandang Uma dengan takjub. Wajah wanita itu begitu cerah, begitu penuh harap.
Kenapa bisa?
Setelah semua yang ia alami. Semua pukulan, hinaan dan pelecehan yang ia terima dari para ichi-gun. Kenapa bisa kak Uma seoptimis ini?
“Nanti kalau sudah cukup tenang, bantu di dapur saja ya.” Ujar Uma.
“Baik kak.”
Uma menyeringai dan menyentil pelan kepala Hira. “Pakai ingatan mu yang tajam itu untuk mengingat hal-hal menyenangkan. Biar lupa kejadian tadi.” Candanya.
Hira tersenyum, menangguk.
“Kakak tinggal ya.” Ujar Uma sebelum berdiri dan berjalan kembali ke dapur.
Hira merapatkan selimut di tubuhnya, berusaha menghalau angin malam yang dingin. Iya, tadinya Hira merasa ingatannya yang baik ini sama terkutuknya dengan pendengarannya yang tajam. Tapi ingatannya ini juga harusnya bisa jadi berkah.
Hira memejamkan matanya, mencari-cari memori indah yang tersimpan di kepalanya. Memutar kembali adegan-adegan hangat di masa kecilnya. Hal-hal bodoh yang dulu ia lakukan bersama Bara, celotehan-celotehan jenaka yang sering dilontarkan Harsha, omelan ibu, atau tawa terbahak-bahak ayah karena gurauannya sendiri.
Suara ibu.
Hira, kamu akan baik-baik saja, ingatnya.
Iya, Hira akan baik-baik saja.
Tersenyum, Hira membiarkan dirinya kembali ke kenyataan. Kembali menghirup aroma dapur yang membuat lapar. Kembali merasakan dinginnya angin yang menggigit wajahnya. Kembali mendengar gelak tawa dan celoteh orang-orang di dalam rumah makan.
Semakin larut, semakin sedikit pengunjung yang datang. Pada akhirnya, hanya tersisa satu dua orang yang masih asik minum. Hira membantu Uma membersihkan meja-meja yang tersisa sebelum pamit pulang.
“Hati-hati di jalan ya, Hira. Maaf jadi harus pulang terlalu larut.” Ujar Uma.
Hira tersenyum penuh rasa terima kasih. “Tidak apa-apa kak Uma. Kakak juga sudah banyak membantuku hari ini.”
Uma tersenyum. “Oiya, besok Hira tidak perlu datang ke sini pagi-pagi ya. Datang ke sini siang saja untuk langsung antar makanan. Besok Anjani sudah kembali, jadi kamu bisa istirahat.”
“Baik kak Uma. Aku permisi pulang dulu kalau begitu.” Hira membungkuk, memberi salam kepada Uma sebelum bergegas keluar. Tak lupa ia menutup pintu depan rumah makan, tanda bahwa Bungahaken sudah tidak menerima pengunjung.
Tidak bisa dipungkiri, Hira takut.
Malam sudah larut, jalanan Khajana pasti sepi dan remang-remang. Walau sudah sering, Hira tidak pernah terbiasa. Berjalan buru-buru dalam resah. Takut tiba-tiba bertemu ichi-gun mabuk.
Takut berakhir seperti ibu.
Hira menyelipkan tangannya ke saku di bajunya, merasakan gagang pisau kecil. Dia harus selamat malam ini. Bagaimanapun caranya. Bagaimanapun akhirnya.
“Nona Hira.”
Hira mematung.
Suara itu?
Itu suara perwira yang tadi kan?
Kenapa?
Pelan-pelan Hira memutar tubuhnya.
Kolonel Izumi melangkah keluar dari bayang-bayang lentera jalan. Ada senyum yang menghias wajahnya, namun raut wajahnya terlihat seperti seorang anak yang baru saja memecahkan gelas kesayangan ibunya.
Menyesal.
Lagi-lagi, sosok pria itu membuat Hira bingung. Walau masih tetap mengintimidasi, tapi kolonel Izumi yang berdiri di depannya ini berbeda dengan pria yang tadi memberi perintah kepada bawahannya. Pria yang sekarang berdiri di depannya ini terasa jauh lebih...bersahabat?
Tidak masuk akal.
“Kolonel Izumi? Saya pikir Anda sudah pulang?” Tanya Hira, tidak tahu lagi harus membalas sapaan pria itu dengan apa.